Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Andaikan FPI Nonton Konser Lady Gaga

7 Juni 2012   22:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:16 1160 0

Dalam tulisan ini, saya sedang tidak mencoba untuk menghakimi ideologi dari keduanya (FPI dan Lady Gaga), meskipun menurut pandangan awal saya diantara mereka belum ada hubungan sama sekali. Untuk itu saya akan menggunakan teori semiotik untuk mengungkap apa saja yang sanggup menghubungkan antara Lady Gaga dan FPI. Sehingga dimungkinkan keduanya dapat saling melaksanakan konser tanpa ada ketegangan.

Pada Gambar I (logo FPI) terlihat gambar tasbih dan dua kalimat Basmallah (dengan motif bulan), Toyyibah (dengan motif bintang), dan teks FPI yang berfungsi sebagai simbol dari ormas ini. Kedua kalimat (teks) ini dikelilingi oleh tasbih. Konteks gambar tersebut ada dua, yaitu warna putih yang berfungsi sebagai tempat pertama dan tasbih yang berfungsi sebagai tempat kedua yang di dalamnya diisi oleh kalimat Toyyibah dan Basmallah. Kedua tempat ini merupakan penanda yang memiliki makna (petanda), yaitu kebenaran (warna putih mencerminkan kesucian dan kebenaran dari agama Islam yang menjadi “rumah” bagi FPI, sedangkan tasbih memberikan makna tentang kesucian dari 99 nama Tuhan dalam Islam). Karena dari Gambar I tidak terlihat konteks lain selain warna putih dan tasbih, saya membacanya sebagai bentuk kehadiran dari kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat (petanda absolut/non polisemy).

Kehadiran kebenaran ini disebabkan karena adanya penumpangtindihan dari penandan dan petanda (yaitu warna putih dan tasbih serta makna yang muncul dari keduannya), sehingga yang muncul adalah kebenaran dari petanda (warna putih dan tasbih) absolut. Pihak FPI secara tidak sadar telah mengambil kebenaran dari petanda secara absolut ini, sehingga memunculkan larangan konser Lady Gaga di Indonesia (karena tidak sesuai dengan ideologi FPI). Hal inilah yang dikritik oleh Derrida melalui teori dekonstruksi atas Metafisika Kehadiran. Menurut Derrida yang ada hanyalah jejak dari petanda dan tidak pernah ada petanda absolut.

Jika saja tasbih dalam Gambar I kita andaikan tidak ada, maka ideologi FPI akan berbeda. Karena kalimat Basmallah dan Toyyibah tersebut akan dapat dibaca oleh Sang Liyan (The Other) dan tidak dibaca oleh FPI secara ekstrim dan eksklusif. Jika hal ini diteruskan, maka kebenaran yang muncul dari kalimat-kalimat itu dapat ditafsirkan dengan berbagai macam bentuk dan warna, karena kebenaran selalu bersifat polisemy (multi tafsir/non absolut).

Oleh karena itu, disini kebohonganlah yang dimunculkan secara tidak sadar oleh FPI. Ketidaksadaran ini, yang mengambil bentuk ideologi jihad memerangi kemaksiatan. Menurut saya apa yang dilakukan oleh FPI kepada Lady Gaga (dan yang lainnya) tidaklah salah, akan tetapi cara-cara yang mereka lakukan tidaklah sejalan dengan kultur ke-Indonesiaan. Hal inilah yang menjadi implikasi terbesar atas kebenaran yang diambil dari petanda absolut seperti yang dijelaskan di atas.

Apa yang mereka lakukan merupakan kekurangtepatan penggunaan logika, di mana yang digunakan tidak lagi logika kebutuhan untuk berjihad, akan tetapi mereka menggunakan logika hasrat dalam berjihad. Kedua logika ini akan memberikan sesuatu yang saling berbeda, jika logika pertama akan lebih sesuai dengan kultur Indonesia dan logika kedua (logika hasrat) akan membawa kepada kekerasan baik fisik ataupun mental. Logika hasrat (seksual/jihad) ini menurut Jacques Lacan akan terpenuhi melalui objek seksual dari jihad pada tahap imajiner dari FPI. Akan tetapi, sekarang objek tersebut mungkin sudah hilang, sehingga hasrat ini menginginkan sesuatu yang lebih melalui pemenuhan akan simbol-simbol lain, seperti kehadiran Konser Lady Gaga di Indonesia.

Dari sini dapat dikatakan bahwa sebenarnya apa yang dilakukan FPI bukan menghilangkan apa itu kesalahan, kemaksiatan, kedosaan dari simbol-simbol seperti Lady Gaga, melainkan mereka telah menanamkan kebencian kepada kalangan masyarakat luas yang ingin sekedar melepas lelah dari hiruk-pikuk kekacauan negeri ini. Dari sisi lain dapat dilihat bahwa sebenarnya FPI mengalami impresi dari kebenaran-kebenaran yang mereka ambil sendiri dari petanda absolut. Kebenaran ini menuntut untuk menghilangkan segala bentuk perbedaan konsep dan ideologi dari yang lain (the other). Sehingga dapat dikatakan ideologi yang mereka pegang adalah ideologi semu (pseudo-ideology). Maka dari itu tidaklah heran konser Lady Gaga batal diselenggarakan di Indonesia.

***

Pada Gambar II, terdapat wajah Lady Gaga yang di bawahnya terdapat beberapa penari, dan bangunan tepat dibelakang para penari tersebut. Konteks dari gambar ini adalah warna hitam dengan awan gelap menyelubungi wajah Lady Gaga. Tulisan besar LADY GAGA dengan ditopang tulisan kecil “THE BORN THIS WAY BALL” dan tulisan-tulisan kecil di bawahnya akan berperan sebagai penanda. Gambar II ini memiliki hubungan dengan Gambar I, meskipun pada saat tertentu hubungan tersebut akan saling menghilangkan.

Warna hitam dan awan kelam merupakan penanda dengan petanda yang bersifat polisemy. Dari petanda tersebut dapat dibaca sebagai bentuk kekelaman dan kekejaman sifat dari Lady Gaga sendiri (makna konotatif). Akan tetapi apakah pandangan seperti ini ‘benar’? Karena sifatnya yang polisemy, maka saya memiliki hak untuk melepaskan mitos akan warna hitam dan awan kelam tersebut. Menurut pembacaan saya, warna hitam dan awan kelam tersebut akan memiliki makna yang integratif jika dihubungkan dengan tulisan “THE BORN THIS WAY BALL”. BORN THIS WAY, merupakan sejenis Yayasan milik Lady Gaga yang berperan dalam pemberian konseling kepada anak-anak muda yang mengalami pelecehan. Dengan begitu berarti bahwa warna hitam dan awan kelam tersebut merupakan sejenis penyelewengan pesan (makna) dari Lady Gaga itu sendiri. Awan kelam dan warna hitam “seharusnya” diganti dengan warna putih agar pesan benar-benar dapat dipahami, yaitu kebenaran yang muncul dari petanda yang bersifat non absolut. Sedang tulisan besar LADY GAGA merupakan petanda yang lebih berfungsi sebagai penguat, bahwa konser tersebut sebenarnya milik Lady Gaga sepenuhnya.

Lady Gaga atau Stefani Joanne Angelina Germanottayang dijuluki sebagai “Mother’s Monster” (lihat Gambar V) ini akanmemuaskan para penggemar-penggemarnya di Indonesia—seandainya jadi konser di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari petanda berupa tatapan mata Lady Gaga yang seolah-olah langsung menuju ke arah kita (penonton) dan bukan ke arah para penari yang ada di bawahnya.

Dengan melihat dari sisi kulitnya saja seperti warna hitam dan awan kelam, juga warna putih dan tasbih pada logo FPI, maka kita akan terjebak dalam permainan penanda dan petanda yang menuntut untuk selalu dipenuhi hasratnya. Petanda absolut ini akan menuntut untuk mengabaikan The Other seperti yang dilakukan oleh FPI kepada Lady Gaga. Meskipun begitu, tidak berarti saya mendukung atau menolak atas kehadiran Lady Gaga di Indonesia, atau juga menolak apa yang telah dilakukan FPI selama ini. Akan tetapi saya melihatnya untuk lebih berhati-hati dalam bertindak, sehingga hasrat-hasrat kita akan dapat memenuhi porsinya masing-masing.

***

Gambar III dan IV adalah representasi dari keduanya (FPI dan Lady Gaga) untuk konsumen Indonesia. Jika pada Gambar III para pendukung terlihat sedih dan kurang bersemangat sebagai pendukung dari FPI, maka pada Gambar IV adalah pendukung dari Lady Gaga yang tampak gembira dan senang. Kedua jenis ekspresi yang berbeda ini menurut pembacaan saya disebabkan adanya impresi pseudo-ideology pada FPI (maka orang-orang tersebut tampak sedih) pada Gambar III. Sedangkan pada Gambar IV (orang-orang tersebut tampak senang dan bahagia) disebabkan adanya fetisisme yang berlebihan dari masyarakat konsumen di Indonesia, artinya adanya pengumbaran ideologi Gagaisme oleh masyarakat Indonesia (little monster) yang menjadi penggemarnya.

***

Kesimpulan dari essay ini akan saya tutup dengan menjawab hipotesis yang diajukan di atas tadi, apakah keduanya (FPI dan Lady Gaga) memiliki hubungan? Keduanya dihubungan oleh perbedaan pandangan kebenaran yang muncul. Jika FPI mengambil kebenaran dari sisi petanda secara absolut, maka kebenaran Lady Gaga muncul dari petanda yang bersifat polisemy, maka dari itu pihak FPI memprotes kehadiran Lady Gaga di Indonesia. Meskipun begitu, pesan-pesan (makna) keduanya akan terartikulasi secara penuh jika tidak ada penyelewengan makna di dalamnya[]. Salam.

Yogyakarta, 07 Juni 2012 (Sore Hari)

NB:

Menurut pandangan awal saya, Lady Gaga “mungkin” seorang Feminis Liberal. Hal ini dapat dilihat pada busana yang digunakan Lady Gaga ketika konser dengan mengenakan busana berbahan daging. Ini dimaksudkan sebagai persetujuan Lady Gaga atas aktifitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). Isu-isu LGBT ini tentunya juga ditentang oleh FPI (lihat tulisan yang dikenakan oleh pendukung FPI pada Gambar III).

Penanda= Adalah citra yang langsung tampak oleh kita.

Petanda= Adalah konsep yang bersifat konotatif dan polisemy, sehingga pesan (makna) yang muncul dapat secara bebas di artikan/dipermainkan. Tanda = Gabungan dari penanda dan petanda (menurut Saussure). Sedang menurut Barthes, tingkat tanda dapat berbentuk:

Tanda → Denotasi → Konotasi (kode) → Mitos

Fetisisme = Adalah pandangan yang menganggap bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan magis seperti sihir.

Metafisika Kehadiran= Adalah pandangan adanya kebenaran total yang tidak dapat diganggu dan digugat. Istilah ini identik dengan Logosentrisme milik Derrida.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun