Memasuki September, banyak sekali berseliweran artikel di medsos yang menyampaikan dan menguraikan tentang kebengisan dan kesadisan PKI. Di sisi lain, tidak sedikit juga artikel yang mempertanyakan keabsahan sejarah di balik peristiwa G30S/PKI. Juga artikel-artikel terkait yang merupakan ekoran dari dua hal di atas. Kegaduhan di medsos makin memuncak saat mendekati 30 September.
Di depan mata, di kehidupan nyata kita disentakkan oleh peristiwa-peristiwa penusukan dan penistaan agama. Yang hampir semua pelaku di'gila'kan. Sebut saja:
1. Kasus vandalisme penyobekan kitab suci Al-Qur'an, pengguntingan sajadah, pencoretan tembok musola Darus Salam, Perumahan Villa Tangerang Elok, Kelurahan Kuta Jaya, Kecamatan Pasar kemis Kabupaten Tangerang.
2. Kasus penusukan Syekh Ali Jaber saat mengisi acara wisuda di Masjid Falahuddin, Lampung.
3. Perusakan masjid di Dago, Bandung
3. Pembakaran dan perusakan masjid di Bogor.
4. Perobek Al-Quran Di Tasikmalaya.
5. Perempuan yang masuk membawa anjing ke Masjid Jami Al-Munawaroh, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
6. Peristiwa pembacokan terhadap Maslikin yang sedang Shalat Isya di Masjid Miftahu Falah, di Sukasari, Kec Tanjungsari, Sumedang.
7. Penyerangan di Jawa Timur, kepada pengelola Pondok Pesantren Karangasem, di Paciran, Lamongan, KH Hakam Mubarok.
8. Teror terhadap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MU) kota Madiun, Jatim.
9. Penyerangan kepada Imam Masjid Al Falah Darul Muttaqin di Jalan Sumatera, Pekanbaru, Riau.
Dari bacaan yang ramai berseliweran di medsos dan terakhir saya membaca tulisan dengan judul "30SPKI Cara Cerdik Sang Jenderal Menumbangkan Kediktatoran" di sebuah grup WA tentang siapa Master Mind di balik peristiwa G30S/PKI yang kemudian saya hubungkan dengan rentetan peristiwa yang kesemua pelakunya di'gila'kan, yang daftarnya telah disampaikan di atas, saya tetap punya keyakinan, ada 'operator' yang mengirimkan 'pesan' tentang kekejaman PKI dan mengaitkannya dengan siapa yang sedang berkuasa sekarang, "Lihatlah!" begitu kira-kira pesan sang operator, memanfaatkan situasi.
Lantas siapa sang operator dimaksud? Tulis saya di sebuah grup WA.
Seorang teman menjawab, "Tidak berani menduga-duga, disinilah aparat dituntut keberanian untuk mengungkap. Mereka punya ilmunya, hanya saja berani tidak mengungkapnya?"
Kemudian teman saya itu melanjutkan komentarnya dengan peristiwa di Pasar Kemis, Tangerang, "Yang menarik adalah kasus terakhir di Pasar Kemis, ada kata-kata: _Anti Khilafah, Saya Kafir._ Seakan ada pesan yang ingin digiring pada kelompok yang selama ini menyuarakan 'anti khilafah'," katanya seraya melanjutkan kalimatnya, "Kalimat 'Saya Kafir' ini juga bisa ditujukan kepada kelompok orang yang mengkritisi ustadz yang mudah melabel 'Kafir'. Takfiri....
Saya menanggapinya dengan menuliskan, "Sang operator memanfaatkan sensitivitas keimanan kaum muslim. 'Dia' ingin meminjam tangan umat Islam untuk bereaksi. Sementara 'dia' ongkang-ongkang kaki sambil menyeruput kopi dan menunggu hasil. Atau mungkin juga sambil dikerumuni wanita-wanita cantik sambil memijat-mijat di kolam spa." Tangannya tetap bersih dan wangi.
"Sejauh ini kita bersyukur, umat tidak terpancing dan mempercayakan semuanya kepada aparat." Tulis teman saya menanggapi komentar saya.
"Di sini kedewasaan umat makin terlihat." Balas saya. "O, ya, tentang aparat, heh, masihkah kita bisa berharap? Masyarakat sudah skeptis kronis tentang itu," tulis saya.
"Susah juga ya...," jawabnya seraya melengkapi dengan kiriman emoticon bertuliskan 'angel wis angel'.
Yang saya tanggapi dengan, "Angel-ina Sondakh, jelas sudah siapa dia."
Seorang teman lain menimpali, "Lalu? Â Kepada siapa kita berharap?" Â
"Kepada rumput yang bergoyang... kata Ebiet G. Ade" timpalku.
Teman lain menulis komentarnya, "Berarti ini dia yang disebut orang 'politik itu kejam'.
"Eit, nanti dulu, bukan politiknya yang kejam atau jahat tapi para poli-tikusnyalah yang biadab, biakhlak, dan laknat. Karena politik itu sendiri sebenarnya adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Atau berdasarkan teori klasik Aristoteles mengatakan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Jadi sebenarnya politik adalah makhluk takkasat mata yang indah dan mulia. Para poli-tikus busuklah yang merubah politik menjadi senjata, alat perang yang sangat kejam dan mematikan," tulis saya.
"Sebenarnya, ke mana, sih, muara dari ini semua?" Tulis teman yang lain lagi.
"Kekuasaan," tulis saya singkat.
"Koq, bisa, ya. Gila bener. Padahal buat kita rakyat kecil, silahkan aja kalian punya nafsu, mimpi, ambisi, kemaruk kekuasaan dan lain sebagainya, tapi gak usah tega mengorbankan rakyat yang hidupnya sudah kebelangsak terus dibikin makin remuk dan hancur," kejar teman itu lewat komennya.
"Mana mereka perduli," tulis saya, membalas penasaran taman saya itu.
Kemudian saya menulis agak panjang di komentar WA untuk sekadar mengingatkan, "Isu tentang PKI memang 'bohay' dan 'sekseh'. Makin digoreng makin moncer dan gurih. Orba pernah sukses memainkan isu ini untuk melanggengkan kekuasaan. Alhasil, kurang lebih 32 tahun mereka mencengkeram republik ini. Siapapun yang saat itu tidak sejalan, akan di-PKI-kan."
"Tapi memang, fakta bahwa PKI itu kejam, tidak terbantahkan. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan penuh kedewasaan dan kearifan sehingga tidak gampang digosok, dihasut, dipengaruhi, diprovokasi, bahkan dikorbankan. Untuk itu PKI (baca: pe-ka-i[h]); peka ih. Kita harus peka membaca tanda-tanda. Ada apa ini? Kenapa ini? Mau dibawa ke mana ini? De-eS-Te. Karena jangan sampai, 'dua gajah yang bertarung, semut jua yang terinjak-injak'. Kalo udah gitu, siapa coba yang ciloko?"
"Tunggu! Terus siapa, dong, 'operator' yang mengirimkan 'pesan' itu?" Kejar teman yang penasaran tadi. Tentu melalui komentar di WA.
"Cari saja sendiri. Apa untungnya buat saya mencari sang 'operator'. Enakan juga mancing." Pungkas saya.
"Tapi gak mancing di air keruh kan?" Ledeknya.
Ah,
***