KEMARIN sore saya ‘dipanggil menghadap’ Butet Kertaradjasa di sebuah hotel sebelah Lapangan Banteng. “Ada job,” katanya, sambil berpesan tentang apa saja yang perlu saya bawa. Saya mengiyakan, tentu saja setelah Butet menyatakan bertanggung jawab atas transportasi dan akomodasi, yang membuat saya mantap nyamperin waitress Pendopo Lounge, minta tempat duduk untuk 5 orang di smoking-area, memesan black-coffe lantas duduk manis menunggu sambil ngebul.
Menunggu adalah nasib yang mesti sabar dijalani oleh siapapun yang dipanggil menghadap. Begitu juga saya. Lima belas menit berlalu, dua kali sudah saya menelepon Butet. Selalu dijawab dengan suara yang agak bariton dalam nada ngece, ”Sabaarr. Owe sudah otewee….”
Kopi tinggal separuh cangkir. Saya tengok sekeliling. Persis di sebelah saya, seorang lelaki gemuk sedang lahap menyantap makanan entah apa. Meskipun lapar, saya menahan diri untuk tidak memesan makanan yang kelihatannya lezat itu. Maklum, makanan tidak termasuk akomodasi yang akan ditanggung Butet.
Sepuluh menit lewat. Saya melihat beberapa eksekutif muda mengambil tempat duduk dekat pemain cello yang berduet dengan pianis. Ada tiga orang yang memakai baju kotak-kotak. Meskipun motifnya tidak sama dengan kotak-kotak Jokowi, saya menduga mereka tentu pendukung Walikota Solo itu. Tak jauh dari mereka, dua orang bule juga berkemeja kotak-kotak. Mungkin bule simpatisan.
Sepuluh menit berlalu lagi. Saya mulai gelisah. Jangan-jangan Butet balas dendam. Maklum, suatu malam sekitar sebulan lalu, setiba dari Surabaya, saya “menemukan” Butet di bandara Soekarno-Hatta berdiri menyandar di tiang teras kedatangan terminal F, baru tiba dari Yogya. “Wah, ternyata kamu yang dikirim Tuhan untuk menolong saya,” katanya sambil mengeluh sudah hampir setengah jam menyandar di tiang menunggu teman lewat untuk dimintai tolong menemaninya pulang. Sebab, “Mungkin jantung saya kumat,” katanya sambil menekan dada kirinya.
Mendadak saya cemas, karena tahu dia memang pernah pasang “ring”. Karena antrean taksi lumayan banyak, saya terima tawaran taksi gelap—kok ya pas dapat sebuah Grandmax warna putih, mirip ambulan, bikin suasana tambah dramatis.
Meski Butet minta diantar ke apartemen, saya ngotot memaksanya ke RS Harapan Kita. Dalam keadaan loyo, akhirnya Butet menyerah. Butet minta saya mencatat nomor telepon istrinya, dengan pesan, “Kalau saya nggak sadar, baru kamu telpon dia. Jangan sekarang.” Saya mengangguk sambil mengingatkan agar dia menelepon dokternya, minta saran. Dokter menyuruh Butet minum obat (saya lupa namanya) yang tentu selalu dikantongi pengidap jantung. Setelah minum obat, kondisinya membaik. Lalu Butet menelpon anaknya, yang kebetulan sedang di Depok, agar nyusul ke RS dan merahasiakan kondisinya pada orang lain.
Sepanjang perjalanan, Butet beberapa kali bilang, “Ternyata kamu yang dikirim Tuhan untuk menolong saya.” Saya tahu Butet tidak sedang memuji saya. Semenjak saya senang pakai ikat kepala Bali, Butet pernah menyarankan saya untuk buka klinik pengobatan supranatural. Butet baru berhenti menyebut Tuhan ketika saya katakan bahwa tetangga saya yang selama kurang dari satu jam tiga kali menyebut nama Tuhan, esok paginya meninggal dunia.
Di Grogol, Butet minta mampir ke rumah makan. “Ini bisa karena lapar,” katanya. Saya nurut. Kami makan sup. Habis makan, Butet tidak terlihat seloyo tadi, dan minta diantar ke apartemen saja. Tapi, meskipun tahu jarak perut dengan jantung memang dekat dan sangat mungkin saling mempengaruhi, saya tetap memaksanya ke RS. Demikianlah, sekitar pukul duabelas malam itu juga dokter mengambil tindakan. Sekujur tubuh Butet ditempeli alat entah apa. Tak lama kemudian anaknya datang. Beberapa saat kemudian saya temui dokter di ruangan lain, menanyakan kondisinya. Kata dokter, “Hanya kelelahan saja. Mungkin juga karena telat makan.” Ketika pamitan pulang, saya tertawa melihat Butet susah payahmenjawab karena mulut dan hidungnya dibekap alat pernapasan.
Jangan-jangan Butet balas dendam….
Ternyata tidak. Butet nongol berdua Luqman, “veteran” wartawan Tempo yang sejak tiga tahun lalu rutin menerbitkan komik—terutama komik politik. Lalu datang lagi relasi Butet, dan kami berbincang cukup lama. Selain masalah job, tentu saja kami juga tergoda bicara tentang Pilkada DKI. Dan sebelum pamitan pulang, saya nanya Butet, menurutnya apa yang bisa membuat Jokowi kalah?
“Kalau Foke menang, Jokowi pasti kalah,” jawab Butet.
*
PUKUL delapan lewat 10 menit, saya sampai di kedai pojok lantai dua Plasa Senayan. Senang bisa bertemu teman lama yang secara kebetulan tadi pagi datang dari Malang, Surabaya dan Mojokerto untuk urusan yang berbeda. Mereka dulu aktivis Jatim yang sering berurusan dengan aparat rezim Orde Baru. Kini hanya seorang yang masih bergiat sebagai aktivis, seorang lagi wiraswasta dan satunya jadi guru besar sebuah universitas negeri di Jatim. Kesempatan yang agak langka bisa bertemu mereka bertiga sekaligus.
Hampir dua jam kami asyik ngobrol, sesekali bernostalgia. Di beberapa kursi tak jauh dari kami, tampak sejumlah tamu memakai kemeja kotak-kotak. Itu membuat kami tergoda membicarakan Pilkada DKI. Rupanya, gema ‘kemenangan’ Jokowi juga terdengar sampai Jatim. Di bandara Juanda, Sidoarjo, di samping pintu kedatangan, counter yang berdagang baju juga laris menjual motif kotak-kotak.
Kalau bukan karena kedai harus tutup, mungkin kami masih ngobrol sampai pagi. Menjelang berpisah, saya melempar pertanyaan, apa yang kira-kira bisa mengganjal kemenangan Jokowi?
Kata teman saya yang guru besar, “Menurut saya hanya ada dua hal. Pertama, entah karena suatu sebab yang disengaja atau tidak disengaja, kubu Jokowi-Ahok melakukan blunder sehingga didiskualifikasi. Kedua, kalau karena sebab-sebab tertentu jumlah golput meningkat dratis.”
Di taksi menuju pulang, tiga perkara yang dikatakan oleh Butet dan teman saya itu berseliweran di kepala. Menghindari pusing, saya ngobrol dengan sopir taksi yang mengaku sejak lahir tinggal di daerah Klender dan ber-KTP jakarta. Katanya, tadi siang di rumahnya, dia diwancarai petugas sebuah lembaga survei. Waktu ditanya di Pilkada putaran pertama nyoblos siapa, dia jawab, “Foke.”
“Memang kemarin bapak nyoblos Foke?” tanya saya.
“Bukan. Nyoblos Jokowi,” katanya sambil tertawa.
Saya ikutan ketawa. “Bapak kok berani terus terang kepada saya,” komentar saya.
“Ya beranilah. Bapak kan pakai baju kotak-kotak….”
Saya manggut-manggut. Saya ingin menjelaskan bahwa sejak dulu baju saya hanya terdiri dari tiga motif: batik, hitam, dan kotak-kotak. Tapi, belum sempat saya jelaskan, taksi keburu sampai di depan rumah.