Dua hari saya (penulis) di Kab. Minahasa, Sulawesi Utara, memenuhi undangan dalam rangka menginisiasi pengelolaan sampah kota dan limbah pertanian kepada Pemda Minahasa, sempat ke Danau Tondano, wah disana banyak benar eceng gondok (sekitar 4.500 Ha), namun tidak diberdayakan, kasian karena itu merupakan aset, bukan hanya Kab. Minahasa tapi totality provinsi Sulawesi Utara, saya mencoba mengusulkan pemerintah disana agar eceng gondok tersebut di olah menjadi pupuk organik, handycraft dan pakan ternak (eceng gondok ini sangat cocok untuk makanan babi dan ternak unggas, karena berserat), apalagi di Sulawesi Utara banyak ternak babi, sungguh Maha AdilNya Allah swt.
Sempat pula saya kunjungi Tempat Pembuangan sampah Akhit (TPA) Kab. Minahasa di Kec. Tondano Utara, masih pakai pola lama (open dumping), namun tenyata pula di areal TPA tersebut sarana/prasarana olah sampah menjadi pupuk organik sudah (sebagian) tersedia, tapi kelihatan Pemkab. Minahasa tidak oftimalkan (alat itu nganggur), karena tidak mempunyai tenaga yang mengerti apa dan bagaimana pengolahan pupuk organik berbasis sampah itu, akhirnya peralatan tersebut mubazir saja. Ini juga merupakan koreksi bagi tim penilai Adipura, semestinya mereka bekali pengetahuan tentang olah sampah/limbah kepada daerah yang terpilih, jangan asal alat sudah ada, lalu dapat Adipura, tapi realisasi jauh lebih penting (kebetulan Kab. Minahasa mendapat Piala Adipura kategori Kota kecil Th. 2010). Saya mencoba menawarkan kepada Pemkab. Minahasa untuk menerapkan pengelolaan sampah kota dan eceng gondok dengan pola komunal (basis masyarakat) sistem sentralisasi desentralisasi guna meninggalkan pola open dumping (pola ini harus ditinggalkan paling lat 2013, sesuai amanat UU. No. 18 Tahun 2008).