[caption id="attachment_61983" align="alignleft" width="266" caption="Ilustrasi: Getty Images"][/caption] Bayangkan situasi seperti ini: anda merasa jenuh setelah bekerja bertahun-tahun sebagai
employee. Berangkat pagi pulang malam penghasilan pun pas-pasan (setidaknya menurut pendapat anda secara subyektif). Setiap hari harus sabar menghadapi bos maupun rekan kerja yang kadang tidak jelas apa maunya. Ditambah dengan permainan
office politics yang menyebabkan semua orang sepertinya mesti saling sikut untuk memenuhi agendanya masing-masing. Anda sebetulnya ingin pindah kerja ke perusahaan lain, tapi kuatir pada akhirnya akan menemukan hal yang sama. Setelah menimbang-nimbang dan berdiskusi dengan keluarga, akhirnya anda mantap untuk memutuskan bahwa anda akan mengundurkan diri dari perusahaan tempat kerja anda sekarang dan melepaskan predikat
employee. Anda telah memutuskan bahwa anda tidak akan mau lagi menjadi
employee di masa yang akan datang dan kini berniat untuk menjadi pengusaha dan menjalani jalur
self-employment. Namun sayang... pada akhirnya kenyataan berkata lain, karena setelah beberapa waktu menjalani jalur
self-employment sebagai pengusaha, ternyata menjadi pengusaha tidak seindah yang anda bayangkan. Bila dulu anda mengeluhkan jam kerja yang panjang ketika bekerja sebagai
employee, tenyata ketika menjadi pengusaha justru jam kerja yang anda jalani menjadi jauh lebih panjang lagi, kadang malah tidak mengenal hari libur. Tingkat stress pun meningkat drastis dibandingkan ketika masih menjadi
employee, ditambah lagi dengan pemasukan yang masih tidak menentu, tidak adanya jaminan kesehatan yang bisa meng-
cover anda dan keluarga, serta berbagai pengeluaran rutin dan cicilan yang mesti harus tetap dibayar setiap bulannya... akhirnya membuat anda mengatakan bahwa menjadi pengusaha bukanlah jalan hidup anda dan hal itu semakin menegaskan keinginan untuk kembali menjadi
employee. Beberapa kali saya menemui kandidat dengan pengalaman seperti yang diceritakan diatas. Bahkan tidak perlu jauh-jauh, saya sendiri pun pernah menghadapi situasi yang sama beberapa tahun yang lalu. Hanya bedanya, ketika itu saya merasa terjun di industri yang salah, dimana untuk memenangkan tender (baca: mendapat pemasukan) saya harus memberikan janji uang pelicin sebesar sekian persen dari total nilai proyek. Sesuatu yang sangat tidak sesuai dengan hati nurani dan prinsip yang saya anut. Nah, sekarang bagaimana caranya agar transisi karir dari kehidupan sebagai
employee kemudian menjadi pengusaha, dan kemudian kembali lagi menjadi
employee dapat berlangsung mulus?
1. Katakan dengan Jujur
KEMBALI KE ARTIKEL