Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Jokowi dan Legenda Les Deux Magots

22 April 2013   15:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:47 1246 2

02.Bagian Dua dari Tiga Tulisan

Paris, kita tahu, adalah sebuah ibu kota Perancis yang jauh lebih dulu penuh gaya, glamour, borjuis, tapi tidak sampai bertumbuh menjadi toko kelontong seperti Singapura. Paris tidak hanya melahirkan perancang busana berikut karyanya yang menjadi kiblat trend mode dunia. Paris juga melahirkan pelukis sureali sekaliber Salvador Dali, menjadi kampung halaman sekaligus rendezvous para seniman dan filsuf ternama yang buah pemikirannya mengubah dunia.

Di Paris, kita juga tahu, berkesenian dan berpikir bebas adalah sebuah tradisi, seperti yang sejak 1885 sampai sekarang berlangsung di Les Deux Magots—sebuah café di Saint Germain des Pres yang sangat terkenal itu. Ketika diajak Rano pelesir ke Eropa, 1996, “ngafe” di Les Deux Magots adalah salah satu tujuan utama atau bahkan cita-cita saya. Atas kebaikan hati seorang teman warganegara Prancis yang pernah 13 tahun belajar wayang di Yogyakarta, yang fasih berbahasa Jawa serta mengubah namanya jadi Jeff Paimin, saya dan Rano bisa “ngafe” di Le Do Mago—begitu Jeff Paimin mengajarkan cara mengeja Les Deux Magots.

Sambil minum coklat hangat yang memang lezat banget, dan mencicipi kuwih berkeju susu kambing, saya menyimak riwayat Le Do Mago yang diceritakan Jeff Paimin. Sejak diubah dari toko kain menjadi kafe, 1914, Le Do Mago tak ada yang berubah sedikitpun. Meja, kursi, lampu, bangunan tetap seperti dulu, Motif taplak, model pakaian waiter/waitress, juga sama.  Bahkan lingkungan sekitar cafe juga dijaga keasliannya.

Saat itu, desainer pesohor Versace yang hendak buka butiq di seberang sungai Seine, sekitar 500 meter dari Le Do Mago, terpaksa harus membatalkan niat memasang namanya di tembok depan butiqnya. Selain diprotes masyarakat, juga dilarang pemerintah. Alasannya, ukuran huruf Versace dianggap terlalu besar sehingga merusak suasana asli yang dulu pernah menginspirasi para seniman dan filsuf yang “ngafe” di Le Do Mago. Karena belum dicopot, nama Versace waktu itu ditutup kain putih seluas butiqnya.

Maklum, seniman dan filsuf yang rutin “ngafe” dan berdebat di Le Do Mago tak hanya berasal dari Perancis sekaliber Albert Camus, Simone de Beauvoir, Bertold Brecht dan Jean Paul Sartre, melainkan juga dari penjuru dunia. Ernest Hemingway dan Charles Sutherland adalah dua nama sastrawan Amerika yang jadi pengunjung tetap Le Do Mago. Sedangkan dari kalangan pelukis antara lain Pablo Picasso dan Salvador Dali. Kursi kayu mahagoni yang dulu selalu diduduki mereka juga masih utuh, diberi plakat kuningan sesuai nama yang menduduki. Saya merasa perlu merasakan duduk di kursi Camus yang ketajaman tulisannya saya kagumi, lalu pindah ke kursi Hemingway yang roman karyanya The Oldman and The Sea saya baca dan tonton filmnya. Di dinding, ada plakat kuningan berisi deretan nama orang ternama yang pernah rutin “ngafe” di situ. Selain seniman dan filsuf, café itu juga jadi rendezvous politisi, aktor, pengacara, bahkan juga bajingan.

Pada tahun1933, tiga belas seniman, jurnalis dan filsuf yang “ngafe” di situ memberikan penghargaan tahunan berupa hadiah sastra Deux Magots. Sejak itulah Le Deux Magots menjadi legenda, bahkan mitos. Sampai sekarang, hadiah sastra Deux Magots masih berlanjut. Terhitung sejak 1933-2012, hadiah sastra Deux Magots sudah diberikan kepada 80 penulis.

Kendati diprotes warga Tokyo, pada 1989 akhirnya café Bunkamura Le Deux Magots bisa dibuka di distrik Shibuya, jantung budaya Jepang. Mengikuti tradisi induknya di Paris, sejak 1991 Bunkamura Le Deux Magots juga memberikan hadiah sastra Bunkamura.

Sedemikian mashyurnya Le Deux Magots Paris, sehingga membuat teroris kakap Charles si Jackal pada tahun 1972 menyerangnya dengan granat yang menewaskan dua jiwa dan melukai 34 orang.

Hikayat Seniman Senen

Dalam skala nasional, Jakarta sesungguhnya juga memiliki hikayat setua legenda Les Deux Magots. Hikayat itu bermula pada akhir tahun 1930-an, di kawasan Stasiun Senen, Jakarta Pusat, yang menjadi rendezvous kaum muda dari penjuru Nusantara. Mereka kebanyakan para aktivis, pejuang bawah tanah dan pada perkembangannya kemudian juga pemain sandiwara, pemusik, pelukis, penyair dan sastrawan yang kelak dikenal dengan julukan Seniman Senen, yang salah satu di antaranya adalah Chairil Anwar, sang penyair “binatang jalang”.

Selain Chairil, seniman yang bertumbuh di kawasan Senen adalah Djamaludin Malik, Usmar Ismail,  Misbach Yusa Biran,  Delsy Syamsumar, Sobron Aidit,  Soekarno M. Noer,  Wim Umboh, dan  Wolly Sutinah. Di tahun 1950, kedai masakan padang Ismail Merapi merupakan rendezvous favorit., antara lain karena lokasinya relatif dekat dengan studio film Golden Arrow dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) di Pasar Baru. Di kedai itulah para Seniman Senen setiap hari berkumpul bersama tukang catut karcis bioskop dan preman.

Almarhum Soekarno M Noor, semasa hidupnya pernah bercerita kepada saya,”Drama-drama yang dipentaskan Seniman Senen di GKJ waktu itu bisa dibilang mendahului zamannya. Sebelum Putu Wijaya mandi telanjang di kolam TIM tahun 1970-an, yang membuat Bang Ali marah besar, tahun 1950-an saya sudah kencing di panggung GKJ. Itu sepenuhnya improvisasi. Adegannya di dalam sel, dan di sudut sel ada property kuali untuk buang air seni. Daripada nggak ada gunanya, saya kencingin saja hahaha. Tapi penonton tidak protes, karena adegan kencing itu relevan dengan set, situasi dan cerita.”

Pada tahun 1968, Bang Ali meresmikan TIM dan mendirikan IKJ. Seiring dengan penggusuran dan pembangunan kawasan Senen, lokasi Les Deux Magots van Betawi tak tentu rimbanya. Syukurlah, suka duka para Seniman Senen, masih dapat kita baca di buku kumpulan 17 cerita Keajaiban di Pasar Senen yang ditulis Misbach Yusa Biran dengan jujur,seraya berolok-olok jenaka. (bersambung)

@harrytjahjono

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun