Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Terima Kasih Jason, HIV-mu Tetap Membuatmu Menyebar Kebaikan

2 Desember 2012   06:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:19 1336 5
Bergaul dengan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) alias penderita AIDS, pernahkah terbersit dalam pikiran? Ada yang tidak keberatan, ada pula yang merasa enggan bahkan jijik. Bagaimana kalau merekalah justru yang mendoakan kesembuhan orang lain yang justru sama sekali bukan pengidap HIV?

Ini sebenarnya kejadian yang sudah agak lama, sekitar beberapa bulan yang lalu. Saya tiba-tiba mengalami sebuah gangguan di daerah sekitar kepala. Bukan kebanyakan pikiran karena saat itu memang kebetulan periode menjelang ujian. Se-stress apapun menghadapi ujian sekolah, tak pernah saya sampai sakit kepala. Saat itu kepala saya kadang ngilu, sering mengantuk meski tak pernah kurang tidur ataupun insomnia, bahkan kadang terasa seolah seperti terasuki sesuatu. Seumur hidup baru sekali itu saya mengalami gejala yang demikian. Mau tak mau saya bahkan harus menunda ujian saya hingga hampir sebulan.

Kondisi tersebut juga mengharuskan saya untuk dibawa ke rumah sakit dengan paksa. Itu pun karena malam sebelum saya dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa, saya bertingkah layaknya orang setengah kerasukan. Sebelumnya saya bersikeras tak ingin dirawat karena mengira hanya sakit kepala biasa karena bagian tubuh lainnya tak terpengaruh sama sekali. Saya hanya dirawat inap semalam dan bersikeras kalau saya harus bisa pulang keesokan harinya. Sampai-sampai saya harus menelepon salah satu dosen saya sambil berurai airmata agar membantu membujuk dokter supaya saya diperbolehkan pulang.

Berita bahwa saya sedang sakit pun menyebar ke seantero kampus. Meski saya sudah keluar dari rumah sakit lama, masih banyak yang menanyakan kabar saya.

"Hey, how are you? Are you OK, now?"

"How is your health?"

"Pole sana, Dada." (Ungkapan simpati dalam bahasa swahili. Kalau dalam bahasa Inggris artinya I'm so sorry for you, sister).

Setiap hari saya mendengar ucapan-ucapan demikian. Karena meskipun dari luar saya tampak sehat, tapi mereka tahu bahwa saya belum sepenuhnya pulih.

Namun yang paling mengharukan adalah ketika seseorang mendoakan saya agar cepat sembuh. Sebut saja namanya Jason. Umurnya masih muda, sekitar 40-an. Bagi mereka yang hanya melihatnya sekilas, tak akan ada yang mengira kalau ia penderita HIV positif. Bukan itu saja, ia juga seorang amputee. Kaki kirinya diamputasi hingga bawah lutut. Karena itulah ia sering dipanggil pihak kampus untuk dijadikan model pembuatan kaki palsu. Tapi gaya jalannya menggunakan kaki palsu cukup baik karena hampir mendekati gaya berjalan orang normal.

Tidak seperti kebanyakan pasien lain, kemampuan bahasa Inggris Jason cukup baik. Makanya ia cukup akrab dengan beberapa dari kami yang merupakan pendatang. Ia juga sering menyapa kami lebih dulu dalam bahasa Inggris meski kami berusaha bercakap-cakap dengan bahasa swahili.

"How are you, Tuti?" sapanya tiba-tiba sambil menghampiri saya yang kebetulan sedang sendirian di workshop.

"I'm fine." jawabku sekenanya.

"Can I pray for you?"

Tawarannya yang tiba-tiba itu cukup membuat saya terkejut. Saya bahkan tak peduli bagaimana ia tahu keadaan saya. Yang terpikir adalah mengapa tiba-tiba saja ia mau mendoakan saya. Saya hanya bisa menjawab,

"Ok."

Jason langsung meletakkan tangan kanannya di atas kepala saya, menutup matanya, dan berdoa. Itu pun dengan bahasa Inggris! Saya hanya diam patuh sambil memperhatikan mulutnya yang komat-kamit dengan nada doa yang penuh harap.

Dia tahu saya muslim, bahkan berjilbab, sedangkan dia Nasrani. Penampilannya bak anak muda, tapi dia berdoa layaknya seorang pendeta yang mendoakan salah satu jemaatnya. Begitu khidmat meski singkat.

"I hope you are ok now." katanya sambil mengangkat tangan kanannya dari atas sambil tersenyum.

"Asante baba." kataku dalam bahasa swahili yang artinya terima kasih bapak.

Dia pun berlalu dari hadapan saya. Saya begitu terharu dengan niat tulusnya mendoakan saya. Dia bahkan berdoa dalam bahasa Inggris agar saya paham isi doanya. Itulah mengapa saya tak menolak tawarannya meskipun saya tahu dia berbeda agama. Dia hanya ingin mendoakan saya, dengan caranya sendiri yang ia tahu. Dia ingin saya kembali sehat. Bahkan ketika ia tahu kesehatannya sendiri juga perlahan tapi pasti akan memudar digerogoti penyakitnya. Tapi Jason selalu terlihat ramah kepada siapa saja, termasuk mereka yang menjaga jarak dengannya karena tahu perihal penyakitnya. Asante sana, Baba Jason. Only God can pay you back.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun