Oleh Haryo K. Buwono Sebuah Buku yang diterima dari kiriman Damar Shashangka (Rabu 27 Juni 2012) dan telah dibubuhkan tandatangannya (Sabtu 23 Juni 2012), telah dibaca dengan tuntas (Minggu 8 Juli 2012). Buku berjudul Darmagandhul - Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia, adalah buku yang sangat kontroversial dan menarik. Ulasan yang digarap dengan cukup apik dan mengalir dibawakan dengan bahasa yang membumi dan diberikan catatan-catatan, membuat pembaca akan tertarik untuk membaca hingga tuntas buku ini. Buku ini mengarah kepada penajaman perbedaan antara Islam dan Buda, serta penghapusan Buda di tanah Jawa (Bumi Majapahit). Darmagandhul yang diterakan sebagai Judul Buku adalah seorang Murid dari Guru bernama Kalawadhi. Buku aslinya adalah tidak memberikan/membubuhkan atau mensiratkan nama Penulisnya, sebetulnya sudah merupakan Buku yang tergolong tidak bertanggung jawab. Bila ditelisik dari yang telah diulas Damar Shashangka (DS) dalam buku ini, sudah mencoba sedikit menguak siapa penulisnya, walaupun tetap tidak bisa diputuskan siapa penulisnya. Buku asli yang pernah diberangus tahun 1950-an dan 1980-an, tentu sudah melewati beberapa kajian. Namun memang kajian dimanapun selalu tidak independen, selalu punya keberpihakan, terutama keberpihakan terhadap penguasa saat itu. Termasuk munculnya Buku ulasan DS yang bisa "seolah" diterima diera keterbukaan informasi ini. Kontroversi buku asli Darmagandhul terletak dari keinginan penghapusan suatu agama (Buda) yang dianut Raja-raja Jawa oleh Ulama Islam Radikal yang mampu menguasai pemimpin yang "Bodoh" (haus kekuasaan). Diingkari atau tidak, Manusia bisa berkumpul itu karena satu frekuensi (satu tujuan). Bahkan bisa bercampur karena nafsu yang sama. Ulama Islam radikal (yang diwakili Sunan Bonang/Benang) adalah ulama asal negara Arab, yang ingin "segera" mengislamkan Jawa / Majapahit saat itu. Nuansa peperangan (atau amarah) sangat terasa pada buku ini. Keamarahan dari sisi Jawa terhadap Islam. DS mencoba membawakan dan mengkritisi penulis asli terhadap penulisan buku terbitan tahun 1926 ini. Serat Darmagandhul ini ditulis asli dalam 2 versi yaitu versi prosa (tahun 1900 M) dan versi tembang (tahun 1916 M). Dan tidak ada perbedaan dari keduanya. versi tembang dibagi dalam 18 pupuh (sesuai jenis tembang jawa) dan versi prosa dalam 10 pupuh. Sikap penulis asli yang dikritisi DS, terlihat memiliki keterkaitan dengan misi yang akan dibawanya, yaitu memecah belah bangsa Nusantara saat itu. Membangkitkan kebencian lewat ajaran agama, karena memang dari dulu sejak manusia ada, keyakinan itu mudah dipersengketakan. Dan dalam penulisan Buku ini, sarat dengan otak atik gathuk (olah-olah kata yang seolah benar adanya). Terbaca sekali bahwa penulis buku asli Darmagandhul, sangat dangkal pengetahuan ke-"Jawa"-annya, dan sangat dangkal juga ke-"islaman'-nya. terlihat dari kata-kata yang dipakai, misalkan tentang Syari'at yang oleh orang jawa dalam melafal bacaan arab menjadi Sarengat, kemudian lafal diterjemahkan sebagai bacaan asli, lalu diotak atik gathuk. Sarengat dihubungkan dengan pikiran Kenthu (Senggama), yang dipisahkan katanya Sare (tidur) dan njengat (Kelamin laki-laki sedang berdiri). Otak atik gathuk, seolah benar dan emosi. Mungkin disinilah kenapa penulis asli seperti seorang "pengecut". Tentulah ada misi yang ingin disampaikan oleh buku asli ini, yaitu memberikan informasi kehancuran Nusantara, sumpah serapah yang sering muncul (dampak kemarahan), dan pemecah belah. Seperti aksara jawa yang diartikan lain saat jaman Belanda menguasai Nusantara. Hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga, dan tidak diteruskan lagi dengan "Dorasembada Dugaprayoga Ajisaka Hangajawa". Dalam cerita versi Belanda (versi adu domba), Membuat tokoh Ajisaka (pemimpin), Dorasembada dan Dugaprayoga (sebagai rakyat) untuk perang sendiri sesama saudara. Inilah pembengkokkan budaya untuk kepentingan penguasa. Seharusnya aksara jawa tidak ada keterkaitan dengan personifikasi, namun untuk sebuah "kepentingan", maka kembali lagi untuk otak atik gathuk. Bangsa Jawa juga sering dikaitkan dengan aksara jawanya. Misalnya, Nek dipangku, Mati. Dipangku diartikan sebagai Simbol Kekuasaan, dan mati diartikan sebagai tidak memiliki kekuasaannya. Ini misi penjajah bahwa, Bangsa Nusantara, jangan jadi pemimpin, yang memimpin Aku saja (diartikan Belanda). Seandainya ada pemimpin dari Bangsa Nusantara, dicarikan Pemimpin yang lemah. Seandainya ada yang kuat, maka diperangi, untuk diganti yang tunduk dengan belanda, lewat tangan-tangan bangsanya sendiri. Hal ini seperti pesan dari Dorasembada dan Dugaprayoga versi Belanda. Konsep Iluminasi atau konsep Dajjal atau Konsep Ya'jud Ma'jud, Konsep pembengkokan kebenaran dan Singular Kekuasaan. Kembali pada Buku Darmagandhul, pesan dari buku ini mengarah pada kekuatan spiritual Jawa yang diplesetkan untuk kepentingan tertentu. Kepentingan membuyarkan mana yang benar dan mana yang salah, lewat jiwa pengecut penulis asli Serat Darmagandhul (bukan DS - red). Kebenaran tentu lewat mempertajam pikiran dan hati sesuai dengan perjalanan spiritual masing-masing individu. Sehingga ojo kagetan (jangan kagetan), dan ojo gumunan (jangan terheran-heran), saat menerima adanya kebenaran itu. Terima kasih Damar Shashangka, anda membuka kembali sejarah masa lalu untuk sama-sama diolah pikir dan olah rasa. [HKB]
KEMBALI KE ARTIKEL