Tahun 2006, MUI Wilayah IV Kalimantan di Banjarmasin menerbitkan dan menetapkan Fatwa tentang Illegal Logging dan Illegal Mining yang berhubungan dengan penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan atau negara hukumnya haram. Sehingga, semua kegiatan dan penghasilan yang didapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram.
Ditetapkannya fatwa haram terhadap perusak lingkungan tersebut merupakan tanda kepedulian sekaligus keprihatinan kalangan agamawan atas permasalahan lingkungan hidup yang cenderung semakin hari semakin menampakkan ancamannya bagi hidup dan kehidupan di wilayah Kalimantan. Adanya fatwa haram ini menunjukkan adanya kesadaran di kalangan agamawan atas fenomena kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumberdaya alam yang dilaksanakan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup.
Namun, lima tahun dari ditetapkan, fatwa haram tersebut hingga sekarang seperti tidak pernah ada dan bahkan tidak dianggap karena kerusakan lingkungan hidup dan alam Kalimantan semakin parah, sebagaimana yang terlihat di Kalimantan Selatan di antaranya rusak dan tercemarnya sungai-sungai dengan logam berat. Fatwa haram ini tentu saja berhubungan dengan umat Islam dan seharusnya berhubungan dengan masyarakat Kalimantan Selatan yang religius, tetapi fatwa haram perusak lingkungan tidak berpengaruh dalam mencegah peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan alam apalagi menguranginya. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010 dengan nilai 48.25 yang jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 59.79. IKLH ini diukur dari kualitas air, kualitas udara, dan luas tutupan hutan.
Mengapa kereligiusan masyarakat (Kalsel) seakan tidak menghiraukan fatwa MUI? Apakah berat melaksanakan fatwa haram perusak lingkungan tersebut? Atau, sebenarnya perusak lingkungan tersebut memang bukan masyarakat (kebanyakan), sehingga meskipun masyarakat berpegang dengan fatwa haram perusak lingkungan tersebut tetapi ada sebagian kecil kalangan (datang dari luar) yang terus melakukan eksploitasi tanpa merasa terikat dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat termasuk dengan aturan agama.
Dengan demikian, fatwa haram perusak lingkungan sebenarnya cenderung berdasarkan asumsi bahwa masyarakat secara umum yang melakukan kerusakan terhadap lingkungan hidup dan alam, sehingga untuk mencegah dan menjaga lingkungan dan alam diterbitkan fatwa haram tersebut. Di sini, terlihat bagaimana pemahaman atas kerusakan lingkungan dan alam lebih ditimpakan kepada masyarakat pada umumnya. Stigma pada masyarakat dalam kerusakan alam dan lingkungan hidup, padahal kebanyakan masyarakat sendiri lebih banyak menerima petaka dan bencananya dari kegiatan eksploitasi sumberdaya alam skala besar. Sehingga, fatwa haram itu tidak dapat menyentuh kereligiusan masyarakat karena mereka memang bukan kalangan perusak lingkungan dan alam.
Fatwa haram perusak lingkungan yang sebenarnya tidak berhubungan dengan kenyataan di masyarakat menjadikannya tidak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat. Berbeda dengan sistem nilai kearifan lokal pada zaman dulu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam bentuk-bentuk pamali dan larangan yang dilaksanakan dalam kehidupan mereka karena dapat langsung mereka alami dan rasakan.
Dulu, masyarakat begitu terikat dengan pamali-pamali dalam berhubungan dengan alam dan lingkungannya. Ada wilayah-wilayah yang dilarang untuk disentuh, sehingga dibiarkan saja sebagai wilayah keramat. Beberapa di antara pamali tersebut merupakan sebagai bentuk kearifan lokal dalam menjaga daya dukung lingkungan dan alam, yang merupakan tanggapan atas kondisi spesifik dari lingkungan di mana mereka hidup. Untuk menebang pohon tertentu terlebih dahulu minta izin pada penunggunya, seperti urang halus, agar tidak terjadi sesuatu yang dapat menjadi petaka bagi penebang maupun masyarakat di sekitar pohon tersebut.
Masyarakat adat dalam dan sekitar hutan juga mempunyai wilayah-wilayah keramat yang tidak boleh diganggu hutannya. Wilayah keramat tersebut dibiarkan apa adanya, setiap warga mengetahui dan menghargainya. Hal ini juga berlaku dalam berladang berpindah dengan memilih lahan berdasarkan perhitungan yang memperhatikan letak, kemiringan, dan tumbuhan di atasnya.
Setelah masuknya perusahaan kayu besar, semua pamali dan hutan keramat tidak relevan lagi, dengan mesin-mesin besar pohon besar dan kecil bahkan bibit-bibit alaminya bertumbangan tanpa ada gangguan sebagaimana yang dipahami dan diyakini masyarakat pada waktu itu. Begitu juga dengan perusahaan tambang batubara yang hanya tahu bagaimana mengambil batubara, sekalipun itu di lokasi hutan lindung. Perusahaan kayu besar tidak mempercayai tentang pamali-pamali atau hutan keramat, yang mereka tahu adalah pohon besar yang bernilai pasar. Masyarakat dengan sistem nilai dan norma tentang pamali dan hutan keramat hanya menjadi penonton, yang sebagian dari mereka harus tergusur dari wilayah yang telah menjadi tempat penghidupannya.
Fatwa haram perusak lingkungan sebagaimana pamali dan hutan keramat menjadi tidak bertuah saat berhadapan dengan mesin-mesin industri yang meskipun sudah terikat dengan perundangan dan peraturan yang mengikat untuk menjaga daya dukung lingkungan, karena perusahaan besar hanya terikat dengan kapital. Fatwa haram MUI wilayah Kalimantan tentang perusak lingkungan tertuju dan bahkan menyudutkan masyarakat, padahal kerusakan lingkungan hidup dan alam disebabkan perusahaan besar yang tak terikat dengan nilai agama sekalipun. Perusahaan besar juga sering memanfaatkan kalangan agamawan dalam menjalankan kegiatannya, sehingga sering terdengar habib dengan massanya mendukung tambang besar yang meskipun itu diketahui berada di hutan lindung. Atau, ulama yang terlibat dalam perabahan hutan, yang tentu saja hal ini membuktikan bahwa fatwa haram tersebut tidak tepat, masyarakat seperti tertuduh saja.
Jadi, fatwa haram tentang perusak lingkungan terkesan tidak memperhatikan permasalahan kerusakan lingkungan hidup dan alam, lebih cenderung normatif yang sebagian besar masyarakat (religius seperti Kalsel) sudah menyadari dan mengetahui berdasarkan Al-Qur'an yang mana ayat-ayatnya sudah jelas tentang kerusakan alam tersebut dan segala konsekuensinya. Seharusnya, fatwa haram tersebut lebih ditujukan pada wilayah sebagaimana hutan keramat, sehingga lebih jelas dalam pengawasannya. Seperti wilayah lahan basah sebagai ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi perlu mendapatkan perhatian kalangan agamawan, yang melalui pembahasan dapat dinyatakan haram untuk dieksploitasi. Atau, lebih mempertegas larangan eksploitasi pada hutan lindung.