Sebuah undang-undang sebagai produk lembaga legislatif tentu diyakini tidak lepas dari kekurangan-kekurangan, olehnya itu tidak menutup kemungkinan untuk setiap saat diperbaiki agar tetap sesuai dengan kondisi masyarakat yang selalu dinamis. Yang menjadi persoalan adalah seberapa mendesak perubahan tersebut dilakukan, apakah perlu sesegera mungkin ataukah belum saatnya diubah dengan pertimbangan bahwa perubahan tersebut sebenarnya belum layak jadi prioritas.
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, program legislasi nasional juga semestinya mempertimbangkan skala prioritas dalam hal revisi undang-undang. Bila dicermati, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil yang menjadi acuan pokok dalam pemberantasan korupsi, masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut sangat berdampak pada efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kelemahan-kelemahan undang-undang Tipikor sebagaimana disebutkan dalam sebuah Naskah Akademis yang disusun oleh Koalisi Pemantau Peradilan antara lain: adanya tumpang tindih pengaturan, adanya beberapa modus korupsi yang belum diatur dalam UU Tipikor, dan belum diaturnya daluarsa tindak pidana korupsi.
Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian mendasari dibuatnya sebuah Naskah Akademis Undang-Undang Tipikor oleh Koalisi Pemantau Peradilan yang dikatakan sebagai sebuah usul inisiatif masyarakat untuk mengawal perubahan UU Tipikor. Hal-hal mendasar yang diatur dalam rancangan UU tersebut antara lain:
- Pemberian sanksi pidana terhadap pejabat publik yang tidak melaporkan harta kekayaannya.
- Kriminalisasi illicit enrichment. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa "Pejabat Publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang tidak seimbang dengan pendapatannya secara sah dipidana penjara paling singkat 2 th.... dst."
- Dipertegas pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian (pembuktian terbalik) dalam hal adanya dugaan suap dan illicit enrichment.