Salah satu cabang seni yang dikompetisikan pada Porseni adalah lomba baca puisi dan pantun. Tanjung Pinang -pada 1988 belum jadi Ibukota Kepulauan Riau, adalah salah satu daerah yang melahirkan banyak pelantun puisi yang handal. Karena itulah tim pengajar pusat Jakarta rutin melakukan inspeksi potensi seni puisi ke Tanjung Pinang. Kali ini, target para tim pusat adalah SD Negeri 02 Tanjung Pinang, karena terdapat beberapa bibit unggul di sekolah itu. Meski lomba baca puisi dan pantun tingkat SD juga dilaksanakan juga di daerah lainnya, seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Irian (Papua sekarang), namun Sumatera merajai posisi puncak.
Sumatera spesialis
Para peserta lomba baca puisi dan pantun dari Sumatera, terutama Riau dan sekitarnya termasuk Kepulauan Riau, selalu berhasil menyisihkan para peserta dari pulau lain kala itu. "Agaknya Sumatera memang 'gudang' spesialis sastrawan," ungkap pemerhati budaya Melayu, penulis buku, dan mantan jurnalis, Tengku Muhammad Dhani Iqbal saat diwawancara di kantornya, di bilangan Condet, Jakarta Timur. Â Terbukti, para juara lomba puisi pada Porseni tingkat nasional terbanyak, dari Sumatera. Sedangkan di luar pulau itu, lanjut Iqbal, di Jawa misalnya, prestasi menonjol dalam bidang kesenian umumnya dari sendratari. Lalu di kawasan Timur, Maluku dan Papua misalnya, yang menonjol adalah atletik.
Lalu kembali kepada SD Negeri 02 Tanjung Pinang, adalah seorang wali kelas bernama Nur Lasiyam yang akrab disapa "Bu Lasiyam", yang menjadi fokus perhatian tim pusat tersebut. Tak ayal, Nur Lasiyam membina tiga siswa dari kelas 5 dan 6 yakni Densiska, Iin Enimay, dan M. Faisal yang akan diunggulkan mewakili lomba baca puisi Bintan Utara. Di hadapan tim pusat, ketiganya pun membacakan tiga karya sastra legendaris milik karya Chairil Anwar, masing-masing "Cerita Buat Dien Tamaela" yang dibacakan Iin Enimay dari kelas 5, lalu "Antara Karawang Bekasi" oleh M. Faisal juga dari kelas 5, dan "Aku" oleh Densiska dari kelas 6.
Singkat cerita, dari kompetisi yang dilaksanakan, M. Faisal berhasil menjadi juara pertama mengalahkan peserta lomba puisi tingkat SD seluruh wilayah Sumatera. Karena secara penilaian nasional, peserta lomba puisi dari luar Sumatera tidak mampu mengungguli, maka M. Faisal tampil sebagai juara umum Porseni untuk lomba baca puisi. Sedangkan dua rekannya, Iin Enimay dan Densiska terhenti di tingkat provinsi. Densiska bahkan terhenti di tingkat Bintan Utara, alias hanya menyisihkan peserta di kawasan tersebut dan gagal berkompetisi sampai ke tingkat Provinsi Riau.
Itu baru di tingkatan SD, belum lagi di SMP dan SMA, yang pesertanya juga cukup antusias. Namun untuk kompetisi baca puisi di tingkatan SMP dan SMA, para peserta unggulan lebih variatif. Di tingkatan SMA, meski Sumatera -dengan provinsi-provinsi mereka mendominasi para juara, namun juara umumnya dari Jakarta. Begitu meriah dan antusiasnya para peserta lomba puisi saat itu. Tapi itu dulu. "Itulah kenangan manis yang sudah tak lagi manis di saat ini. Sepertinya sudah tak lagi menyemangati generasi muda sekarang," ungkap M. Faisal yang kini telah menjadi petinggi salah satu perusahaan pengeboran minyak swasta di Aceh.
Tak keren
Setelah lebih dari tiga dekade berjalan, kondisi pun berubah. Boleh dibilang, setelah Presiden Soeharto lengser lalu pemimpin demi pemimpin silih berganti, kemudian kebijakan demi kebijakan untuk program pendidikan, seni, dan kebudayaan juga ikut bergonta-ganti, puisi dan pantun pun mulai terasa hambar. Sudah tak ada lagi ajang baca puisi menyemarakkan ajang Porseni di seluruh wilayah Nusantara. Potensi punggawa sastra tidak sebanyak dulu. Generasi muda kini menjadi lebih gandrung pada budaya kebarat-baratan dan drama Korea. Puisi dan sastra karya pujangga Indonesia malah dinilai kuno dan kurang keren.