Sopia mendiami sebuah rumah di tepian teluk itu, tepatnya di sebuah pulau yang teduh, tempat bertumbuh cemara-cemara, berjejer rapi, tegak dan selalu tabah menaungi seluruh keluh kesahnya. Di siang hari angin pantai berhembus lembut, meski tak sanggup memberi sejuk di angan Sopia yang terus terpuruk.
Betapa tidak, Sopia hidup sendirian di tempat itu, ia disangka gila oleh sebagian orang, sebagiannya tidak peduli dan sebagiannya lagi menganggap Sopia sebagai pertapa, bisa jadi karena ketaatan Sopia pada perintah agama.
Namun sesungguhnya, Sopia bukanlah siapa-siapa, ia perempuan biasa, yang menyimpan seluruh luka kehilangan, tepatnya Sopia adalah manusia tabah yang terus menunggu, meski ia sadar penantiannya adalah sia-sia.
Sopia bukan pula perempuan yang pernah dikecewakan oleh harapan tentang cinta yang kandas dari seorang lelaki idaman, Sopia tidak pernah mengalami patah hati sejenis itu, pun ia tidak ingin mengalaminya. Tapi, kehilangan yang dilalui Sopia, adalah kehilangan paling gelap lagi menyakitkan, ia harus menanggung beban itu sendirian, tanpa teman, orang tua, saudara maupun kekasih.
Ia kerap merasai pedih di ruang dadanya, menjalari segenap pori kulitnya yang kecoklatan karena matahari lautan. Sopia selalu mengalaminya sekali dalam sehari, meski begitu, air matanya tak lagi menggenang, ia lupa kapan terakhir matanya berair sebab kesedihan, mungkin sudah mengering, luruh di luasnya samudra yang ia pandangi sehari-hari.
Di pulau ini, Sopia hidup dari kasih sayang para pelaut yang kerap melintas di depannya, kadang mereka singgah berbasa basi dengan sapaan sederhana, lalu memberinya beberapa ekor ikan, atau mereka hanya melempar begitu saja hasil tangkapan sekadar ingin berbagi berkah dengannya. Itu terjadi setiap subuh, ketika matahari belum tampak dan langit masih kelabu.
Pukul empat Subuh adalah waktu ketika Sopia duduk memeluk lutut menghadap laut, ia mengosongkan pikiran, membenamkan tatap di lautan tanpa gemuruh, sembari menyimpan harap pada sebuah kepulangan dari seseorang yang pergi dalam sepi. Di kejauhan, gunung-gunung berjejer, berlapis, Â dalam kabut yang mengaburkan pandang.
Pukul empat subuh, bagi Sopia adalah perantara ketika langit perlahan tersibak menuju terang, pertanda hari sudah benar-benar berganti. Ia tak pernah melewati waktu itu sedetik pun dalam hidupnya, sejak ia percaya pada janji, bahwa Pulang adalah sebuah kepastian.
Sopia tak pernah merasa putus asa, ia selalu mengira seseorang akan pulang di pagi itu, menyapanya seperti biasa, menyuapinya penuh kasih, menemaninya berlarian di bawah rindang cemara dan mengantarnya pada tidur paling nyenyak sepanjang malam.
Ia mengingat itu setiap pagi, tepatnya berharap seluruh kenangan itu akan terjadi lagi. Akan kembali utuh. Ia ingin menghapus sepotong kenangan kecil, pendek, ringkas namun hidup dan terus hidup di sekujur raga dan batinnya. Kenangan itulah yang membuatnya terus menetap di pulau ini, hidup seadanya, tanpa kemauan apa-apa selain menunggu.
***
Pagi itu, mendung setebal kesedihan yang hinggap di mata Sopia, terus manaungi teluk, semalam bulan tak tampak sempurna, ia terhalang mendung-mendung, mereka yang menanti sinarnya, diam-diam menyimpan kecewa hingga pagi tiba.
Sopia masih memeluk lutut di bibir pantai seperti biasa, kali ini tidak sendirian, ia bersama seseorang, pelaut yang biasa singgah memberinya ikan. Namun, ia bicara dengan Sopia agak lama, cukup serius, sebab Sopia menanggapinya sedemikian rupa. Ia menyerahkan sesuatu kepada Sopia, ibarat pusaka, ia memberikan itu dengan hati-hati.
"Apa ini Pak?"
Sopia menatap sebuah benda yang sedang dalam genggamannya. Sebuah kotak besi, tipis, berwarna putih, seukuran jengkalnya.
"Bapakmu menitipkan ini padaku, sudah lama sekali, sejak sebelum ia meninggal..
"Bapakku tidak meninggal!"
Sopia memotong kalimat pelaut itu, ia berkata setengah membentak, hatinya teriris. Itulah sebab, mengapa ia terus menunggu. Menunggu sebuah kepulangan. Ia menolak sebuah kepergian, baginya hanya ada kepulangan, yang artinya kembali, ke sisinya. Ke sisi dirinya, seperti biasa, seperti tidak terjadi sesuatu.
Pelaut itu menunduk pilu, dialah satu-satunya orang yang memahami mengapa Sopia hidup seperti itu. Ia tahu Sopia tak akan sanggup menerima kepergian Bapaknya, kepergian paling pilu yang pernah disaksikannya.
