Menurut Hariyanto Imadha (Pengamat perilaku):
1.Pencitraan hal yang sah-sah saja sejauh tidak berlebihan.
2.Pencitraan bukanlah perilaku yang tabu untuk dilakukan siapa saja, sejauh itu sesuai dengan fakta dan realita dan ada tindak lanjutnya yang nyata pula.
3.Pencitraan (apabila dipublikasikan). Bukan pencitraan (apabila tidak dipublikasikan).
Tapi itu sebetulnya memang style Jokowi sejak dulu yaitu untuk melihat langsung rakyatnya. Di Solo pun demikian juga,selama 7 tahun beliau mempimpin Kota Solo dengan baik dan bijak. Tak hayal fenemona atau gebrakan Gubernur baru DKI, membuat para wartawan akan selalu menguntit kinerja beliau. Dan lucunya kenapa yach hanya Jokowi yang sering ditempel terus kayak perangko. padahal Jokowi pernah bilang kepada rekan wartawan bahwa "saya itu kerja, dan tidak mengundang kalian..nanti dikira saya ngajak kalian untuk pencitraan...heheheeh"..
Bila disimak di video Youtube di link:http://www.youtube.com/watch?v=l0IrzpzAgvU&feature=plcp ,Jokowi sudah merasakan bahwa ternyata apapun reaksi atau apapun yang dilakukannya, akan menjadi santapan berita yang bagus buat para wartawan.
Menurut etika profesi wartawan: WARTAWAN adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:
1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
2. Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu. 3. Harus ada keahlian (expertise). 4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Menurut saya, wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.
1. Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1). Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya.
2. Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.
3. Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik. 4. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. sumber:http://umrikebo.blogspot.com/2008/06/etika-profesi-wartawan.html
Tapi kita juga bisa lihat di Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) 2006 pasal 2 adalah
: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran : Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Saya sangat menghormati setiap profesi wartawan, tapi ya secara moralitas dan etika ya harus tahu posisi dan dimana saat narasumber itu sedang melakukan hak privasinya. Saya takut profesi wartawan akan berubah menjadi Paparazzi. bukan maksud saya memojokkan teman-teman Pers/media tapi alangkah bijak untuk selalu menghargai privasi seseorang. Jokowi memang membuka kran seluas-luasnya untuk rakyat DKI berdialog atau berkelu kesah dan teman2x wartawan yang tidak takut lagi dengan sosok gubernur yang angkuh dan treck recordnya Jokowi sangat terbuka dan ramah dengan siapapun juga. Semoga didalam pelaksanaan kinerja beliau di DKI bisa membuat panutan kepada para pemimpin di Indonesia khususnya untuk belajar mendengar,melihat dan berbicara langsung dengan rakyatnya.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang masih mencium bau keringat rakyatnya langsung dan tidak dibuat-buat karena keperntingan politik pencitraan..Salam saya dari wong Semarang... Jika Jokowi kentut maka itu manusiawi hehehehe..jadi jangan dibikin heboh ya para teman-teman PERS...hehehehe