Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Mitos Facebook

9 Agustus 2012   04:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:03 566 2

Sejarah singkat FB yang penuh intrik (lihat sejarahnya dalam film Social Network) ini mampu menghantarkannya menjadi orang muda yang kaya. Begitulah cerita-cerita yang ada dari diri seorang Mark Z. Akan tetapi, yang lebih fenomenal, setidaknya menurut saya bukanlah Mark Z dan kejeniusannya yang membuat saya terkesima, tetapi FB itu sendiri telah termitoskan dalam sejarah kita.

Seperti yang sudah-sudah, saat kita berbicara tentang mitos, kita akan berbicara dua sistem. Pertama: Sistem I (Sistem Konotatif)—disitu terdapat petanda berupa imaje orang (yang menurut saya, dia seorang laki-laki dengan background biru—bagi saya facebook berarti Wajah dan bukan hanya sekedar tulisan), selanjutnya terdapat penanda berupa konsep tentang penggambaran seseorang, yang seolah-olah identitas dan karakter seseorang sudah tergambarkan dengan penuh dalam FB. Sistem Linguistik ini adalah Sistem I (Sistem Konotatif). Jika kita berbicara Sistem I ini, setidaknya semuanya tampak normal. Oleh karena itu, dalam sistem konotatif semuanya tampak apa adanya, dan yang pasti, inocent.

Sebagai salah seorang pengguna FB sejak beberapa tahun yang lalu, saya tidak berfikir bahwa FB akan memitoskan dirinya sendiri. Mitos ini menurut saya akan lahir dengan trik-triknya sendiri karena kita telah begitu mendewakannya, dengan kata lain kita telah begitu mengkonsumsinya, sehingga FB itu sendirinya akan berubah menjadi sesuatu yang alami (natural). Padahal sudah sangat jelas, FB itu sendiri merupakan produk sejarah. Inilah mitos.

Sebenarnya apa yang ada dalam diri FB itu sendiri? FB pertama harus dibaca sebagai produk kapitalisme, dan kita adalah pengkonsumsinya, kitalah borjuis kecil (petit-bourgeois) itu. Contoh sederhana: saat Anda menghadiri pameran buku nasional (setidaknya hal ini yang saya amati di Yogyakarta) pasti ada slogan yang mengatakan: “Di Yogja, menunggu itu membaca....!). Benar jika dikatakan seperti itu, akan tetapi saat semuanya telah ter-blackbarry-sasi, slogan itu berubah: “Di Yogja, menunggu itu up-date status/baca sms/ngetweet...de-e-lel.” Inilah momen mengkonsumsi. Dalam FB terdapat begitu banyak aplikasi. Sehingga, kita begitu leluasa untuk menjadikan setiap orang menjadi teman, karib, bahkan sahabat erat kita dengan meng-add mereka satu persatu. Bahkan status kita sebagai: lajang, perawan, jejaka, laki-laki, perempuan, pacaran, putus dengan pacar, dan lain-lain dapat dengan mudah dimediasi oleh FB. Makanya tidak heran jika hal-hal yang remeh-temeh sering kita temui dalam FB: dalam status kita mungkin terdapat kalimat “Eh.....Buber depan Candi Mendut...mantapp”. Inilah salah satu hal yang ikut andil dalam memitoskan FB. Karena itu FB termasuk dalam budaya populer masyarakat Indonesia kita.

Sedangkan Kedua: Sistem II (Sistem Denotatif), yaitu: Sistem Mitos. Sistem Mitos ini adalah sistem turunan dari Sistem Konotatif. Tanda yang dihasilkan dari penanda dan petanda pada Sistem I (Sistem Konotatif), hanya akan menjadi penanda pada Sistem Mitos (Sistem Denotatif/Sistem II). Pada Sistem Denotatif inilah, yang membuat FB terbuka lebar untuk kita geledah. Karena dia telah termitoskan, dalam mitos semuanya dibuka dengan jelas tanpa tedeng aling-aling—ingat kasus Icha dan suami yang menikahinya: yang diketahui dikemudian hari Icha ternyata bukan seorang perempuan (entah dia KW atau Gay?). Hal ini dikarenakan Icha menawarkan dirinya melalui FB. Menurut saya bukan Icha yang menipu lelaki ini, akan tetapi, lelaki ini telah menjadi korban FB yang termitoskan. Dalam FB seolah kita mengenal orang lain, akan tetapi, tidak sama sekali.

Begitulah kiranya, seperti dikatakan oleh Roland Barthes: “hal yang paling membuat saya kagum sepanjang hidup adalah cara masyarakat menjadikan dunia mereka dapat dipahami.” Seperti hidup, FB bukan hanya soal bagaimana penggambaran diri kita dihadapan begitu banyak orang, tetapi FB telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Konsumsi bukan lagi soal terpenuhinya perut untuk bertahan hidup, dalam FB, yang berusaha kita penuhi adalah hasrat-hasrat kita sebagai eksistansi yang unik, unik karena kita mencoba memasukkan diri kita dalam cyberspace. Artinya, banyak dari kita ‘sebenarnya’ telah kehilangan eksistansi sehingga mencarinya dalam aplikasi yang ditawarkan dalam FB. Inilah yang membuat Roland Barthes mengagumi masyarakat Indonesia— setidaknya secara tidak langsung.

Yogyakarta-Ngawi, 09 Agustus 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun