Saya mendapat keberuntungan karena boleh berulangkali mengunjungi objek-objek wisata alam di Lopana Minahasa itu. Lopana memang belum seterkenal Bunaken yang berada dekat Manado Tua. Belum juga sepopuler Danau Tondano di bagian lain Minahasa. Jangan juga dibandingkan dengan Bukit Doa, atau Bukit kasih. Akan tetapi potensi Lopana yang belum banyak terjamah dan terekspose harus lebih diseriusi. Karena ternyata, dengan mata kepala sendiri saya sudah menyaksikan betapa Lopana dapat menjadi objek wisata mumpuni untuk Sulawesi Utara dan Indonesia.
Untuk melakukan perjalanan ke Lopana, saya hanya membutuhkan 45 menit sampai sekitar 1 jam, tergantung kemacetan di desa-desa sebelumnya, yang mana hal tersebut jarang terjadi kecuali ketika ada perayaan pengucapan syukur. Umumnya memang kita dapat mencapai Lopana tanpa hambatan macet yang berarti. Sebelum mencapai Desa Lopana di Amurang Minahasa Selatan, kita akan melewati banyak lokasi indah lainnya yang kebanyakan adalah daerah pinggir pantai. Kita disuguhkan pemandangan alam yang indah dan begitu membekas di hati.
Memasuki Lopana, mata sudah dimanjakan dengan pemandangan pinggir pantai yang sangat kontras samping menyamping dengan persawahan dan perbukitan. Karena rata-rata pekerjaan yang dilakoni penduduk setempat adalah sebagai nelayan dan petani, maka tak mengherankan apabila terlihat perahu-perahu nelayan berjejer rapih di belakang perumahan penduduk, yang siap ditarik setiap saat untuk melaut, karena jarak antara halaman belakang rumah penduduk dan pinggir pantai sangatlah dekat. Sebagian memarkir perahu ikan mereka tepat di bibir pantai, menambah indah pemandangan pantai tentunya.
Bagi para petani, roda sapi (gerobak sapi) menjadi sarana dan alat utama mereka mencari nafkah. Nah, pemandangan yang cukup unik dapat kita saksikan ketika mereka memanfaatkan roda sapi itu untuk berputar-putar di pinggir pantai, entah sekedar jalan-jalan pun saat mengambil pasir di bibir pantai. Ketika Gunung Soputan meletus, banyak sekali pasir gunung yang terbawa air sungai menuju pantai Lopana. Pasir-pasir tersebut akhirnya menjadi lahan pencarian baru bagi para pemilik roda sapi itu. Mereka bolak-balik ke bibir pantai untuk mengangkut pasir dan menjualnya kembali.
Setelah puas berenang, potret kiri-kanan dan kini lapar datang mengintai, kita akan kembali dimanja dengan kuliner khas Lopana. Ternyata pisang goreng belum cukup menghilangkan rasa lapar. Nah, Saya paling suka yang namanya Nasi Jaha dan Dodol Amurang. Penganan ringan ini adalah termasuk ciri khas penganan Lopana.Walaupun banyak desa yang membuat penganan sejenis, tapi buatan Lopana adalah yang paling terkenal. Bahkan banyak dari Jakarta memesan hasil buatan Lopana. Sayangnya kedua jenis penganan ini tidak akan banyak lagi ditemui pada hari-hari biasa, terkecuali pada hari raya, hari-hari tertentu, dan pada saat pengucapan syukur (Thanksgiving Day ala Minahasa).