Sesungguhnya aku tidak suka cemburu. Tapi setiap sabtu dan minggu, entah kenapa, aku hanya bisa cemburu padamu. Kamu akan kembali ke keluargamu, anak-anakmu, dan suamimu. Sedangkan aku, seperti yang kamu tahu: mengasihani diri sendiri dengan dua atau tiga botol bir di sebuah kedai dengan senja yang enggan pergi.
Namun, ingatkah kamu kadang kita sering menertawai babwa libur itu sesungguhnya adalah dongeng sebelum tidur. Dan setiap kali sabtu dan minggu, aku dan kamu, justru seperti tidak ingin tidur. Kita tidak butuh didongengi.
Inilah hidup, katamu satu waktu, selalu diisi dengan kepastian dan ketidakpastian yang memilukan.
***
"Aku mungkin tidak masuk hari senin," katamu, pada hari jumat malam. "Ada rapat orangtua murid, Zaskia ingin aku hadir kali ini. Sudah 3 tahun aku menolak hadir dan teman-temannya malah mengejeknya kalau dia dibilang tidak punya ibu," lanjutmu.
Rokok di asbak dibiarkan menyala dan pelan-pelan menjadi abu. Sepertinya kamu menduga aku akan marah dengan ucapanmu tadi.
Kamu masih tertunduk.
Aku matikan rokokmu. Sisa lipstik yang menempel di ujung puntung rokokmu membekas di jariku. Aku peperkan itu ke pipi kirimu dengan membuat satu garis panjang. Kamu mengangkat kepala dan bingung atas apa yang barusan aku lakukan.
"Kamu marah?" tanyamu.
Aku diam. Tersenyum. Menahan tawa, lebih tepatnya. Goresan lipstik itu masih ada di pipi kirimu. Aku ambil selembar tisu dan pura-pura ingin membersihkannya.
"Gak usah sok kayak anak muda, deh," katamu. "Kalau emang marah yha bilang!!!"
"Selama rindu tidak dipungut biaya, aku akan lakukan itu sepuas aku mau. Selama kamu masih memperbolehkan aku buat cemburu, akan aku lakukan sampai itu diobati olehmu,"
"Gomabal!!!"
***
Bukan. Bukan dua atau tiga botol bir. Ini sudah botol kesembilan. Jika tidak dihentikan, seingatku, aku masih akan pesan satu-dua botol lagi. 11 botol bir dan membayangkan besok senin. Tidak ada yang baik, apalagi Zula tidak pula ke kantor. Dan memang pada akhirnya terjadi: aku pesan botol bir ke-11.
Dari kedai itu, hari minggu seakan tidak pernah berakhir. Senin semakin jauh, cemburu akan apa yang Zula dapatkan dari keluarganya semakin terasa.
Langit berwarna merah keemasan. Objek apapun yang tersinar cahaya sore itu akan terlihat hitam-gelap siluet. Mataku tidak lagi bisa melihat jelas. Kepalaku seperti ditempeli medan magnet dengan meja.
Aku tahu ada yang datang. Menghampiri mejaku.
***
Berisik!!! Alarm itu berbunyi seperti tanda akhir zaman!!! Berkali-kali dan memekikan telinga.
Ketika aku bunga mata, hanya hamparan putih membentang. Aku tanpa pakaian. Apakah aku ada di surga sebelum kiamat datang?
Hamparan putih itu selimut. Aku sedang tergolek di kasur. Seluruh badan terasa pegal. Aku tidak sanggup bangun sampai akhirnya ada yang menarik selimut itu. Teeeesh.
Aku kaget, tentu saja. Seorang perempuan yang, aku butuh waktu beberapa detik untuk menerka dan mengingat siapa dia, berdiri dengan pakaian tidur setipis itu. Mungkin tubuhnya terlihat jelas jika aku sudah sadar.
***
Roti lapis dan segelas jus jeruk manis sudah aku habiskan. Izi yang menyiapkan itu semua. Kemarin sore aku tidak sadarkan diri di kedai, katanya. Izi --ya, akhirnya aku tahu namanya setelah sekian lama hanya bisa saling lirik di kedai-- yang membawaku ke apartemennya bersama dua teman perempuannya.
Aku tahu ini hari senin dan aku akhirnya tidak pergi ke kantor. Gawaiku sengaja tidak aku hidupkan. Senin dan kantor adalah perpaduan antara semangat berlebih dengan kemalasan yang masih tersisa di akhir pekan.
Tapi tidak denganku. Sebab, biasanya aku suka hari senin karena akan bertemu kembali dengan Zula. Biasanya juga aku akan datang lebih pagi dan menunggu Zula untuk sarapan bersama pukul 11 siang.
Tentu tidak dengan senin hari ini.
Namun, anehnya tidak ada cemburu yang menggangguku kala tidak bertemu Zula. Mungkin karena Izi? Entahlah.
Izi masih belum mengganti pakaiannya ketika menemani aku sarapan.
***
"Semestinya laki-laki seusiamu hari ini ada di kantor dan berharap sore cepat datang dan pulang ke rumah,"
"Lalu?" tanyaku.
"Bermain dengan anakmu atau paling tidak membatu mengerjakan PR bersamanya."
"Jika memang itu yang biasa aku lakukan bagaimana?"
"Tapi itu tidak terjadi hari ini, kan? Kenyataannya kamu ada di sini, bukan di kantor. Kamu tidak sedang menunggu sore untuk segera bisa cepat pulang."
"Yha. Semestinya memang aku tidak di sini dan rasa-rasanya kamu ingin memintaku untuk pulang."
"Tidak!!!"
"Dari semua yang kamu utarakan tadi, seakan-akan meminta aku untuk segera kembali pulang."
"Tidak ada laki-laki perasa, setahuku."
"Ada,"
"Kamu orangnya!!!"
***
Jumat malam. Zula masih juga tidak datang ke kantor sejak selasa seperti yang ia janjikan. Yang lebih menyebalkan: Zula juga tidak bisa dihubungi.
Ada pekerjaan yang tidak terselesaikan. Ada cemburu yang begitu besar yang aku pikirkan. Tapi, tiba-tiba ada pesan masuk: besok aku tunggu di kedai, pukul enam petang. Begitu isi pesannya.