Sebagai guru yang telah mengikuti 4 jenis kurikulum selama masa mengajar, memasuki kurikulum baru ini timbul kebingungan, entahlah. Mungkin juga karena namanya. Merdeka. Seakan selama ini belum merdeka ya.
Contoh kebingungan lain, lewat semacam jargon memulihkan pendidikan paska pandemi. Berlaku untuk siapa? Dipulihkan dengan diberi kemerdekaan? Merdeka dalam satu platform?
Dipersiapkan sebagai kurikulum yang memerdekakan murid dalam belajar. Contoh salah satu iklannya memberi info guru yang bingung harus bagaimana memulai pengajaran, lalu diberitahu bahwa si guru bebas menentukan materinya sesuai kecepatan belajar siswanya. Si guru bingung bagaimana cara tahunya. Disebutlah untuk melakukan terlebih dahulu asesmen di awal guna mendeteksi si siswa ada di posisi mana. Oh mudah ya. Iya, jadi setelah asesmen maka guru akan tahu kebutuhan siswa.
Ideal sekali bukan? Eh tapi asesmennya dari mana? Dari aplikasi platform merdeka mengajar. Ada beberapa tipe soal untuk menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Satu Indonesia, asesmennya sama dong ya? Lalu, jika siswanya sekelas 30 siswa? Jika mengajarnya 3-4 rombel? Atau banyak jenjang? Kira-kira bisa tertangani semua begitu? Ya bisa dan jangan kuatir karena kemendikbud menyiapkan platform tadi yang hanya bisa diakses dengan akun belajar.id. Dalam platform tersebut, guru bisa saling berbagi rpp, ada asesmen yang sudah disiapkan (mau buat sendiri juga boleh), ada perangkat ajar, media ajar, pokoknya komplit. Gurupun semakin terdepan dengan penguasaan teknologi terkini. Semua dalam genggaman.
Bergerak bersama! Ya, kata-kata tersebut dipakai sebagai pemacu semangat berubah, eh bertransformasi maksudnya, dengan memakai kurikulum merdeka yang disesuaikan dengan kemampuan sekolah. Tidak perlu seragam semua. Bisa mulai dengan Mandiri Belajar, Mandiri Berubah atau Mandiri Berbagi.
Hal inti lain dari kurikulum ini adalah, siswa di tiap jenjang, akan belajar sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing, lebih ke fase siswa, jadi walau dalam satu kelas/jenjang yang sama bisa berbeda fasenya. Lalu misal jika siswa di SMA, tidak ada lagi jurusan yang diwajibkan. Maka tidak akan ada tes bersama satu bahan ajar topik tertentu untuk semua siswa, melainkan hanya ada asesmen. Bukan asesmen awal pelajaran yang tadi disebut di atas berarti ya, ini mungkin asesmen lain yang serupa dengan asesmen nasional (yang bagian kognitif). Asesmen sesuai makna katanya adalah memberi penilaian, ya tes juga, cuma di sini seperti penggunaan kata istimewa tersendiri “asesmen”, bukan tes. Tes tidak ada namun digantikan oleh proyek dalam proses pembelajaran tersebut (PBL - Project Based Learning). Makin bingung? Ya sudah. Tidak apa-apa, kan baru.
Sekolah akan semakin menyenangkan, sekolah tanpa tes, namun melakukan proyek bersama, berkelompok, menumbuhkan semangat gotong royong siswa, tidak ada lagi siswa mengejar kemenangan individu melalui ranking. Wah ideal pokoknya. Sudah ada belum ya sekolah yang menarik siswa baru untuk mendaftar dengan menyertakan sekolah tanpa tes? Makin seru deh.
Proyek siswa akan seperti apa? Berapa banyak proyeknya? Batasannya seperti apa? Semoga tidak ada lagi kawan guru yang memberi proyek berujung siswa kelabakan dan tidak semua siswa dalam kelompok melakukan versi kerja yang sama. Proyek divideokan dan naik youtube channel dan faktor penentu penilaian berdasarkan jumlah view dan like.
Sekarang mari lihat perkara tanpa jurusan di SMA tadi. Bebas belajar mapel yang diinginkan. Siapkah sekolah jika jumlah siswa di setiap kelas yang dipilih tidak merata dan menyebabkan jam mengajar yang tidak merata? Oh ya katanya mendikbud, tunjangan sertifikasi tidak berdasarkan jam mengajar lagi. Ah senangnya. Akan bermasalahkah bagi sekolah? Dalam menentukan tugas gurunya?
Mungkin sekolah sudah memikirkan hal ini, untuk memudahkan kedua pihak, sekolah dan siswa (termasuk orang tua) maka sekolah bisa memberikan paket mapel saja, bukan jurusan ya, jurusan sudah tidak ada, tetapi katakanlah paket merdeka mapel kategori A, B, C dan lain-lain. Beda loh ya dengan jurusan. Terdengar beda tapi kok? … Pemberian paket demi kerapihan dan keadilan jam mengajar guru-guru suatu sekolah.
Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar, belajar di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Tidak membatasi guru mengajar lintas mapel. Biasa mengajar fisika, maka harus bisa juga mengajar pkn, biologi, bahasa, matematika, ekonomi dan lain-lain sesuai kondisi. Menarik sekali.
Sekarang mungkin tidak ada rangkaian kata-kata indah seperti KI/KD, melainkan menjadi Capaian Pembelajaran yang rangkaian kalimatnya lebih sederhana dan fokus.