Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Siapa Bilang Aku Butuh Teman

7 Juni 2023   19:09 Diperbarui: 7 Juni 2023   19:13 385 3
; Hassanah

Seorang bijak pernah bertutur kepadaku, "Kau akan temukan arti kehidupan lewat seorang temanmu. Bila suatu hari nanti kau merasa bosan dengan hidup yang fana ini, temuilah temanmu dan mengobrollah. Kau akan temukan bahwa hidup itu tak selamanya tak adil." Dia berkata dengan pandangan menerawang ke angkasa. Di atas kursi goyang dengan kacamata yang menggantung di dada.

Aku mengangguk setiap mendengar kata-katanya. Setiap kali mengunjungi rumah para orang jompo, aku selalu diajak mengobrol olehnya. Ah, lebih tepatnya mendengarkan cerita-cerita masa lalunya. Alurnya tidak pasti. Kadang maju, kadang mundur, dan kadang hanya cerita di dalam pikirannya. Bulan depan saat aku kembali ke sini, dia pasti akan mengulanginya. Entah kapan dia akan bosan.

Dia seorang lelaki tua berusia 75 tahun. Selalu menggunakan kemeja putih berpadu celana kain di atas lutut setiap kali aku berkunjung. Dan satu lagi, dia juga membawa cerutu kosong serta buku lusuh yang sampulnya sudah menguning. Kata perawat di sini, itu adalah buku harian miliknya.

"Anak muda, siapa namamu?"

Aku tersenyum kala mendengar pertanyaannya. Dia menatapku sekilas, lalu menghisap cerutu kosongnya dan memandangi langit cerah hari ini.

"Aku Ruri. Seorang sukarelawan dari kota yang kata orang sangat kejam. Melebihi kejamnya ibu tiri." Aku menjawabnya segera.

"Aku Dasrijal. Seorang ayah beranak lima yang kerja di pabrik kertas. Istriku sudah kabur. Dia memacari juragan tembakau di desa sebelah, kenalan dari temanku." Wajah lelaki tua ini tampak murung sejenak. Ya, tidak lama. Karena setelahnya dia menoleh kepadaku dan bertanya, "Siapa namamu?"

Aku kembali tersenyum, mendekat kepadanya, lalu memasangkan kacamata yang beberapa menit lalu dilepasnya. Setelah dia menatapku, aku pun menjawab, "Aku Ruri. Putri seorang profesor di ibu kota."

"Apa kau sering datang kemari?"

"Tidak juga. Cukup ketika aku butuh mendengar cerita. Atau ... kadang-kadang ikut bercerita."

"Apakah orang di ibu kota terlalu sibuk semua hingga tidak ada yang bercerita kepadamu? Atau ... kadang-kadang mendengarkan ceritamu."

Selalu saja, dia sukses membuat aku tersenyum dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah aku dengar di rumah.

"Tidak juga. Kadang-kadang, aku bercerita pada Miko kucingku atau kadang-kadang mendengar keluhan Bik Sukiyem lewat telepon."

"Ah, Miko. Aku ingat. Kucing hitam bermata hijau."

"Benar, terima kasih karena sudah mengingatnya. Tapi kabar buruknya, ia sudah mati dua bulan lalu."

"Ah, sayang sekali."

Setelahnya, dia kembali terdiam. Aku bangkit dan meninggalkannya. Saat berjalan menuju dapur umum, seorang tua lainnya memanggilku.

"Anak cantik, ke sini!"

Aku menghampirinya. Lantas, dia menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.

"Kamu kapan datangnya?"

Aku tersenyum. "Belum lama, baru setengah jam yang lalu."

"Bagaimana dengan praktikmu? Lancar?"

"Alhamdulillah. Nenek apa kabar?"

"Ya begini-begini saja. Menua bersama yang lainnya."

"Nenek tidak makan permen lagi, kan?"

"Tidak, aku takut mati. Kasihan perawat di sini, banyak susah karena aku. Ah, bagaimana dengan program beasiswa yang kau daftar waktu itu?"

"Aku dapat panggilan wawancara, tapi hasilnya belum keluar."

"Kau pasti diterima. Tapi aku jadi khawatir."

"Kenapa?"

"Nanti siapa lagi yang akan mengunjungi kami di sini? Anakku ada tiga dan yang bungsu tidak mau merawatku yang sakit-sakitan ini. Anak sulungku takut istri. Anak tengahku yang mengirim aku ke sini. Siapa lagi yang akan mengunjungi kami di sini?"

Aku tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Setahun mengenal para orang tua di sini, aku sadar bahwa tidak ada hal dapat menghibur mereka lewat kata-kata.

"Apa ayahmu sudah pulang dari Bangladesh?"

"Sudah. Tapi dia pergi lagi untuk melakukan penelitian bersama rekannya di Makau."

"Kali ini berapa lama?"

"Entahlah. Aku tidak bertemu dengannya saat pulang. Mungkin paling cepat dua bulan."

Tangan keriput itu menepuk punggung tanganku sebanyak tiga kali. Dia bersenandung dan menatap ke arah pohon tabebuya kuning. Aku pun izin pamit untuk meninggalkannya dan menuju dapur umum.

Tepat setelah tiba di ambang pintu, seseorang menepuk punggungku begitu keras. Tepukan yang mengagetkanku saat pertama kali datang ke sini di awal bulan Februari tahun lalu.

"Dasar anak durhaka! Kenapa kau tidak menjemputku? Sudah lupa kalau puting susuku berdarah-darah dan hampir putus demi memberimu makan? Dasar anak durhaka! Anusku sampai robek karena mengeluarkanmu, tapi kau malah membuangku. Dasar anak tak tau diuntung!"

Aku terdiam. Kalau sebelumnya aku mendengar umpatan kasar darinya, kali ini aku jadi teringat ibuku yang sudah tiada setelah gila selama dua tahun. Rasa sakit mereka sama, tapi bukan aku penyebabnya.

"Hei, Anak Durhaka! Aku tidak butuh uang jaminanmu! Aku benci perawat-perawat di sini! Bawa aku pulang!"

Aku masih terdiam. Sama seperti sebelumnya, tidak ada yang mampu aku ucapkan untuk menenangkan atau menghibur mereka.

"Dasar kurang ajar! Tidak tau balas budi. Anak durhaka!"

Suaranya semakin menjauh setelah dua perawat laki-laki datang dan membawa perempuan yang menggenggam selimut bayi itu masuk ke salah satu ruangan. Aku menatap banyak pasang mata yang mengarah kepadaku di sepanjang lorong. Namun, sebuah usapan pada punggung membuatku menoleh.

"Sabar ya, Nak, dia kembali seperti itu setelah anaknya berkunjung bulan lalu." Seorang wanita tua dengan kain jarit yang dililit sebagai rok dan rambut digelung itu tersenyum. Wajahnya masih cantik walau sudah dipenuhi keriput.

"Sini, duduk bareng Simbok." Dia membawaku duduk bersama tiga perempuan tua yang lebih tua.

"Siapa dia? Anak durhaka?" Perempuan yang duduk di kursi roda bertanya.

"Bukan. Dia dokter," sahut perempuan di sebelahnya yang sedang menyisir rambut perempuan tua satu lagi.

"Cah ayu, Ruri, kan?" tanya perempuan yang baru saja memejamkan matanya, seolah-olah tengah menikmati sisiran temannya.

Aku mengiyakan. Aku lalu bertanya bagaimana keadaan mereka satu per satu. Nek Durama yang menderita penyakit paru, Nek Saidah yang baru saja terkena stroke, Nek Dewi yang susah tidur karena pinggangnya sakit, dan nenek yang paling cantik, Simbok Juniar yang bulan lalu baru saja melakukan operasi pengangkatan tumor di bahunya.

"Bagaimana sekolah doktermu? Sudah wisuda untuk yang kedua kalinya? Sudah sumpah dokter?" Simbok bertanya. Anak sulungnya seorang dokter bedah, tapi sudah meninggal. Cucunya yang tertua juga mengambil jurusan dokter, tapi tidak pernah berkunjung.

"Sudah selesai. Wisudanya bulan depan."

"Siapa yang datang nanti?"

"Mungkin Bik Sukiyem. Katanya mau bawa rombongan dari desa ke acara wisuda."

Simbok tertawa. Gigi gerahamnya yang ompong terlihat.

"Kenapa dia bawa rombongan? Kamu kan anak majikan. Dia juga sudah tidak bekerja lagi."

"Dia bilang aku ini sudah jadi anaknya. Waktu aku lulus sidang skripsi, dia melakukan syukuran dan mengundang orang satu kampung."

"Kamu tidak malu kalau dia datang dengan orang kampung yang berombongan?"

Aku terdiam. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku rasakan nanti. Namun, rasanya pasti akan lebih menyenangkan dibandingkan wisuda sebelumnya. Hanya kurir yang mengantar dua buket bunga; dari Papi dan Tante Clara---istri muda Papi.

"Nanti kalau orang-orang ngomongin kamu anak kampung, bagaimana?"

"Tidak apa-apa."

"Teman-temanmu?"

"Aku kan tidak punya."

"Felisha?"

"Ah, dia menumpang nama untuk laporan saat bertugas di departemen obgyn."

"Sayang sekali, padahal kau menyukainya yang selalu ceria dan bercerita banyak hal."

Aku terdiam. Entah apa yang membuat aku dan Felisha tak berkomunkiasi lagi. Setelah dari departemen obgyn, aku berpisah dengannya. Aku di departemen toraks, dia di IGD. Lalu, aku dengar dia mendapat nilai sangat memuaskan.

Hampir seharian penuh aku menghabiskan waktu di sini. Setelah mendampingi Dokter Yudi memeriksa seluruh penghuni rumah jompo, aku beristirahat di bawah pohon tabebuya kuning. Bangkunya sudah berlumut di beberapa bagian, tapi kata Simbok ini masih sangat kuat. Di bangku yang ada di bawah pohon jambu air, ada kakek tua berkemeja putih. Aku perhatikan, dia sedang memejamkan mata dengan wajah yang mengarah pada langit.

"Kenapa masih di sini? Tidak kembali ke hotel?" Dokter Yudi duduk di sebelahku.

"Nanti saja, Dok, sebentar lagi."

"Prof Ben menelepon, katanya kamu bisa melanjutkan studi di Shanghai."

"Siapa yang merekomendasikan? Tante Clara?"

"Kamu masih memanggilnya dengan sebutan itu?"

Aku diam. Dokter Yudi tampak seperti tidak menunggu jawaban apa-apa dariku. Dia kemudian kembali berujar, "Anak saya titip salam. Dia berharap bisa bertemu kamu suatu saat nanti."

Aku memilih diam. Anak Dokter Yudi setahun lebih tua dariku. Entah apa yang beliau ceritakan pada anaknya itu, tapi sejak enam bulan lalu dia mulai menitip pesan atau salam lewat ayahnya.

Kalau dipikir-pikir, hidupku ini aneh. Terlalu banyak hal yang tidak kuinginkan terjadi. Bertemu dengan Dokter Yudi dan menjadi sukarelawan di sini adalah salah satunya. Papi yang melakukannya. Katanya, ini baik untuk karirku ke depannya. Dan dari sekian banyak hal-hal aneh yang terjadi, hanya ini yang paling aku nikmati.

"Dia ingin menjadi teman. Kalau bisa lebih, itu akan merepotkan, tapi dia tidak masalah katanya." Dokter Yudi tergelak. "Anak itu, sok keren sekali, kan?"

"Siapa bilang aku butuh teman?"

Dokter Yudi tidak merespon. Dia bangkit, menatapku sebentar, tersenyum, lalu pergi menuju rumah jompo.

"Kau akan temukan arti kehidupan lewat seorang temanmu. Bila suatu hari nanti kau merasa bosan dengan hidup yang fana ini, temuilah temanmu dan mengobrollah. Kau akan temukan bahwa hidup itu tak selamanya tak adil."

Aku menoleh. Itu suara si kakek yang duduk di bawah pohon jambu.

"Di mana aku harus mencari teman seperti itu? Mami bilang, dia mencintai Papi karena mereka mulanya adalah teman. Dia nyaman dan sampai aku lulus SMA pun Mami bilang Papi masih sama; seperti teman. Sampai akhirnya Papi menemukan teman yang lebih muda dan menyenangkan, Mami menjadi gila. Lalu, Mami meninggal dunia.

"Papi tidak menjadi gila seperti Mami, tapi dia menjadi seperti bukan Papi. Aku tak mengenalinya. Sepanjang hidupku, hanya Mami yang benar-benar menjadi temanku. Setelah Mami pergi, aku berpikir bahwa aku tidak butuh teman."

Kakek itu membuka mata dan menoleh padaku. Dia memasang kacamatanya dan bertanya, "Siapa namamu?"

"Aku Ruri, anak tunggal dan selamanya akan menjadi tunggal."(*)

Rokan Hulu, 7 Juni 2022

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun