Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Wife Destroyed

23 Oktober 2014   15:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:01 11 0
"Ini namanya perbudakan," gerutu Ani dalam hati. "Masa kopi aja mesti aku yang bikin? Tugas istri memang melayani suami, tapi bukan untuk pekerjaan remeh kayak begini. Melayani suami di ranjang, mendampinginya saat kondangan, memberinya semangat supaya karirnya terus meningkat, … Yah hal-hal seperti itulah. Tapi bikin kopi, cuci baju, setrika, masak,… buat apa dong ada pembantu? Bull shit kalo kopi buatan istri dibilang terasa lebih enak dibanding kopi buatan pembantu. Wong takarannya sama kok. Sesendok kopi Aroma, air mendidih, dua sendok the gula. Biar monyet yang bikin, ya rasanya pasti seperti itu."

Sudah lama pikiran seperti ini berkecamuk dalam kepala Ani. Dia merasa sekaranglah saatnya dia harus keluarkan semua. Mungkin karena kegeramannya semakin meningkat, tanpa sadar dia mengaduk kopi dengan kuat. Mendengar bunyinya, Tony suaminya lalu memalingkan muka dari televisi dan mendekati Ani di dapur.

"Kenapa kamu?" tanya Tony heran.

Maka ditumpahkanlah segala uneg-uneg dan kekesalan yang selama ini terpendam dalam kepala Ani. Tony diam saja, seolah tak tertarik pada semua yang dikatakan istrinya. Tangannya meraih cangkir berisi kopi yang baru saja selesai dibikin. Tony mendekatkan cangkir kopi itu ke hidungnya. Dengan mata setengah terpejam dia mengendus aroma kopi sambil menghirup nafas dalam-dalam.

"Ahhh…," mata Tony terpejam. Kepalanya menggeleng perlahan-lahan.

"Aroma kopi itu bisa bikin dia seperti orang tidak waras," keluh Ani dalam hati. "Apakah suamiku akan seperti itu juga kalau Bi Asih atau seekor monyet yang bikin kopinya?" batin Ani.

Ketidakpuasan Ani belum semua terungkapkan, ketika Tony dengan suara lebih keras memotong, "Kamu kenapa, sayang?" Karena suara Tony lebih keras, Ani langsung berhenti bicara. "Gara-gara semalam aku terlalu cepat keluar dan keburu pulas sebelum sempat bikin kamu puas ya? Hm...ini untuk ganti episode kita semalam." Tangan Tony meraih pundak Ani lalu menariknya.

Ani mundur. "Mas, aku marah bukan karena...." Belum selesai Ani menyelesaikan kalimatnya, bibirnya sudah disumpal oleh bibir Tony.

Ani tak kuasa menolak ketika bibir Tony mulai menjelajahi lehernya. Kursi di dapur pun lalu berubah fungsi.

Tak lama, suaminya kembali meneruskan nonton televisi dengan secangkir kopi panas yang dia buat tadi. Ani masuk ke kamar tidur. Setelah mengunci pintu, dia benamkan wajahnya ke bantal dalam dalam. Ani tengkurap di tempat tidur. Bahunya berguncang. Ani menangis keras-keras. Tapi yang terdengar hanya tangisan lirih.

Hatinya sungguh kesal karena ternyata suaminya kini berubah dari seorang yang sangat gentleman waktu pacaran, menjadi seorang diktator yang mesti dituruti segala kemauannya.
Dulu Tony adalah kekasih yang selalu memperhatikan setiap hal kecil yang ada pada diri Ani. Dia ingat ketika Tony dulu selalu menggunting semua gambar Teddy Bear yang dia temukan di majalah dan memberikannya pada Ani. Lain waktu, tanpa sepengetahuan Ani, Tony menaruh post-it bertuliskan I Love U di tempat pensil atau dompet Ani. Hal-hal kecil seperti itulah yang membuat Ani mau dinikahi Tony.

"Kalau dia memperhatikan hal-hal kecil, tentu dia akan memperhatikan hal-hal yang besar," demikian kata hati Ani waktu itu.

Tapi kini, sudah lama sekali Tony tidak membuatnya senang. Jangankan memberi kejutan, bedak Ani habis pun, Tony seolah tidak mau tahu. Tidak ada lagi Tony yang romantis dan selalu memperhatikan semua kebutuhannya seperti ketika mereka pacaran dulu. Yang ada sekarang adalah seorang laki-laki yang berbuat seenaknya dalam rumah, menguasai televisi dan nonton semua pertandingan olah raga, serta menyuruhnya melakukan hal-hal yang sebetulnya bisa dikerjakan oleh pembantu.

Ani mengangkat wajahnya. Bantal itu kini basah, setelah menampung luapan air mata kesedihan yang menderanya. Tangannya meraih telepon di samping tempat tidur.

Dia angkat telepon, lalu dengan lirih berbisik, "Astrid, gue pingin ngobrol."

"Lu kenape? Abis mewek ya?" Suara di seberang sana menebak tepat.

"Nanti lah gue cerita,"sahut Ani.

"OK. Di mana?"

"Tator?"

Sejam lagi ya? OK?"

Ani meraih handuk, lalu segera mandi. Keluar dari kamar mandi, dia lihat mata Tony sudah setengah terpejam. Pertandingan bola sudah tidak lagi menarik perhatiannya. Kopi yang dibikin tadi belum berkurang setetespun. "Padahal tadi mintanya kayak perempuan hamil mau melahirkan," keluh Ani.

"Mas, aku janjian mau ketemu Astrid,' kata Ani, sambil berusaha menegarkan suaranya. Takut ketahuan habis nangis.

Mata suaminya cuma terbuka sedikit. "Mmmmh...."

Itu berarti boleh.

"Aku bawa mobil," kata Ani.

Sambil menguap suaminya menjawab,"Jangan pulang malem."

***

"Apa? Seenaknya betul dia. Nggak bisa. Itu namanya marital rape, darleeng. Kenapa lu mau aja diperlakukan kayak begitu," Astrid ngomel panjang pendek. Untung Kafe Tator sore itu tidak terlalu ramai.

Astrid lalu bercerita tentang bagaimana dia memperlakukan suaminya. "Kalo gue lagi kesel atau lagi nggak mood, gue biarin aja. Gue tolak. Selama ini dia tahan-tahan aja tuh."

Singkat kata Astrid mulai menumbuhkan di dada Ani rasa sebal terhadap suaminya. Dia merencanakan untuk mulai menerapkan metode Astrid. Sejak masih kuliah, sahabatnya ini memang jadi tempat curhat. Walaupun begitu, baru kali ini dia berani cerita soal hubungannya dengan Tony.

"Tapi gue nggak tahu apa aja yang bisa gue lakuin," keluh Ani.

"Astaga…, lu sejak kawin jadi agak-agak deh. Sorry gue ngomong begini. Mana Ani yang gue kenal dulu? Jangan-jangan perkawinan bikin lu jadi ... begitulah...," Astrid tidak meneruskan kata-katanya. Tapi Ani tidak tersinggung seandainya Astrid mengatakan bahwa sekarang dia jadi bodoh, tolol, atau semacamnya.

"Gue punya buku bagus. Judulnya Woman Destroyed karangan Simone De Beauvoir, penulis feminis. Lu mesti baca. Setelah baca buku itu gue yakin lu bakal ngerti bahwa selama ini lu terperangkap dalam perkawinan yang bernuansa perbudakan. Lu baca deh, trus lu coba bikin perubahan. Biar suami lu sadar."

Sedan hitam yang dikemudikan Ani pun segera meluncur ke rumah Astrid. Sepanjang perjalanan, Astrid tak henti berceramah tentang gender, kesetaraan dan persamaan hak. Di rumah. Di kantor. Di pemerintahan.

"Pokoknya gue nggak rela kalo lu diperlakukan sewenang-wenang. Even sama suami lu sendiri. Udah nggak jamannya lagi deh," kata Astrid penuh semangat.

Ani diam saja. Kepalanya sudah mendidih karena geram atas perlakuan suaminya selama ini kepadanya. Apalagi ditambah dengan pemahaman baru yang dikobarkan Astrid.

"Kalo gue digituin, oo… gue omelin suami gue, terus gue tinggalin sendiri di rumah. Tahu rasa dia. Kenapa lu nggak pergi aja ke rumah orang tua lu? Nanti kalo dijemput suami lu, itu artinya dia butuh," saran Astrid. "Dengan begitu lu punya bargaining position yang kuat. Jangan mau dibawa pulang sebelum dia nerima semua syarat yang lu ajuin. Yah, semacam rules of the game yang baru lah."

"Pulang ke rumah ortu?" gumam Ani. "Hmm… mungkin suatu saat bisa dicoba."

"Ngapain pikir panjang segala. Pake ditimbang-timbang. Udah langsung aja. Malam ini lu langsung aja ke rumah orang tua lu. Atau … gimana kalo malam ini tidur di rumah gue aja?" tawar Astrid.
Ani diam. Dia bingung.

***

Ani menangkap keheranan di wajah Astrid saat melihat mobil John suaminya parkir di garasi. "Katanya dia ada janji mau main golf sore ini," kata Astrid dengan nada bertanya-tanya. "Tau gitu, gue bawa tuh mobil."

Astrid mempersilakan Ani masuk. Rumah besar itu tampak sepi. Seperti Ani, Astrid juga belum punya anak. Rumah besar itu hanya dihuni oleh 3 orang. Astrid, John dan Naneh, pembantu mereka asal Cilacap.

"Sebentar ya, gue ambil bukunya dulu." Astrid bergegas membuka pintu kamarnya.

Tiba tiba Ani dikejutkan oleh teriakan histeris Astrid. "Sedang apa kalian di sini?"

Ani terkejut dan menatap pintu kamar Astrid. Pintu dibuka dari dalam. Si Naneh setengah berlari keluar dari kamar itu. Rambut dan bajunya tampak berantakan. Tangannya didekap di dada sambil mencengkeram kutang dan celana dalamnya.

Ani ternganga. Di dalam Astrid berteriak semakin keras. Penghuni kebun binatang dan isi penjara berhamburan dari mulut Astrid. "Babi lu ya? Anjing! Gue tinggal pergi sebentar aja, lu main gila sama si Naneh. Bajingan. Dasar maling! Beraninya main belakang lu ya?"

Prang… prang… prang.... Bunyi benda pecah. Plak! Gubrak! Entah apa yang terjadi di dalam.

Ani tidak tahan mendengarnya. Dia ambil kunci mobil di atas meja tamu lalu bergegas keluar.

Dia tak tahu harus kemana. Dia tidak berani ngebut. Tangannya gemetar karena belum pernah dalam perkawinannya, ataupun perkawinan orang tuanya, dia mendengar seperti yang baru saja didengarnya di rumah Astrid.

Ani mengarahkan mobilnya menuju Kebon Jeruk, rumah orang tuanya. Apa alasan yang mesti dibilang kalau ditanya mamanya kenapa dia ke sana tanpa suami. Purik? Dia pasti akan ditegur mamanya kalau dia katakan alasan yang sebenarnya.

"Kamu purik karena bosan bikin kopi buat suamimu?" Paling itu yang akan dikatakan mamanya.

Perlukah dia katakan yang sebenarnya, bahwa dia merasa diperbudak suami dan diminta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sebetulnya bisa dikerjakan pembantu? Ah, paling mama bilang, "Mama sudah 30 tahun lebih bikinkan papamu kopi. Kamu ini belum setahun sudah begitu…" Ah, mama memang sudah di set up untuk nrimo dan mengabdi pada suami.

Handphonenya berbunyi. Ani merogoh tasnya. Suaminya memanggil.

"Ya Mas?"

"Sayang, aku lagi coba bikin puding buah kesukaanmu. Tadinya sih mau ngasih kejutan buat kamu, tapi pembuka kalengnya kamu taro di mana?"

Ani tertegun sejenak, lalu tersenyum. Dia tahu harus ke mana. (/hn)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun