Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jokowi-JK Harus Menjadi Penengah Kisruh Keraton Yogya.

10 Mei 2015   01:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:12 184 1


[caption id="attachment_365185" align="aligncenter" width="226" caption="Sri Sultan HB-X dan Gusti Pembayun_dok.Asrul"][/caption]

Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono X akhirnya mengungkapkan isi Sabda Raja yang diucapkan pada 30 April 2015 danDawuh Raja -- bukan Sabda Raja yang diucapkannya pada Selasa 5 Mei 2015. Penjelasan itu disampaikan Raja Yogya itu kepada sejumlah masyarakat dan wartawan di kediaman putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun di Ndalem Wironegaran, Yogyakarta, Jumat 8 Mei 2015. Penjelasan itu disampaikan Sultan lantaran Sabda Raja dan Dhawuh Raja yang beredar di masyarakat dianggap simpang siur. "Kuwi bener tapi ora pener (benar tapi tidak tepat)," kata Sultan.(baca:Sabda Raja Jadi Selisih, Sultan Pilih Hindari Wartawan)
Menurut Sultan, isi dari Sabda Raja adalah penggantian nama gelar Sultan. Adapun isi Dhawuh Raja adalah mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. “Keduanya itu adalah perintah Gusti Allah melalui ayah dan leluhur saya. Itu ada satu hari sebelumnya (Sabdaraja dan Dawuh Raja),” kata Sultan.

Namun Sultan menolak untuk menjelaskan seperti apa proses kemunculan perintah yang dianggap dari Tuhan itu. “Itu sangat pribadi. Ini semua hanya bisa dirasa, bukan dipikir. Kalau dipikir itu penuh kepentingan dan nafsu,” kata Sultan.

Berkaitan dengan penggantian nama Pembayun, Sultan mengakui kalau itu dilakukan di Sitihinggil. Namun ia membantah, jika itu artinya mengangkat putri sulungnya jadi putri mahkota. “Ya, pokoknya saya menetapkan Pembayun dengan gelar itu. Lakunya nanti bagaimana, ya aku enggak tahu (apakah jadi putri mahkota atau jadi raja),” kata Sultan.(baca:
Kecewa Sabdaraja, Abdi Dalem Kembalikan Gelar Keraton).


Demikian penggalan berita diatas yang banyak beredar dan termasuk penjelasan Sri Sultan HBX sendiri melalui media elektronik (beberapa TV Nasional).


Kontroversial dan Resistensi Internal dan Eksternal


"Buwono meniko jagat alit, jagat cilik, jagat kecil. Bawono jagat ageng, jagat besar. Dados menawi buwono meniko daerah nggih bawono meniko nasional. Menawi buwono nasional nggih bawono internasional," kata Sultan. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut berarti buwono adalah cakupan yang lebih kecil sedangkan bawono lebih besar. Kalau buwono dimaknai daerah maka bawono maknanya nasional, jika buwono nasional maka bawono adalah internasional..... Inikah hasil “mimpi” yang dikatakan Sri Sultan HBX.


Memang benar Sri Sultan HBX tidak atau belum mengangat “sekarang” tapi sudah “mengarahkan atau mempersiapkan puterinya sebagai calon pewaris raja alias akan menjadi ratu” itu yang terbaca dan menjadi tujuan "Sabda Raja". Kalau Cuma sekedar mengganti nama atau gelaran, ya mestinya bukan “Sri Sultan Hamengku Bawono X” tapi “Sri Sultan Hamengku Bawono I”, sekalian hilangkan saja tradisi nama yang turun-temurun itu, sejak Sri Sultan HB I s/d X.


Kalau Sultan mengatakan atau meminta semua kalangan, mungkin termasuk kepada saudaranya untuk “pakai rasa” sepertinya paradox apa yang dilakukan oleh Sultan? Mana “rasa” Sultan menghadapi saudara (adik) kandungnya, yang mestinya secara “tradisional keraton, saudara kandung (laki-laki) Sultan lah sebagai pewaris tahta Raja Jogya, karena Sultan (HBX) tidak punya anak laki-laki.


Semua ini nampak akan menghasilkan pro-kontra atau resistensi baik internal maupun eksternal Keraton Jogya. Mestinya pemerintah pusat tidak layak berdiam diri, sebagaimana yang dikatakan oleh Wapres Jusuf Kalla, bahwa itu urusan internal mereka (baca: Raja Yogya), pernyataan Pak JK ini sepertinya keliru, mestinya pemerintah (Jokowi-JK) turun tangan dalam masalah ini, karena ada hubungannya dengan “siapa raja dan siapa gubernur”.


Mungkin kalau hanya pergantian nama atau gelar saja, itu tidak berimplikasi terhadap pergantian raja yang otomatis akan menjadi gubernur sesuai Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY, itu wajar kalau pemerintah pusat termasuk orang-orang diluar keraton, sebut seperti misalnya saya ini, tidak perlu turut campur.


Tapi keputusan “Sabda Raja” ini berdampak ke masyarakat luas (eksternal, nasional dan internasional). Maka pemerintah pusat haruslah turun tangan. Bila menginginkan Jogya tetap aman dan terkendali. Terlebih perihal sabda raja Sri Sultan Hamengku Bawono X atas pengangkatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang ditahbiskan sebagai putri mahkota, penganti Sultan tersebut merupakan langkah Sultan tidak sejalan dengan peraturan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY Nomor 13 Tahun 2012, di mana raja Keraton Yogyakarta yang diangkat harus berjenis kelamin laki-laki bukan perempuan. (Baca: Silsilah keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono IX)


Isteri Sultan HBX, Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai Anggota DPD RI dan juga Putri Sulung Sultan, GKR Pembayun (GKR Mangkubumi) sebagai orang terpelajar, seharusnya memberi saran atau masukan kepada Sang ayah untuk memakai “rasa”nya pula menghadapi saudara atau adik kandung Sri Sultan HBX. Jangan-jangan rencana ini juga “akan dibatalkan” Allah Swt, karena sepertinya ini kondisi kurang elok apa yang dilakukan oleh Sultan HBX. Juga sepertinya terpancar diwajah Sultan HBX yang sedikit tidak tegas memberi penjelasan (nampak diraut wajah) saat “live” TV One kemarin petang. Penjelasan Sultan HBX sedikit subyektif bagi penilaian orang awam (baca: publik). Diduga tidak ada orang berani menantang atau memberi suara pada Sultan HBX kecuali Istri dan anaknya yang menjadi atau calon pewaris tahta kerajaan Jogya.


Kalau GKR Pembayun sebagai perempuan memakai “rasa” dan “ilmu” nya sepertinya atau harusnya menolak dan memberi tanggapan yang paradox dari apa yang diputuskan Sang Ayah (Sri Sultan HBX), karena jelas, secara pasti keputusan ini akan berdampak negatif terhadap  Sultan HBX dan GKR Pembayun sendiri di masa kini dan masa akan datang, khususnya terhadap keluarga internal mereka. Kami saja bukan orang Jogya sedikit kecewa dengan keputusan HBX ini yang berdasa mau memodernisasi keraton atau berdasa perintah Allah Swt melalui “mimpi”. Karena sepertinya saya yakin bila Gusti Pembayun menerima posisi yang tidak lazim di Kerajaan Yogjakarta ini, tentu juga  akan tidak tenang,  pastinya akan di obok-obok dikemudian hari, khususnya menghadapi “politik” posisi sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, tentu resistensi itu bukan hanya datang dari keluarga sendiri tapi akan datang dan terjadi residtensi dari masyarakat Indonesia secara umum.


Kita tunggu apa kejadian berikutnya???? Namun kami harap Sultan HBX kembali memikirkan "meralat" keputusannya "Sabda Raja" tersebut dan lebih mengharap Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla mengajak Sultan HBX dan saudara-saudaranya duduk bareng sambil minum teh keraton, menyelesaikan masalah ini. Apalagi Pak Jusuf Kalla sangatlah dekat dengan Sri Sultan HBX. Begitu pula raja-raja (sahabat Sultan Jogya) yang tersebar di seluruh Indonesia, agar buka suara dengan obyektif. Tentu Sultan HBX akan mempertimbangkan semua ini demi keutuhan bangsa, jangan kita melihat secara mikro “Jogya” semata, itu terlalu kecil untuk dibahas, ini persoalan bangsa.

www.asrulhoesein.blogspot.com


Baca Juga:


  1. Jokowi-JK Harus Menjadi Penengah Kisruh Keraton Yogya.
  2. Daftar Raja di Jawa
  3. Gusti Pembayun (Puteri Sulung Sultan HBX)
  4. Ratu Hemas (Isteri Sultan HBX)
  5. Sri Sultan Hamengku Bawono X
  6. Silsilah Keturunan Sri Sultan Hamengku Bawono IX
  7. Ratu Hemas dari puteri biasa menjadi Permaisuri
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun