Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

McDonaldisasi dalam Surat Kabar Indonesia

15 September 2012   03:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26 1017 1
Pagi hari akan terasa lebih lengkap jika di tambah secangkir teh hangat dan koran. Teh mampu memberikan ketenangan untuk mengawali hari kita. Informasi dari koran yang kita dapat menjadi sedikit "modal" berbincang dengan rekan-rekan kita saat bertemu di tempat tujuan. Tentu, hari nampaknya akan berjalan menyenangkan. Namun bagaimana jika teh atau koran yang kita dapatkan sebagai modal mengawali hari terasa buruk dan tidak menyenangkan ?

Memfokuskan pada koran. Tak jarang koran yang kita dapatkan ada sedikit "masalah" yang nampaknya sedikit memberi ketidaknyamanan. Contohnya, seperti pada pengalaman saya, desain layout suatu koran nasional terlihat berantakan karena di penuhi iklan. Penuh warna yang bercampur aduk, ada satu halaman yang sengaja dibuat lebih lebar untuk menambah jumlah iklan, hingga informasi berita yang kalah jumlah. Juga, berita dengan informasi yang terkesan mirip dengan media kebanyakan dan tidak akurat yang menghiasi beberapa kolom dalam surat kabar nasional tersebut.

Sepenggal "masalah" di atas nampaknya dapat dijelaskan dengan suatu  teori dari sosiolog asal amerika, George Ritzer, yaitu Mcdonaldisasi. Nampaknya media cetak nasional di Indonesia khususnya surat kabar, telah mengalami McDonaldisasi. Hal ini nampak dari beberapa "masalah" yang timbul dan masuk dalam kategori ciri-ciri dari McDonaldisasi.

Ciri dari McDonaldisasi yang pertama adalah efisiensi. Efisiensi dalam arti menyerap pemasukan semaksimal mungkin, kemudian menekan pengeluaran sekecil mungkin. Terlihat dari jumlah iklan yang berjejalan menghiasi beberapa surat kabar Indonesia. Iklan-iklan tersebut tentu memberi sejumlah uang untuk dapat tampil di halaman surat kabar. Dengan begitu uang yang didapat secara otomatis memaksimalkan pendapatan dan meminimalisir biaya pengeluaran si surat kabar tersebut. Dampaknya, desain layout beberapa surat kabar tersebut menjadi alay -meminjam bahasa anak jaman sekarang- dan terkesan komersil.

Ciri yang kedua adalah prediktabilitas. Unsur utama dalam pendorong prediktabilitas dalam surat kabar adalah berita yang dituntut up to date. Semua surat kabar dituntut memberitakan permasalahan atau informasi yang sedang hangat di masyarakat. Hal ini menjadikan beberapa surat kabar meliput "kejadian" yang sama. Sehingga memberikan berita yang secara garis besar mirip satu sama lain. Contohnya kecelakaan pesawat di gunung salak, olimpiade 2012 di London, kasus simulator SIM, dan lain sebagainya. Masyarakatpun dengan mudah mampu menebak isi pemberitaan dari beberapa surat kabar yang beredar dalam kurun waktu yang berdekatan. Dampak yang timbul bagi masyarakat ialah semacam "kehampaan" pada pemberitaan surat kabar yang tengah beredar. Karena informasi yang diberitakan itu-itu saja, tidak jauh dengan surat kabar lainnya.

Ciri McDonaldisasi yang ketiga adalah penekanan pada kuantitas dari pada kualitas. Deadline menjadi pemantik terpenting dalam penekanan kuantitas. Semua perusahaan media cetak tentu ingin meraup untung dengan mencetak dan mendistribusikan korannya sebanyak dan seluas mungkin. Ini mengharuskan wartawan menyelesaikan laporannya dalam tenggang waktu tertentu karena masalah pencetakan dan pendistribusian ke tempat lain. Tujuan dasar media yang "diwajibkan" memberikan informasi berkualitaspun terganjal. Keakuratan berita menjadi berkurang karena si wartawan bekerja dengan terburu-buru dan hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan verifikasi di lapangan mengenai laporannya. Hal ini mengindikasikan kuantitas yang berbasis pada keinginan materil di rasa lebih penting dari pada kualitas berita yang seharusnya menjadi fokus utama media dalam melaksanakan tugasnya. Efeknya, masyarakat mengalami penurunan kualitas karena informasi yang diberitakan tidak secara mutlak benar dan tepat sesuai fakta dilapangan.

Terakhir, tergantikannya teknologi manusia oleh tekonologi non-manusia. Terjadi saat koran elektronik tengah digandrungi masyarakat. Tenaga pengantar koran yang dulunya berjumlah banyak sekarang sedikit berkurang. Diakibatkan koran elektronik yang mudah diakses kapan dan dimana saja. Koran elektronik serasa mengantarkan dirinya sendiri pada para pembaca. Hanya dengan menekan beberapa tombol saja, koran tersebut sudah "sampai" di hadapan kita. Kemungkinan, dampak terparah dari pengkonversian teknologi manusia ke teknologi non-manusia adalah memungkinkan untuk meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.

Dari sedikit penjabaran diatas nampaknya surat kabar di Indonesia telah mengalami McDonaldisasi dengan baik. Alih-alih ingin menciptakan media surat kabar dengan informasi baik dan berkualitas justru menciptakan informasi yang cepat saji dan tekesan buruk.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun