Sebagai penjelajah Inggris yang mengusung semangat merkantilisme di akhir era medieval Eropa, Cook (yang waktu itu masih berpangkat Letnan) lebih tertarik untuk membawa armada peneliti, di antaranya dua orang botanis bernama Joseph Banks dan Daniel Solander. Setelah menapaktilasi rute Magellan melewati ujung benua Amerika, melintas pasifik dan mengitari Selandia Baru, Cook mendarat di sebuah muara dan melakukan kontak pertama dengan suku bangsa berkulit coklat gelap. Namun yang paling antusias justru dua botanisnya, Banks dan Solander, yang takjub dengan banyaknya spesiemen-spesimen vegetasi baru yang seperti teralienasi dari dunia lama. Guna mengenang temuan tersebut, maka daerah di semenanjung Kurnell itu lantas diberi nama Botany Bay. Itulah gerbang pertama penemuan Australia.
Di era modern, Botany Bay lebih dikenal dengan keberadaan bandar udara Kingsford Smith Airport (KSA) yang mewakili Sydney, kota terbesar di Australia (seluas 12.000 kilometer persegi). Orang menyebutnya Botany Bay Airport, kasus yang mungkin analog dengan Cengkareng dan Soekarno-Hatta. Saya (dan Gina), seperti halnya Cook, masuk ke benua Kanguru juga melalui Botany Bay. Mungkin inisiasi seperti inilah yang diharapkan para perancang negeri ini, supaya memori terhadap masa lalu juga mengendap di benak semua orang yang pernah ke Sydney. Saya membayangkan bila Belanda tetap berkuasa di Indonesia, apakah bandara utama di ibukota bakal digeser ke Banten, sesuai lokasi mendaratnya kapten Cornelis De Houtman?
Kami tiba di Sydney setelah menempuh perjalanan udara selama 6 jam menggunakan maskapai tenar Australia, Qantas (yang ternyata merupakan singkatan). Sebelumnya, saya tidak pernah terbang lebih dari satu jam 10 menit, antara Surabaya ke Jakarta atau Bandung. Mungkin bila di antara Anda ada yang mengalami "fly nerve" seperti halnya saya, maka terbang sejam sekalipun, perasaan tidak akan tenang. Selalu gelisah tatkala di badan pesawat. So, apa yang bisa Anda bayangkan bila harus terbang selama 6 jam?
Surprisingly, I'm fine. Ini karena ada banyak sekali pengalih perhatian yang ada di dalam pesawat. Faktor paling besar adalah ratusan opsi yang ada di dalam in-flight entertainment. Faktor lain mungkin layanan kuliner nonstop, yang saya sendiri tidak terlalu tertarik. Tapi hal-hal seperti itu sedikit men-distract kegugupan dan membuat penerbangan panjang (dengan durasi naik kereta Surabaya-Jogjakarta) tidak terlampau membuat stres. Buku dan majalah yang telah saya siapkan malah menjadi tidak berguna lantaran konten in-flight entertainment lebih dari cukup untuk menempuh Jakarta sampai Sydney. Keriaan saya menonton highlight MotoGP 2009 harus stop ketika terdengar announcement di PA bahwa dalam 20 menit, pesawat akan mendarat di KSA. Wah!
Sekitar jam delapan pagi, akhirnya kami menjejakkan kaki di Australia. Tak ada jetlag, whatsoever, kecuali mungkin kurang tidur bagi sebagian, karena perjalanan ke timur artinya kita mencurangi waktu sekitar 4 jam. Berangkat larut malam, seharusnya tiba menjelang Subuh di zona waktu sehari-hari.
Subuh berarti metabolisme akan segera bekerja, dan itu terbukti. Melangkah keluar dari filter imigrasi, isi perut sudah menjerit minta dibuang. Maka berlangsunglah adaptasi kultural yang pertama, yaitu harus berhadapan dengan fakta bahwa toilet di sini tidak berair (kecuali untuk flush). Oh well, saya merasa bangsa kita lebih higienis dan waras karena sisa BAB tetap harus dicuci alih-alih hanya dilap dengan tisu. Tapi ini adalah masalah yang harus dibiasakan, karena minimal metabolisme masih harus membentur gap budaya itu empat hari ke depan.
Anyway, di luar ekspektasi, bangunan KSA terbilang kecil bila disandingkan dengan ekspektasi Bandara Soekarno-Hatta sekalipun. Tapi kecil dan besar dalam arsitektur adalah bilangan kualitatif, dan ukurannya adalah efisiensi. Saya justru melihat bahwa ukuran sedemikian adalah kompak, itu membuat bandara menjadi tempat yang berasa nyaman dan browsable. Seperti juga Terminal 1 (Internasional) di KSA yang menjadi tempat kedatangan kami, rasanya dibangun dalam skala manusia karena jarak dari tempat keluar pesawat sampai ke luar bandara tidak membutuhkan effort jalan kaki yang menyiksa.
Bukti lain dari skala manusia tersebut adalah jalan (path) yang melintas di depan bandara bukan jalan dengan dimensi jalan raya (dengan delapan jalur seperti Bandara Juanda), melainkan hanya jalan dua jalur yang tidak pepat dengan mobil-mobil penjemput, taksi dan sebagainya. Di dekatnya ada pool bus (hanya beberapa langkah) untuk ke banyak tujuan di Sydney. Area parkir terletak di seberang, termasuk gedung parkir transparan yang dihubungkan dengan jalan tembus ke bandara. Itu sebabnya flow manusia dan kendaraan tidak bercampur di depan bandara, seperti halnya di bandara kita. Dan sekali lagi membuktikan bahwa ukuran adalah aspek kualitatif dalam arsitektur.
Waktu setempat menunjukkan pukul 9 pagi, dan kami berada di Botany Bay. Our first encounter with Australia. Dua setengah abad yang lalu, tempat itu adalah muara sungai yang dihuni bangsa Aborijin berbahasa Kameygal. Sedikit ke arah timur dari yang sekarang menjadi Bandara, terjadilah encounter perdana ketika istilah terra australis incognita dihapus dan kemudian berganti menjadi Southern Colony.
Di Botany Bay.