“…karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”
-Richard Rorty, dalam buku Contingency, Irony, and Solidarity
Sebagian orang tentu pernah membuat kalimat-kalimat indah, bersyair, berpuisi, bersajak atau apapun sebutannya, dengan bahasa yang bersifat metaforis, bahasa puitis. Sebagian orang itu biasanya adalah para penyair, sastrawan, novelis atau jurnalis, terlepas dari pengklasifikasian apakah mereka amatiran atau populer. Dan tentu saja mereka-mereka ini tidak sulit ditemukan di Kompasiana. Bahasa yang mereka gunakan biasanya penuh dengan majas-majas, analogi dan terkadang menghidupkan sesuatu yang tidak hidup sehingga sering dianggap tidak rasional bagi mereka –yang lain- yang berpikir rasional ketika membaca tulisan fiksi. Mereka (para seniman) memberi prioritas terhadap persuasi dan retorika di saat argumentasi rasional dan saintifik hanya menciptakan kebingungan dan kekacauan pikiran. Inilah yang membuat fiksi, yang menggunakan nalar-metafora, bagai dunia tak berpondasi dibandingkan dunia filosofi, yang menggunakan nalar-forma.