Tahun ini adalah tahun yang sangat dinanti oleh bangsa besar ini. Ya, tahun pergantian presiden. Permainan politik yang panas menggairahkan namun sangat rapi dan ciamik ditampilkan oleh para elit politik. Saking baiknya transfer ilmu politik yang terjadi pada tahun ini, seluruh lapisan rakyat negeri, dari orang tua, dewasa, remaja hingga anak-anak ikut-ikutan “melek politik”. Semuanya seolah-olah jadi sangat paham apa itu politik, apa itu pemerintahan, dan apa itu kampanye, meski tidak sedikit yang memaknainya dengan mengendarai motor knalpot bolong keliling kota sambil mengibarkan bendera warna tertentu.
Diawali dengan pemilu legislatif yang diikuti oleh ribuan kontestan caleg baik partai maupun independen, diikuti dengan euphoria kemenangan partai merah yang kemudian menghasilkan keputusan kontroversial dalam menentukan calon presidennya.
Ya, calon presiden mereka bukanlah calon presiden biasa. Calon presiden mereka adalah orang yang seolah mengikuti olimpiade sains nasional (OSN). Harus juara dulu di kabupaten, baru kemudian melangkah ke provinsi, dan harus menjadi juara provinsi untuk dapat menjadi delegasi tingkat nasional. Sistem ini, dalam OSN, adalah sistem yang sangat baik untuk menjaring putra-putri terbaik daerah. Namun, dalam konteks ini, sekali lagi, berbuah kontroversial. Kenapa? Karena adanya pandangan “kontrak kerja” vs “amanah Negara”.
Sampai akhirnya pada pertengahan tahun yang juga menjadi titik didih politik bangsa ini, PILPRES. Hanya ada dua calon, yang berarti masyarakat bisa sangat fokus dalam mencermati program kerja capres-cawapres dan sangat menghemat ukuran kertas pemilu. Dua calon, memang tidak selamanya jadi lebih simpel. Justru sebaliknya, menjadi sangat kompleks akibat pertarungan politik yang begitu sengit dan seru. Layaknya koalisi semut melawan koalisi gajah atau seperti serial Mahabharata yang sedang booming, antara Pandawa dan Kurawa. Sungguh rakyat seperti menonton sajian drama yang menguras emosi, sumpah serapah, dan iba pada kedua calon, terlebih lagi dengan adanya pengaruh media massa bernuansa politik yang turut memberikan warna pada tengah tahun ini.
Akhirnya, tim semut berhasil memenangi gajah dengan skor tipis. Perjuangan mempertahankan deklarasi menang ini rupanya tak mudah, namun tetap saja, endingnya sudah dapat ditebak oleh sebagian besar orang, yaitu tetap menang. Ya, setipis-tipisnya kemenangan, yang namanya menang tetaplah menang.
Drama antara 2 aktor ini sudah menemukan “epilog”nya pada ¾ tahun. Namun, benar kata tanggalan Cina itu, tahun ini adalah tahun yang keras. Ralat, sangat keras. Indonesia kembali berada pada gonjang-ganjing politik yang menjadi sorotan luar biasa bagi dunia. Revisi UU MD3 menghasilkan keputusan yang membunuh demokrasi Indonesia. Sangat ironis. Kemajuan demokrasi yang dilakukan pada awal tahun ini, dengan menuai pujian dan kekaguman negara lain, dimakamkan dengan hormat oleh para pejabat yang baru terpilih dengan sistem demokrasi.
Belum lagi kisruh antara petinggi-petinggi yang rupanya masih belum bisa move on dengan hasil kemenangan tengah tahun, sehingga masih ingin kangen-kangenan berseteru dengan membuat “pejabat tandingan”. Entahlah nasib siapa yang mereka perjuangkan.
Berbicara soal tandingan, rupanya itu sedang branded. Buktinya, di ibukota negara pun, juga ada gubernur tandingan. “Kekonyolan” ini terjadi karena adanya oknum yang tidak menerima bahwa ibukotanya dipimpin oleh agama lain, oleh suku lain, oleh ras lain. Pemikiran macam apa, yang masih sangat terkotak-kotak oleh sesuatu yang tidak bisa menjadi tolok ukur kepemimpinan.
Sungguh, hingga penghujung tahun ini, suguhan drama politik masih menjadi sajian hangat yang sangat nikmat dibicarakan sambil ngopi bersama keluarga, jajan di kantin kampus, hang out di mall, perjalanan di taksi, bahkan saat malam mingguan.
Inilah 2014. Semoga lekas move on!