Selain embun, waktu pagi subuh juga mengingatkanku pada kedatanganmu di stasiun kereta. Seperti orang-orang lain yang menunggu, kala itu, setiap ada bunyi kereta masuk stasiun, aku akan bangkit dari duduk: mataku mencari, dadaku berdebar antara takut dan senang akan bertemu.
Bukan. Itu kereta lain. Kereta tidak hanya satu, tapi yang kutunggu tetaplah kamu.
Supir-supir taksi sudah menunggu di lorong pintu keluar stasiun. Berdiri dan menawarkan diri untuk mengantar penumpang pulang. Banyak yang menolak, tapi supir-supir taksi itu tidak patang arah. Sebab menunggu dan ditolak sudah jadi bagian dari hidupnya. Tidak ada pilihan lain selain menjalani.
Semakin lama menunggu dan memerhatikan supir-supir taksi itu justru muncul sebuah pertanyaan: apakah aku sekuat itu?
2/
Aku sedang tidak ingin membayangkan perpisahan. Apalagi di stasiun kereta. Tidak ada yang lebih kompleks dibanding stasiun kereta ketika pertemuan dan perpisahan bisa diartikan sebegitu mirip.
Tidak. Karena menunggu, buatku, sudah cukup menguji kesetiaanku.
3/
"Lepas sandalnya," kata Mas Otto.
Selepas subuh memang aku suka diajak oleh Mas Otto ke lapangan. Rumput-rumput gajah yang tidak terlalu tinggi itu semua dibasahi embun. Makanya aku diminta melepaskan sandal supaya kaki bisa merasakan langsung dinginnya embun pagi.
"Embun juga bisa dibuat obat," ujar Mas Otto saat aku mulai melangkahkan kaki di atas rumput-rumput gajah itu.
Kemudian Mas Otto menceritakan kalau dulu tentara-tentara kita ketika terluka akan diobati dengan air embun ini. Jika lukanya kadung parah maka rumput yang ada embunnya akan ditumbuk, lalu diborehkan langsung. Sedikit perih, lanjut Mas Otto, tapi cukup ampuh dan cepat sembuh.
Namun lain cerita jika terkena luka dalam, kata Mas Otto, maka embun mesti diminum.
"Bagaimana cara meminum embun?" tanyaku.
"Ini sedikit repot memang, tapi cukup dengan menyiapkan banyak gelas di halaman rumah atau di lapangan setiap malam. Tinggalkan saja. Nanti setelah subuh ambil dan kumpulkan. Semakin banyak gelas yang ditaruh, semakin banyak embun yang bisa didapatkan," jawab Mas Otto.
Tetapi 5 setelah itu, selepas subuh, aku tidak pernah diajak Mas Otto ke lapangan melangkah di atas embun. Entah kenapa secara tiba-tiba Mas Otto sering tertawa sendiri. Setiap orang yang jadi lawan bicaranya akan dibalas dengan tawa yang lepas. Bahkan satu waktu Mas Otto sampai lemas karena terlalu banyak tertawa.
"Obati saja dengan embun," usulku, kepada kedua orang tuanya.
"Kenapa kamu jadi ikutan gila?" balas mereka menanggapi usulku.
4/
Tidak ada rerumputan di stasiun, tapi ada embun. Bisakah embun-embun ini mengobati risauku menunggumu?
5/
Seorang perempuan menangis di dekat toilet. Anehnya tidak ada yang menyadari itu. Aku yang baru saja membuang air besar jadi kikur sendiri: mesti bersikap seperti apa di hadapanku ada yang menangis sebegitu sendu?
Atau orang-orang di stasiun sudah biasa melihat kesedihan?
Aku berjalan menunduk, di depannya, hingga secara tiba-tiba kaki perempuan itu menghalangi langkahku.
"Kenapa lewat begitu saja?" tanya perempuan itu.
"Karena kita tidak saling kenal. Sesederhana itu," jawabku.
"Begitukah cara laki-laki?"
"Semua orang akan seperti itu menurutku."
Ia berhenti menangis. Aku pergi meninggalkannya.
6/
"Percuma hidup seperti daun gugur yang jatuh ke sungai, berjalanlah seperti pengembara yang sedang mengejar tujuan puncak gunung. Hidupmu pasti lebih menantang."
Kalimat itu tertulis di bagian belakang kaos seorang laki-laki. Cukup besar, karena dari jarak yang sedikit jauh aku bisa jelas membacanya.
Aku ulangi sekali lagi kalimat dari baju seseorang tadi dalam hati. Sambil menahan tawa, tentu saja.
7/
Perlahan langit terang dengan sendirinya, bulan semakin pucat warnanya, tapi keretamu belum juga tiba. Suara orang mengaji mulai bersautan dari satu masjid dengan masjid lainnya.
Kembali aku mengingat, kapan terakhir kali aku merasakan suasana seperti itu?
Aku pejamkan mata. Merasakan suara orang mengaji itu perlahan masuk ke telinga. Udara yang dingin. Perasaan cemas atas sesuatu yang tidak mungkin.
Kapan? Aku coba terus mengingat. Dalam gelap penglihatanku mulai tergambar sebuah jalan. Lurus. Tidak ada kendaraan lalu-lalang. Terdengar suara langkah kaki. Semakin dekat dan jelas. Sepi. Hanya langkah-langkah kaki, tapi tetap tidak ada apa-apa dan siapapun di sana. Gelap.
Aku ingin pergi dari sana tapi tidak bisa. Aku ingin lari tapi seperti sia-sia, karena rupanya aku tidak ke mana-mana.
Barulah kemudian aku mendengar suara dua benda berbenturan. Kencang. Suara langkah kaki tadi hilang.
8/
"Jika ingin lebih menantang, cobalah keluar dari zona aman," kata Kang Emin kepadaku sambil meminjam korek.
Kalau sedang iseng dan usil, pasti aku tanya balik Kang Emin, misalnya, memang batas aman dan menantang itu seperti apa?
Bukan karena tidak ingin tahu dan tidak peduli atas jawaban Kang Emin nanti, tapi malam itu aku memang tidak ingin mendengar apa-apa. Sebab aku juga sudah tahu akan ke mana arahnya. Biasanya dia akan menutup dengan kalimat hapalan: kata orang-orang seperti itu, ikuti saja.
Lagipula diam dan menunggu juga sebuah jalan yang menantang. Setidaknya bagiku. Karena diam atau menunggu juga menantang kesabaran. Bukankah banyak yang tidak nyaman ketika diam atau menunggu?
9/
Ternyata aku tertidur. Aku lihat jam, tidak sampai lima menit rupanya. Tapi kenapa bisa begitu banyak yang aku pikirkan dan rasakan tadi?
Suara benturan tadi. Korek yang dipinjam Kang Emin. Apa? Apa artinya semua itu?
Tetapi kamu belum juga datang.
10/
Mata itu masih sama seperti terakhir kita bertemu. Seperti ada banyak kisah yang terekam di sana dan ingin segera kamu ceritakan.
Kamu memegang tanganku. Sambil berjalan keluar stasiun ada yang kamu katakan dari balik maskermu. Aku tidak begitu jelas mendengarnya.
Tapi setelah itu kamu tidak lagi bicara padaku.
11/
"Aku bosan."