"Kenapa elo berpikiran seperti itu?' Tanyanya kritis.
"Setelah gue alami hasilnya seperti itu. Kita hanya belajar teori tanpa aksi, bahkan sekali aksi belum tentu tepat sasaran. Dunia nyata sangat abstrak."
"Datanya dari mana? Kalo tidak ada berarti itu hanya asumsi belaka dong?"
Gue hanya tersenyum, akhirnya masuk jebakan. Skakmat! Lalu gue menjelaskan perbedaan-perbedaanya yang relate tanpa bisa dibantah. Karena memang, satu pelajaran yang kita dapat di dunia nyata lebih berharga, dibanding di kelas.
Akhir-akhir ini semenjak masuk ke semester dua, titik fokus gue bukan aktif di kelas atau di kampus. Melainkan di luar kampus setelah sebelumnya pada semester satu sibuk jadi Maba kayak kebanyakan orang. Apa yang gue dapatkan? Abai terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh Dosen, bahkan pas Ujian Tengah Semester pun dilewatkan begitu saja, karena alasan tidak ke handle.
Tentu itu bukan prestasi yang harus dibanggakan, lebih tepatnya harus dijadikan sebuah pembelajaran. Gue mengakui salah besar dalam memprioritaskan waktu kuliah dengan waktu main, meskipun mainnya positif yah seperti mengikuti kegiatan-kegiatan seminar, pelatihan, dan lain-lain.
Tetapi dari sinilah awal pikiran gue terbuka soal perbedaan dunia nyata dengan dunia kampus, mana yang lebih dominan dari keduanya. Berikut gue paparkan:
1. Bentuk mendapatkan ilmunya berbeda
Di dalam kelas, kita mendapatkan ilmu dari Dosen hanya iya-iya aja, apa yang kita rasakan? Palingan takjub, 'Oooh! Ternyata begitu yah' dan respon-respon lain sebagainya. Memori ingatan kita tidak bermain keras di situ, karena terditraksi oleh pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Sebaliknya di dunia nyata, kita mendapatkan ilmu langsung berdasarkan apa yang sedang dialami. Â Contohnya ditinggal oleh seseorang yang kita cintai. Apa yang kita rasakan? Sakit, menangis, patah hati, dan bentuk yang serupa. Tetapi dari kehilangan itulah kita dapat pelajaran bahwa suatu saat nanti jangan pernah pergi meninggalkan seseorang yang mencintai kita dengan tulus. Dan kalau bosan, lebih baik berkomunikasi baik-baik dari pada pergi meninggalkan kesan bak belati yang menusuk-nusuk hati.
Menurut Jim Kwik salah seorang pakar Otak yang gue dapatkan di channel You Tube Sukses Daily, mengatakan bahwa pembelajaran yang dibarengi oleh emosi lebih menyerap di memori ingatan. Mengapa bisa demikian? Karena ketika kita belajar aktif di dalam otak kita tercipta dua hal yaitu, Neurogenesis dan Neuroplastisitas.
Neurogenesis adalah pertumbuhan baru sel-sel otak. Sedangkan Neuroplastisitas adalah lebih banyak koneksi. Jadi sederhananya ketika kita mengalami kehilangan seseorang yang kita cintai, koneksi-koneksi yang ada dalam otak kita aktif untuk kemudian tertanam dengan kuat, sehingga ke depannya ketika mengalami peristiwa yang sama, koneksi-koneksi itu hadir untuk memberikan solusi bagaimana kita bertindak atas masalah itu.
Berbeda dengan halnya di Kampus, suasana kelas kadang membuat bosan yang akhirnya otak kita tidak aktif sehingga efeknya adalah tidak melahirkan Neurogenesis dan Neuroplastisitas. Padahal banyak pengetahuan yang kita dapatkan dari Dosen, tetapi karena posisi kita nya bosan atau malas belajar, ya udah sia-sia. Mengapa sia-sia? Karena sel-sel baru akan terus melahirkan sel-sel yang tidak berbeda dari yang sebelumnya. Maka dari itu keaktifan itu penting.
2. Nilai IPK dengan nilai-nilai kemanusiaan
Di Kampus kita hanya fokus kepada peningkatan nilai IPK. Bagus nggak? Yeah karena itu adalah kewajiban kita. Tetapi, bila titik fokus kita hanya kepada nilai IPK tanpa dibarengi dengan nilai-nilai lainnya seperti: Nilai moral, nilai sosial, nilai agama dan lain sebagainya, mau jadi apa kita ke depan? Karena kehidupan setelah lulus bukan hanya soal kerja saja, melainkan juga soal bersosial dengan masyarakat setempat.
Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang kadang diabaikan oleh sebagian orang, sehingga melahirkan orang-orang yang tamak, egois, pragmatis dan lain-lain. Gue memandang bahwa di dunia nyata kita diajarkan secara langsung bagaimana bersosial yang baik, Â gagal sedikit terima resikonya. Sehingga membuat kita semakin tumbuh. Semakin banyak evaluasi dalam bersosialisasi, kita akan mudah beradaptasi dan di terima oleh masyarakat.
Lantas, mana yang lebih dominan belajar dari Dunia Kampus dengan belajar dari Dunia Nyata?
Tentu belajar dari dunia nyata karena bobotnya adalah 70 persen. Dari pada di Dunia Kampus hanya 30 Persen. Tetapi bukan berarti kita harus meninggalkan kewajiban di kampus. Fleksibel aja. Karena belajar itu bisa di mana pun dan kapan pun. Meminjam kata dari Anak Fakultas Ilmu Pendidikan adalah, belajar sepanjang hayat, tanpa terbatas oleh ruang dan waktu.