"Baiklah, sebentar lagi hujan turun, aku harus pulang, laut mungkin tidak ramah hari ini, permisi Sopia..."
Pelaut itu berlalu, mendorong perahu agak ketengah, menaikinya, lalu mendayung menuju arah pulang. Meninggalkan Sopia dengan seluruh kebimbangannya.
Sopia membuka kotak itu, perlahan. Ia menemukan selembar foto seorang lelaki setengah baya berdiri tegak di atas perahu, berlatar biru laut dan langit kelabu, mengenakan celana hitam selutut dan kaos abu-abu.
Garis senyumnya tegar, kuat dan tangguh layaknya pelaut pada umumnya. Rahangnya menandakan ketegasan, kulitnya mengkilap kecoklatan, basah oleh peluh di bawah terik matahari siang.
Sopia menatap lekat wajah itu, degup didadanya kian hebat ketika ingatannya tertuju pada sesuatu. Pada sebuah kejadian paling manis dan bahagia yang seketika berubah luka, sejak lelaki itu tak pernah pulang hingga kini.
Itulah Bapaknya, pelaut dalam foto itu. Baju yang ia kenakan masih sama dengan ketika ia pamit, pada Sopia, menuju perahu dan pergi mencari hidup ke samudra seperti biasanya.
Sopia masih ingat, itu baju terakhir yang ia lihat pagi itu. Ketika bapaknya membangunkannya, membantunya berwudhu lalu mengimami sembahyang subuhnya. Lalu menyuapinya, menemaninya bermain-main di antara jejeran cemara, dan bergegas menyiapkan segala kebutuhannya lalu pergi melaut.
Itu terjadi puluhan tahun silam, ketika Sopia belum dewasa, ketika Sopia belum mengerti bagaimana ia harus hidup, sebab baginya, kehidupan itu adalah Bapaknya.
Setiap hendak pergi, Bapaknya selalu menitip janji, bahwa kepulangan adalah sebuah kepastian, disertai kecup penuh kasih di kening Sopia yang mungil, dan seperti biasa, Sopia menyimpan janji itu di ruang bawah sadarnya, mengendap rapi dan sempurna. Sebab, ia kerap menemui kepastian, bahwa Bapaknya pasti pulang, selaus apapun samudra yang dilaluinya.
Hingga pagi ini, detik terakhir ia menanti kepulangan Bapaknya, ia hanya menerima selembar foto, entah karya siapa, tapi di foto itu ia seolah berhasil menemui Bapaknya, tersenyum, sebagaimana ia memberi senyum itu pada tidur paling lelap yang pernah dimiliki Sopia.
Ia begitu hidup, Sopia tak sanggup lagi membedakan, apakah yang ditatapnya hanya sebuah gambar tak bernyawa, ataukah selembar bayang yang datang tiba-tiba sebagai pertanda bahwa penantiannya tidak sia-sia.
Matanya tajam menatap lurus ke arah Sopia. Mata itulah yang dirindukan Sopia dalam hidupnya, pancaran itulah yang ditatapnya hingga ia mulai mengenali diri dan tumbuh sebagai perempuan dewasa yang hidup dalam penantian.
Kini, perasaannya berbaur tak tentu arah. Ia tak menemui tubuh untuk dipeluk dan diajaknya berbicara, ia tak mendapati lengan yang kerap menggenggam jemarinya di kala senja.
Tapi, ia hanya mendapati seluruh kerinduan dan penantiannya terobati perlahan. Meski pipinya mulai basah oleh air mata yang menggenang tak tertanggungkan.
Ia mulai menyadari, kepulangan tidak harus selalu tentang raga, tentang suara, tidak juga tentang penolakan-penolakan pada kejadian yang menyakitkan. Tapi kepulangan juga tentang kenangan yang masih sanggup kita hidupi bersama doa dan segenap ketabahan yang masih tersisa.
Sopia bersimpuh, ia menjatuhkan diri di atas pasir, berlutut, dan mendekap foto itu penuh kerinduan. Berdoa sepenuh keikhlasan, semoga Tuhan berkenan mengantarkan Bapak menemuinya di alam mimpi, bersenda gurau, bermain di bibir pantai, berlarian di bawah rindangnya cemara, berenang di laut lepas, melindunginya dari angin malam, mengimaminya, mengajarinya huruf-huruf, dan segalanya, segalanya. Di kesadaran terdalamnya, dunia ini adalah Bapaknya.
Sopia beranjak, menuju bibir pantai, air laut berkilau ditimpa matahari pagi yang mulai meninggi. Sopia menggenggam foto itu erat, tekadnya kuat, ia akan mengikhlaskan segalanya, baginya, hati dan pikiran cukuplah menjadi tempat terbaik menyimpan dan merapikan segala kenang tentang Bapaknya.
Maka ia bertekad melarung foto itu bersama segenap kesedihan dan kesepiannya. Sopia melepas foto itu perlahan di atas air. Ia membiarkannya hanyut tersapu gelombang lembut air laut, ia telah mengikhlaskan jika memang teluk itulah yang telah menelan tubuh Bapaknya.
Sopia memandang foto itu penuh haru, pagi ini ia benar-benar percaya telah melepas kepergian bapaknya dengan sangat tabah.
Terima Kasih... Bisiknya dalam hati...
---------------
12 November 2020
Selamat Hari Ayah