Langit sedang cemerlang; maklum, siang bolong.
Nobita kegerahan. Tangannya mengipas-ngipaskan Koran ke dadanya.
Nobita, 21 tahun, pemuda yang kuliah di banyak fakultas. Punya mimpi jadi orang sukses tapi masih suka ngutang. Punya bakat bicara di depan orang banyak tapi masih malu-malu sama perempuan.
“Ngutang boleh, asal dibayar. Wanita cantik itu enak dipandang, dan diperlukan.”
Itu prinsip Nobita.
Hari itu, Nobita agak stress karena tak punya cukup uang buat beli rokok. Lebaran sudah selesai tapi THR belum juga cair. Maklum, tempat ia kerja sampingan tak mengenal sistem gaji, apalagi yang namanya THR. Daripada bengong sendirian di rumah, Nobita memutuskan untuk keluar.
Ya, aku harus keluar rumah, biar laku dan dapat uang! Bisik hati Nobita sambil tersenyum.
Setelah cuci muka dan dandan seperlunya, kemeja yang sudah seminggu nggak di cuci karena libur lebaran, celana jeans kumal, bersepatu converse, Nobita meninggalkan rumah. Sial, hari itu sopir-sopir angkot lagi demo di dephub karena ada perubahan jalur. Terpaksa ia jalan kaki. Terpaksa lagi ia harus memutar jalan karena utang di warung depan jalan yang biasa ia lewati juga belum di bayar. Sepanjang jalan Nobita berkhayal, jika saja tiba-tiba ada mobil berhenti dan menawarkan ia ikut serta, pasti ia akan sangat berterima kasih.
Eh, law of attraction berlaku. Nobita berpikir mobil, maka mobil itu ada.
Sebuah sedan berjalan pelan di belakang Nobita. Pengemudinya seorang wanita sekira 37 tahun, membunyikan klakson.
Tentu saja Nobita kaget.
Wanita itu tersenyum, sambil mendongakkan kepalanya keluar.
“Hai,” sapanya pada Nobita.
Nobita melongok sejenak. Mencari-cari persamaan dengan orang-orang yangia kenal. Tak ada yang cocok. Ia pun refleks membalas senyum wanita itu. Senyumnya cukup menggetarkan perasaan.
Sedan berhenti.
“Kelihatannya, kok capek betul,” Tanya wanita itu.
Nobita plingak-plinguk.
“Dari mana mau kemana?” Tanya wanita itu.
“Anu . . . saya mau . . . ke . . . “ jawab Nobita tergagap, sebab memang ia berjalan tak punya tujuan.
Wanita itu tersnyum.
“Jadi nggak ada acara, kan?”
Tiba-tiba Nobita menggelengkan kepala.
Wajah wanita itu berseri-seri.
“Kalau begitu, ikut yuk!” ajak wanita itu.
“Ke . . . ke mana . . . Tante?”
“Maunya kemana?”
Nobita termangu. Kemana? Bisik hati Nobita.
“Ayo deh, masuk kedalam dulu,” ajak wanita itu.
Seperti kena sihir, Nobita akhirnya berjalan membuka pintu sedan belakang.
Tapi wanita itu segera mencegah. “Jangan duduk di situ, dong. Di depan saja, biar lebih intim. Duduk berdampingan kan enak.”
Nobita tak menolak, ia duduk di samping wanita itu.
“Kenalkan dulu, nama saya Bonita,” kata wanita itu sambil mengulurkan tangan.
Nobita menjabatnya dengan gemetar, lalu menyebutkan namanya. “Nobita.”
“Haghaghaghag . . . ”
Nobita mengerutkan kening. Tante ini gila kali ya? Kata Nobita dalam hati.
“Nama kita kok rada-rada mirip gitu ya? Semoga saja jodoh.”
Nobita baru sadar kalau namanya memang mirip dengan nama wanita itu. Nobita hanya tersenyum.
“Cocok juga dengan tampangmu,” kata Bonita sambil menjalankan sedannya.
Nobita diam saja. Apa maksudnya cocok dengan tampangku? Apa benar aku mirip dengan Nobitanya Doraemon? Bisik Nobita dalam hati.
“Kamu pasti orangnya pemalu, tapi kamu tampan juga loh,” kata Bonita.
Nobita masih diam. Tapi hatinya tersenyum karena dibilang tampan.
“Masih kuliah?”
Nobita menggelengkan kepala.
“Sudah bekerja?”
Nobita menggelengkan kepala”
“Nganggur?”
Nobita menggelengkan kepala.
Bonita melirik, agak keheranan. “Tidak kuliah, tidak bekerja, tidak nganggur. Lantas apa kegiatanmu?”
“Ada aja.”
Bonita tertawa.
“Ternyata kamu suka bercanda juga, Nobita.”
Nobita diam lagi.
“Mukamu kok kusut. Kenapa? Belum mandi, ya?”
Wajah Nobita kemerahan. Ia merasa malu. Soalnya, ia memang cuma cuci muka.
“Tante mau bawa saya kemana?” Tanya Nobita.
“Nah, gitu dong. Bertanya. Aku kan jadi merasa benar-benar ada teman bicara.”
“Sebetulnya saya tadi agak kaget. Soalnya . . . “
“Karena diajak naik sedan oleh seorang wanita?”
“Iya.”
“Nobita, kamu sudah punya pacar nggak?”
Nobita tersentak.
“Terus terang saja.”
“Belum.”
“Bohong.”
“Sungguh. Belum.”
“Atau pacarmu banyak?”
“Tidak.”
“Tidak banyak?”
“Maksudku belum. Sama sekali belum,”
Bonita mengernyitkan alis, lalu tersenyum, sambil melirik Nobita sejenak, lantas menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu hebat. Kupikir, lelaki seganteng kamu, punya segudang pacar. Ini benar-benar kejutan.”
“Maksud Tante?”
“Belum pernah aku temui lelaki seperti kamu, Nobita. Pemalu, pendiam dan begitu polos.”
“Tante ini, siapa sesungguhnya?”
“Kamu benar-benar lugu, Nobita.”
“Saya baru pertama kali ini bertemu dengan wanita seperti Tante.”
“Kita memang sama-sama pertama. Maksudku, pertama dalam soal pertemuan yang mengherankan.”
“Jadi, kita mau kemana, Tante?”
“Kamu mau kemana?”
“Terserah sih, Tante.”
Bonita tersenyum, sedannya melaju kencang menuju sebuah rumah yang letaknya terpencil. Mirip tempat peristirahatan atau bungalow.