Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Semilir Panas Tuan Angin

16 Juni 2023   13:55 Diperbarui: 16 Juni 2023   14:04 177 1

Angin kembali menggerai tubuhnya memenuhi kota setelah satu purnama terlewati. Tak lupa ia juga menyusuri setiap lubang terkecil di sela-sela kota untuk menggiring debu keluar dari persembunyiannya. Orang-orang memilih untuk tetap di rumah saat ia tiba dengan sukarela. Tak ada sambutan hangat, apalagi kecupan mesra sebagai ucapan terima kasih. Aku pikir, ini aneh.

Aku berjalan dengan perlahan, menyusuri anak jalan di antara kerumunan debu yang saling sikut tak ingin menurut pada angin. Beberapa dari mereka juga berusaha menyelinap ke dalam sela-sela lipatan baju berbentuk balon yang membungkusku dengan sempurna.

"Lihatlah, dia perempuan gila yang nekat keluar saat angin datang," ucap salah seorang penghuni rumah yang kulewati. Mereka berdiri di balik dinding bening. Suaranya terdengar menusuk walau hanya dibawa angin.

"Dia hanya perempuan bodoh. Percuma saja kau mengatakannya gila. Dia pasti tidak peduli," balas perempuan di sebelah lelaki barusan.

"Oh, ya? Pantas saja tidak ada yang mau menikah dengannya." Mereka terbahak menertawakan. 

Tak ingin berlama-lama mendengar kalimat membosankan mereka, aku memutuskan untuk kembali menapaki jalanan yang sudah bersih disapu angin. Toko roti di ujung jalan sana adalah tempatku bekerja. Tidak ada yang istimewa, tetapi aku bersyukur bisa mengais pundi-pundi uang dari tempat itu.

Setibanya di depan toko, aku melihat Tuan Angin tengah membungkus debu ke dalam bola-bola kecil. Ia terlihat gembira sebab senyumnya yang lebar dan terlihat hangat.

"Hai!" sapaku padanya.

"Oh, hai. Kita bertemu lagi." Ia menatapku sekilas lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa debu mencoba berlari dan Tuan Angin memunguti mereka.

"Kau sudah selesai bekerja?" tanyaku.

"Ah, sedikit lagi. Apakah kau butuh teman minum teh?"

Aku tersenyum. "Mampirlah ke toko sejenak. Akan aku panggang biskuit kesukaanmu sebagai teman minum teh," pintaku yang dihadiahi senyuman darinya.

"Tentu. Tawaran manis itu tak boleh kulewatkan."

Aku segera membuka toko dan menyiapkan bahan untuk membuat biskuit gandum. Ini adalah kali kedua Tuan Angin berkunjung, ah, lebih tepatnya kuundang ke toko.

Tidak butuh waktu lama, lima keping biskuit telah selesai kupanggang. Dua cangkir teh pun kusuguhkan bersama sepiring biskuit. Kami duduk bersama di samping dinding bening sembari bercerita banyak hal. Sesekali aku tertawa akan lelucon yang dibuatnya. Begitu pula dengan sengatan listrik yang kerap menjalar di dalam tubuh saat mendengarnya menyebut namaku.

Aku mengalihkan pandangan ke arah luar kaca dinding. Semburat kuning keemasan telah melukis langit yang bersih, menghiasi pagi yang cerah tanpa awan. Sepertinya, Tuan Awan tengah mudik ke Selatan. Orang-orang membicarakannya kemarin.

"Bagaimana kehidupanmu selama satu purnama ini, Duksanana?" tanya Tuan Angin membuat pipiku menghangat.

"Aku ... baik-baik saja." Aku menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang mungkin saja sudah bersemu merah.

"Aku senang memiliki teman sepertimu. Dulu, sebelum bertugas di kota ini, aku juga menemukan teman baik sepertimu di Utara."

Aku menyelami binar mata Tuan Angin yang tengah menerawang jauh. Sepertinya, ia tengah mencuil sedikit demi sedikit kenangan di masa lalu. Aku memahaminya sebab kerap melakukan hal yang sama kala celengan rindu akan dirinya semakin penuh.

"Dia berbeda denganmu. Dia tak banyak bicara, tapi kerap memberi perhatian lain kepadaku dengan caranya."

"Maaf, apa kau menyukainya?"

Tuan Angin tampak berpikir. Kini, sepasang matanya beralih kepadaku dan menatap tepat di kedua bola mataku.

"Entahlah. Terkadang aku merindukan dirinya di sela-sela aku merindukanmu."

Aku tak berkedip. Ucapannya barusan menambah sengatan listrik yang membangunkan sepasang kupu-kupu dalam perutku. Mereka mulai berterbangan di dalam sana. Dan kami terdiam untuk beberapa saat.

"Hei, mengapa kau mengucapkan kata maaf? Padahal orang-orang di sekitarmu tak pernah mengucapkan itu walau sudah melukai hatimu, bukan?" tanyanya kemudian diakhiri kekehan.

Aku hanya tersenyum getir menanggapi pertanyaannya barusan.

"Kau tak punya teman?" tanya Tuan Angin, lagi.

Seketika aku menunduk. Mataku terasa menghangat, lalu beberapa detik kemudian aku menggeleng pelan.

"Ah, kita senasib." Kudengar Tuan Angin mengembuskan napas panjang. "Maukah kau menjadi temanku? Atau teman hidupku untuk selamanya. Aku bosan dengan kesendirian."

Aku terkesiap akan pertanyaan dari Tuan Angin. Apakah ia benar-benar sadar akan apa yang barusan diucapkannya?

"Aku ... aku ..."

"Bolehkah aku memesan sepotong roti bertabur kepingan rindu di sini?" Tiba-tiba ada suara yang memotong kalimatku setelah suara gemerincing terdengar di pintu masuk.

