Ada seorang laki-laki menghampiri saya, di stasiun Tanah Abang. Badannya tinggi tegap. Memakai kaos polos hitam dan celana jeans panjang. Ia memberikan saya sebuah amplop, seperi sebuah surat, “ini buat kau, Boy,” katanya. “Dari perempuan yang biasa bareng denganmu satu kereta.” Ia pun pergi begitu saja. Saya hanya menerima itu dengan heran. Ini pagi yang membingungkan, setelah kereta yang saya tunggu, untuk kedua kalinya, terlambat datang.