Tidak ada diskusi dalam bathin saya. Saya lalu memperbaharui wudhu, lalu mengikuti sholat taraweh di Masjidil Haram itu, hingga cukup 20 sebanyak 12 rakaat. Setelah itu, baru saya terpikir, bagaimana hukumnya dengan apa yang telah saya lakukan tadi.
Logika saya mulai bekerja, dengan mengatakan, bukankah di Masjidil Haram itu jamaah pada umumnya tidak melihat posisi Imam di saat sholat, dan mereka hanya mendengarkan suara Imam melalui alat pembesar suara yang di pasanag diberbagai sudut, lokasi masjidil haram. Bukankah di antara Jamaah di Mekah, ada yang mengikuti Sholat taraweh itu hanya di Grand Sam-Sam, atau di Dar al-Tauhid (Hotel di dekat masjidil Haram). Bukankah itu berarti saya dan mereka hanya persoalan jarak saja yang membedakan ?
Saya sadar pada masa Rasulullah hal seperti ini belum ada presedennya. Karena faktor teknologi informasi yang belum se-maju saat ini. Tapi ijtihad saya dan logika saya berdasarkan akal sehat saya, dan bisikan bathin saya mengatakan apa yang saya lakukan bukanlah Bi'dah hanya karena belum di contohkan oleh Rasulullah.
Apalagi pada masa Rasulullah, sudah barang tentu tidak mungkin beliau yang menjadi ma'mun. Karena tentu setiap sholat beliaulah yang menjadi Imam, karena itu tidak mungkin akan ada preseden seperti ini kedatipun beliau masih hidup.
Saya menulis hal ini bukan karena saya tidak yakin dengan apa yang telah saya lakukan. Juga bukan untuk bersikap riya. Saya menulisnya dengan harapan ada yang bisa memberikan pandangan, pencerahan dengan apa yang saya lakukan. Tentu saya berharap pendapat, saran yang disampaikan memiliki dalil yang mungkin dapat menjadi rujukan, setidaknya dari al-Qur'an atau kalau memang ada hadits, mohon disampaikan. Saya bukan ahli fiqh, namun sekali lagi saya merasa telah melakukan hal yang benar.
Akhirnya kepada Allah swt, saya berserah diri.
wassalam wr.wb.
Depok, Pukul 03.00, wib, 11 Agustus 2012