"Duksanana, sepertinya kau harus bekerja." Tuan Angin tersenyum dan menandaskan teh hangatnya.

Aku membalas senyumnya dan menjawab pertanyaan pelanggan yang merupakan seorang lelaki, "Tentu. Bisakah kau menunggu sebentar?"

"Baiklah."

Lelaki berkacamata bulat itu duduk  di meja satu kursi dekat pojok ruangan.

"Hai, Tuan Angin. Lama tidak berjumpa denganmu," sapa lelaki tadi pada Tuan Angin.

"Oh, hai. Kau ... si kacamata dari kota luar, bukan?"

"Ya, kau masih mengingatku?"

"Tentu. Kau orang pertama yang membuatku merasa senang atas pekerjaanku."

"Bukankah itu hal biasa?"

Tuan Angin terkekeh. Semilir sejuk menusuk tulang tiba-tiba memenuhi ruangan ini. Sari-sari pati kesedihan di dalam toples, di atas rak bahan baku roti, secara bersamaan saling berkejaran. Mereka membentuk gumpalan seakan bersatu untuk keluar dari perangkap. Tidak lama kemudian, toples kaca itu pecah berserakan, mengeluarkan isinya yang seketika menyatu dengan semilir sejuk.

Apa jangan-jangan Tuan Angin tengah ....

"Dua kata berkekuatan seribu hari sukma. Apakah itu hal biasa? Sudah 1200 purnama aku tidak mendengarnya." Tuan Angin kembali terkekeh. Suaranya begitu lirih membuat kristal bening dengan ganasnya memaksa keluar dari sela-sela kelopak mataku.

"Apakah sulit untuk mengatakan dua kata? Seharusnya tidak, bukan? Tetapi, manusia-manusia yang bahkan hanya menyewa sebidang tanah di atas kerak bumi seakan tak punya lidah untuk mengatakannya. Padahal mereka kerap mengutukku akibat segerombolan debu yang kerap tercecer akibat ulah mereka sendiri. Debu yang kotor dan penuh dendam."

"Benar. Manusia itu bahkan lebih kejam dari serigala berbulu domba."

"Bukankah kau manusia?" Tuan Angin menanyakan hal yang sama seperti di dalam pikiranku.

"Kalau boleh memilih, aku ingin menjadi virus di antara para debu penuh dendam itu." Suara lelaki berkacamata itu tak kalah lirih.

"Mengapa?" tanyaku dan Tuan Angin bersamaan.

"Ah, maaf. Aku tertarik dengan kisahmu," ucapku lalu menyodorkan pesanannya. Roti panggang bertabur kepingan rindu.

"Tidak mengapa." Dia tersenyum dan menyobek roti di hadapannya. "Aku ingin mendengar sebuah permintaan tulus dari lidah neraka mereka. Walau tidak ditujukan untukku, setidaknya ada manusia lain yang mendapat permintaan itu dengan tulus," lanjutnya menjawab pertanyaan kami sebelumnya.

Aku dan Tuan Angin sama-sama terdiam. Gumpalan semilir sejuk yang menggiring sari pati kesedihan telah mengelilingi lelaki berkacamata bulat di pojok sana. Mereka menari-nari sembari membungkus lelaki tersebut bak selimut berbulu yang sangat hangat.

Tuan Angin kembali mengembuskan napas panjang. Namun, kali ini, ada hawa panas yang terasa membakar kulit hingga bulu-bulu halus di permukaan lenganku meleleh.

Kami bertiga berpisah saat Tuan Angin bergegas untuk membawa kumpulan debu dalam bola-bola kecil itu menuju Utara. Lelaki berkacamata tadi pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Sudah satu bulan lebih dia mengitari kota ini. Katanya, tak satu pun dari manusia di kota ini yang memiliki hati bersih dengan lidah, paling tidak, beraroma surga barang sedetik.

Setelah perpisahan itu, selama tiga purnama Tuan Angin tak kunjung datang. Debu-debu penuh dendam semakin liar berkeliaran dan mencekik manusia. Tak sedikit dari penghuni kota yang tewas mengenaskan dengan bola mata memerah dan mulut berdarah. Termasuk sepasang suami istri yang dulu pernah mengatakan aku gila.

Dengan membawa celengan rindu untuk Tuan Angin, aku memakai kembali baju balon yang biasa kupakai saat Tuan Angin datang. Sekaleng biskuit kesukaannya juga kubawa bersama dua kantong teh melati yang sangat ia inginkan. Namun, tak jauh setelah aku melangkah, jeritan seorang perempuan menghentikanku.

"Wahai perempuan gila, tolonglah kami!" pinta perempuan yang rambutnya telah meleleh.

"Bawalah ka-mi bersamamu. Ka-mi mo-hon," sambung lelaki yang sudah mengeluarkan darah dari mulutnya.

Aku berhenti sejenak. Dua insan sekarat itu kini meraung kesakitan di atas tanah. Tubuh mereka sudah sangat menjijikkan, seperti perkataan yang pernah mereka ucap dulu. Ah, sekarang pun mereka masih sama.

Aku memilih untuk tidak menggubris mereka dan kembali menapaki jalanan penuh debu. Luka yang menjejak di dalam sana tak akan mudah terobati hanya dengan tatapan menyedihkan itu. Aku bukan orang yang mudah. 

Sepanjang perjalanan, banyak manusia terkapar di jalanan. Para debu penuh dendam menggerogoti mereka layaknya cacing tanah yang menikmati rumah baru. Bahkan di perbatasan kota, banyak sekali bangkai manusia yang tertutupi debu halus.(*)

.

Bumi Lancang Kuning, 15 Desember 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun