Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Yang Tersisa: Hak Anak Indonesia

24 Juli 2011   23:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24 462 3

Hari Anak sudah lewat. Banyak perayaan sudah terlaksana, tapi masih ada rupanya yang tersisa. Yang tersisa adalah: Kenyataan kondisi sebagian anak Indonesia yang miskin, terpinggirkan dan teraniaya.

“Tidak ada seorang anak pun akan mengalami gangguan tanpa alasan dan secara tidak sah terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat-menyurat….” Demikian bunyi Pasal 16 Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh PBB pada tanggal 20 November 1989. Artinya, anak patut dihargai privasinya, sehingga surat-menyurat atau buku hariannya tidak boleh begitu saja dibaca oleh orang tua.

(KHA psl.13) Artinya, orang tua patut menghargai perasaan, pikiran, dan pendapat anak. Orang tua perlu memberikan pertimbangan dan nasihat, namun tidak boleh memaksakan pendapat atau pilihan. Anak tidak boleh dipengaruhi untuk menghina, mencurigai atau membenci orang, kelompok, bangsa, budaya atau agama lain.

Pada tahun 2003 Federasi Kesehatan Mental Indonesia menurunkan laporannya bahwa mayoritas anak remaja Indonesia 82% beranggapan bahwa orang tua mereka bersikap otoriter. Sebanyak 50% responden mengaku sempat mendapat hukuman fisik dari orang tua dan 39% mengaku menderita lantaran memiliki orang tua yang sangat pemarah. Hampir 50% anak SD mengaku pernah mengalami bullying di sekolah.

(KHA psl.19). Artinya, orang tua dan guru patut menegur atau menghukum kesalahan anak, namun tidak boleh menyiksa atau menelantarkan anak.

Menurut hasil studi Plan International di 18 provinsi pada tahun 2005 menyimpulkan, sekolah bisa menjadi tempat yang berbahaya bagi anak-anak, dikarenakan banyak ragam bentuk kekerasan di sekolah. Anak-anak banyak yang menjadi fobia sekolah. Takut dengan guru galak dan ringan tangan (suka pukul) atau juga takut dihajar teman-teman sekelas. Tekanan mulai dari rumah sampai sekolah membuat emosi anak menjadi negative dan labil. Emosi negative ini ditakutkan akan bermuara pada prilaku negatif anak-anak tersebut di lingkungan sosial mereka.

(KHA psl.20,21). Artinya, anak tidak patut hidup terlantar tanpa perlindungan, perawatan, pengasuhan, dan kasih sayang.

“…Seorang anak yang menderita cacat mental atau fisik hendaknya menikmati kehidupan penuh dan layak dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri…” (KHA psl.23). Artinya, anak yang cacat patut dihargai dan diperlakukan sama.

Secara keseluruhan KHA terdiri dari 54 pasal. Pasal-pasal lain menyangkut perlindungan dari jual beli anak, pelecehan seksual, wajib militer, pekerjaan yang kurang sesuai dengan usia, dan sejumlah hak anak untuk mendapat pendidikan, kesempatan bermain, kesempatan membaca buku, kesempatan berkarya dan berkreasi.

asan awal KHA dicetuskan oleh seorang ibu di Eropa yang bernama Eglantyne Jebb pada tahun 1923. Gagasan ini diterima oleh Liga Bangsa-bangsa dan dilanjutkan oleh PBB. Dalam rangka Tahun International Anak pada tahun 1979, gagasan ini disebarluaskan dan ditanggapi. Akhirnya, pada tahun 1989 gagasan ini mewujud dalam bentuh KHA yang sekarang kita kenal dengan empat prinsip.

Prinsip pertama adalah nondiskriminasi. (KHA psl.2)

Prinsip kedua adalah melakukan apa yang terbaik bagi anak. (KHA psl.3)

Prinsip ketiga adalah hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang. (KHA psl.27)

Prinsip keempat adalah menghargai pendapat dan perasaan anak. (KHA psl.12)

Heidy Sengkey

Sumber: Konvensi Hak Anak (KHA)

Sumber gambar: Photostock.Anak miskin.Terlantar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun