Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sunset dan Sunrise (Sebuah Novel: Album 1)

3 Januari 2011   03:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01 139 0
Ini adalah cerita bersambung. Bagi sobat kompasiana yang memiliki waktu luang, sempatkanlah untuk membaca. Memberi saran dan kritik sangat dihalalkan. Saya akan terus mempublish ceritanya. Selamat membaca (bagi yang berkenan).

-salam kompasiana-

PROLOG

Yogyakarta, Desember 2010.

Kota ini adalah kenangan. Dia adalah sebuah album tebal dengan deretan-deretan foto usang yang menggambarkan betapa kenangan itu selalu menarik untuk diingat. Betapapun pahit. Betapapun manis. Jikalau manis, dialah serupa mawar. Indah, walau berduri. Andaipun pahit, dialah serasa gula bercampur empedu. Dan aku kembali saat ini. Bukan untuk menguak semua kenangan itu. Tidak. Aku tak ingin membongkarnya satu-satu. Toh, itu adalah ilusi-ilusi masa lalu yang tak mungkin untuk kembali.

Aku ke sini untuk bertemu denganmu, kenanganku.

Sudah tak terhitung hari lagi kita tak bertemu. Mungkin seribu, atau lebih. Aku sudah melupakannya. Buat apa diingat-ingat jika menimbulkan penderitaan. Aku, kamu, kita tak pernah bisa menyangkal bahwa hidup terus bergulir. Juga cerita kita.

Stasiun ini menjadi saksinya. Berpuluh, bahkan beribu, orang silih berganti datang. Tapi tidak dengan aku dan kamu, juga kenangan kita. Kita bertemu di tempat ini. Kita berpisahpun di sini. Kau datang dengan senyum khas, menebar pesona di setiap penjuru. Juga ke jantungku. Dan suara lengkingan kereta malam itu adalah saksinya, kita berpisah. Kau ucapkan selamat tinggal, aku hanya diam. Kau pun diam. Tak berkata. Sulit mataku, telingaku, hatiku, menerima ini. Tapi kau berkhianat. Kau pergi. Kau pergi 1000 hari yang lalu, bahkan lebih.

Sunrise pertama, saat kita berdua duduk di stasiun ini.

Kau tau apa nama stasiun ini? Kau bertanya, tepat di telingaku. Sedikit berbisik. Aku kau peluk dengan mesra. Bangku stasiun menjadi saksinya, bahwa kau mendekapku dan membenamkanku dalam hangatnya tubuhmu. Orang-orang berlalu lalang, penjual rokok, penjual roti, kacang rebus, jagung rebus, tahu, satu-satu berjalan di depan kita. Kau tak peduli. Kau memanjakanku. Aku pun begitu, tak peduli.

Stasiun Tugu, ucapku. Karena memang begitu. Apa sudah ada yang mengubahnya. Aku seperti orang bego saat ini.

Dia menggeleng, pelan. Lalu tersenyum. Dan mengecupku bibirku lembut.

Ini stasiun cinta. Barang kali itulah yang diucapkannya. Karena samar kudengar. Kereta lewat, suara berdesing-desing. Dadaku berdegup kencang. Seirama dengan pagutan dari bibirnya. Saat itulah aku merasa, kita benar-benar bahagia.

Tapi ternyata tidak.

1000 hari yang lalu, bahkan lebih. Kita berpisah. Juga di tempat ini.

ALBUM PERTAMA

Yogyakarta, Juli 2007.

Bulan ini adalah bulannya lautan mahasiswa. Yogyakarta sebagai salah satu kota tujuan pendidikan menjadi penuh oleh mahasiswa-mahasiswa baru. Muka bingung, tak mengerti arah. Peduli apa mereka dengan arah utara-selatan-timur-barat. Mereka hanya mengenal kanan-kiri. Dan di akhir album ini, kita akan tahu mereka tetap bingung dengan arah di sini. Tak percaya? Tanya saja pada mereka. Tugu Jogja terletak di utara, selatan, barat, atau timur Malioboro?

Stasiun adalah salah satu hilir mereka di sini, juga muara mereka nanti. Mereka mungkin sudah pernah ke sini, saat pendaftaran ujian masuk atau registrasi di universitas. Tapi entah mengapa, aku merasa mereka masih bingung. Ah, hidup memang selalu di awali denga kebingungan. Dengan kebingungan itulah, kita akan belajar bukan.

Sore ini, aku juga diserang sindrom itu. Bingung, seperti mereka. Aku harus menjemput seorang sanak dari Tangerang yang akan kuliah di sini. Dia diterima di universitas yang sama denganku. Dia adalah anak dari bu lik yang kini tinggal di Tangerang. Sore ini dia datang. Dia akan tinggal di rumahku selama kuliah di kota ini. Dia adalah Aziz.

Aziz berperawakan tinggi dan berambut ikal. Dulu hitam, entah kini. Waktu kecil kami sempat sekolah bersama hingga kelas 4 SD. Dia kemudian pindah ikut orang tuanya ke Tangerang saat kenaikan kelas. Saat itu aku sangat sedih, tak terlebih dia. Kami adalah sodara yang kompak. Dan dia selalu melindungiku.

Dia masih sering ke Jogja. Waktu lebaran. Terakhir dia pulang saat kelas 1 SMA. Dia masih seperti Aziz yang dulu. Berperawakan tinggi, dan hitam. Dia masih suka menggodaku dengan sebutan sumi (karena menurut dia, mukaku lebih mirip seperti pembantu).

Pun sore ini, ketika kami bertemu di stasiun, dia menyebutku seperti itu.

Kereta senja meringsek masuk ke stasiun. Kepulan asap dan debu berhamburan, juga suara bising. Orang-orang seperti dimuntahkan dari kotak besi besar itu. Berduyun-duyun sembari membawa tas-tas besar mereka. Muntahan itu menyebar sedemikian rupa hingga membentuk titik-titik banyak di beberapa tempat. Suasana stasiun berubah padat ibarat semut yang keluar dari sarangnya.

Aku melihat Aziz di kejauhan. Dia masih mengenaliku. Sore ini, Aziz memakai setelan jeans dan kaos oblong warna biru tua. Di bahunya bergantungan tas besar bawaannya. Tangan kirinya menyeret koper besar.

“Sumi kenalkan ini kedua temanku, Bari dan Landung. Mereka satu jurusan juga dengan kita.”

Bari adalah pribadi yang ramah. Dia menyalamiku akrab. Dari awal senyumnya tak henti-henti berkembang. Dia memiliki kulit yang putih, lebih putih dari aku malah. Dan hidung yang mancung. Sangat tampan wajahnya. Tubuhnya dibalut dengan jaket warna putih dan jeans belel biru tua.

“Kau Erena? Lebih cantik dari yang diceritakan Aziz pada kami,” puji Bari kepadaku.

Pipiku langsung bersemu merah mendapat pujian itu.

Bari memperlihatkan sikap yang bersahabat. Ramah. Senyuman manis dari seorang tamu yang datang dari daerah lain. Karena saya adalah tuan rumah, dan mereka adalah tamu.

Tapi tidak untuk rekan Aziz yang satunya. Kami bertatapan sepersekin detik saat bertemu tadi, tapi dia buru-buru buang muka. Mulutnya membisu, tak seperti Bari atau Aziz yang terus becerita. Dia hanya berucap satu kata padaku, namanya. Lalu diam. Rahang mukanya tampak keras, rambutnya cepak, dia lebih hitam dari Bari. Namun matanya lebih indah. Beberapa kali kami bertatapan sepersekian detik, walau setelahnya dia membuang muka.

Kuakui, dadaku berdegup kencang saat itu. Entah rasa apa yang timbul. Muncul tiba-tiba saat kami bertatapan tadi. Dia tak tersenyum, namun sangat menawan. Matanya tajam dan dinaungi lebat bulu mata yang hitam. Dan aku tertawan di sana.

Ketika kami bertiga meninggalkan stasiun tugu, saya berjalan di sebelahnya. Saat itulah, saya bisa membauinya dengan sempurna. Keringatnya yang bercampur dengan parfum, yang entah sudah berapa jam dia pake, semakin sempurna merasuki hatiku. Aku tak merasakan hal tak mengenakan. Justru sebaliknya, aku terseret ke dalamnya.

Namanya, Landung

# # #

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun