Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Menjadi Religius Pasca Ramadhan

6 September 2011   10:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11 153 1
Gema takbir idul fitri menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan, sebuah bulan yang tidak saja penuh dengan rahmat, tetapi juga telah menjadi bagian dari kultur bangsa Indonesia. Selama sebulan penuh, anjuran untuk memperbanyak pahala, menahan hawa nafsu dan melakukan kebaikan sosial terus disuarakan oleh para ustadz, muballigh, kiai dan tokoh masyakarat. Pada bulan itu pula, nuansa keberagamaan bangsa Indonesia berubah secara drastis.

Umat islam tampak begitu khusyuk dan taat beribadah. Maka, ketika seseorang melakukan tindakan kejahatan, kekerasan dan melanggar perintah Allah, dengan mudah diklaim bahwa orang tersebut tidak sedang berpuasa. Pasalnya, puasa bagi masyarakat dipahami bukan sekedar menahan lapar dan haus tetapi juga meninggalkan tindakan-tindakan kejahatan, dan memperbanyak ibadah.

Bulan yang diakhiri dengan kewajiban membayar zakat ini kini telah berlalu. Pelbagai ritus dan tradisi yang mengiri bulan suci ini pun secara perlahan mulai ditinggalkan. Tak ada lagi taraweh, bukan bersama, dan tadarus yang secara rutin dilakukan umat islam dalam setiap harinya.

Idul fitri sebagai perayaan kemenangan umat islam dalam melawan hawa nafsu dan tindakan kejahatan sudah mulai terlupakan. Umat islam kini seakan merasa kembali pada kebiasaan dan rutinitas sebelum Ramadhan, bahkan seakan merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama bulan Ramadhan. Sebagian umat islam beranggapan bahwa dengan berakhirnya bulan Ramadhan, tindakan kejahatan, korupsi dan kekerasan adalah hal yang absah dilakukan. Dengan kata lain, makna dan ritus Ramadhan bagi sebagai umat islam tak memiliki pengaruh pada kehidupan pasca Ramadhan.

Pasca Mudik

Bulan Ramadhan yang sarat akan pesan-pesan teologis diakhiri dengan kewajiban umat islam membayar zakat. Keterlanjutan ibadah puasa dengan kewajiban membayar zakat kepada fakir miskin bukan tanpa makna. Ini mengisyaratkan bahwa ajaran-ajaran teologis seperti puasa senantiasa melampirkan pesan-pesan sosial yang tak bisa dipisahkan. Ibadah kepada Allah harus senantiasa diiringi oleh kebajikan sosial.

Kini, setelah Ramadhan berlalu, mudik dari kampung dan kembali ke tempat kerja masing-masing, hal yang pertama-tama dilakukan adalah memaafkan dan minta maaf kepada kolega, atasan, bawahan dan tetangga-tetangga terdekat ditempat bekerja. Menurut Azyumardi Azra (2006), dalam kehidupan social-politik, terdapat empat dimensi dalam maaf-memaafkan. Pertama, harus dimulai dengan ingatan (muhasabah) akan dosa lalu kemudian memafkannya. Kedua, memutuskan restitusi, kompensasi atau hukuman yang harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Ketiga, adanya kesadaran bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk melakukan kesalahan. Keempat, bahwa pemaafan harus diorientasikan kepada perbaikan hubungan antar individu.

Selain saling memaafkan, hal penting yang perlu dilakukan adalah meningkatkan moralitas, etika, kejujuran, dan etos kerja. Singkatnya, ketaqwaan kita kepada Allah bukan hanya pada bulan Ramadhan. Sebaliknya, puasa harus menjadi start awal untuk melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Setelah bulan suci ini berlalu, umat Islam diharapkan tetap meningkatkan ketaqwannya, membangun solidaritas, persaudaraan dan membantu kaum miskin. Puasa ibarat media untuk membuang naluri kebinatangan kita dengan memupuk naluri kemanusiaan dan keilahian.

Pasca Ramadhan

Sesungguhnya, melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan tidak saja dianjurkan oleh Islam pada bulan Ramadhan. Pada dasarnya, Islam tidak membeda-bedakan suatu bulan. Ramadhan menjadi begitu istimewa karena pada bulan tersebut berbagai peristiwa penting terjadi seperti turunnya al-Qur’an, diwajibkannya berpuasa, zakat fitrah. Akan tetapi, perintah untuk memperbanyak kebaikan dan meninggalkan keburukan merupakan ajaran yang melintasi waktu atau bulan tertentu. Artinya, memperbanyak ibadah dan menjauhi kejahatan merupakan perintah yang disyariatkan secara universal.

Jika saja umat islam beranggapan bahwa hanya pada bulan Ramadhan ia dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan kebaikan, betapa malapetaknya umat islam pasca Ramadhan. Kejahatan, kekerasan, korupsi dan tindakan-tindakan inhuman lainnya akan meningkat secara drastis. Dan, bagaimana mungkin kejahatan yang bertumpuk selama berbulan-bulan bisa terhapuskan dengan cepat hanya dalam waktu sebulan.

Anggapan yang demikian itu tentu bertentangan dengan nilai-nilai puasa sendiri. Sebab, berpuasa merupakan media untuk meningkatkan derajat ketaqwaan seseorang. Ketaqwaan disini tidak saja bisa dinikmati hanya pada bulan Ramadhan, hanya dengan memperbanyak tadarus, taraweh. Lebih dari itu, sebagai media transendensi diri, ketaqwaan yang dicapai selama bulan Ramadhan bisa dinikmati setelah puasa berlalu. Artinya, amal ibadah dan kebaikan yang dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadhan terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Karena itulah, puasa Ramadhan kita tidak sekedar menahan lapar dan haus, tetapi memberikan implikasi positif setelah ramadhan berlalu.

Oleh karena itu, berlalunya bulan Ramadhan bukan berarti berakhirnya kewajiban umat Islam untuk selalu melakukan ibadah, kebajikan, dan meninggalkan kejahatan. Sebaliknya, pasca Ramadhan ini umat islam dituntut untuk terus meningkatkan derajat ketaqwaannya pada bulan-bulan berikutnya. Kebajikan dan amal ibadah setelah bulan suci menunjukkan diterimanya ibadah puasa, dan mendapatkan hikmah puasa (lailatul qadar). Maka, jika setelah Ramadhan seseorang semakin rajin melakukan amal ibadah, menolong orang lain dan kebajikan lainnya, berarti orang tersebut bernar-benar melakukan puasa. Sebaliknya, jika seseorang justru semakin nakal, jahat, brutal, menindas orang lain sudah bisa dipastikan bahwa ibadah puasa orang tersebut tidak memberikan arti apapun, yakni masuk dalam kategori Shaumul ‘awam.

Harian Jogja, 18 Oktober 2008

see: http://gazali.wordpress.com/2008/10/21/menjadi-religius-pasca-ramadhan/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun