Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Bukti Suap 5 Milyar kepada DPR

27 Agustus 2010   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:41 408 0
[caption id="" align="alignleft" width="400" caption="Tidurnya Anggota Dewan pun Bernilai Uang (sumber: Inilah.com)"][/caption] ”Segera selesaikan saja, agar besok pada rapat pembahasan kawan-kawan bisa tenang dan rapat tidak berlarut-larut,” kata Sarjan Taher, anggota DPR dari Komisi IV yang sekaligus merupakan Sekretaris Dewan Pembinan Partai Demokrat ketika berbicara dengan salah seorang pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Itulah cuplikan cerita dari persidangan pengadilan Tipikor yang mengadili Sarjan Taher atas dugaan menerima suap dari pemerintah provinsi Sumsel. Kasus permintaan dan penerimaan sejumlah dana (Rp 5 milyar) terkait dengan proses permohonan alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang Sumatera Selatan. Kasus Tanjung Api-Api ini akhirnya menyeret banyak anggota DPR lainnya, yaitu Yusuf Erwin Faishal (Ketua Komisi IV dari PKB), Fachri Andi Leluasa (Waket Komisi IV dari Golkar), Hilman Indra (Waket Komisi IV dari PBB), Azwar Chesputra (anggota Komisi IV dari Golkar), Amien Nasution (anggota Komisi IV dari PPP). Di pihak pemberi uang pihak-pihak yang terlibat adalah Syahrial Oesman (Gubernur Sumsel) dan Chandra Antonio Tan (Pengusaha terkenal di Sumsel yang menjadi penyandang dana pemberian suap tersebut). Proses perijinan alih fungsi hutan lindung juga menyeret Amien Nasution yang tertangkap basah sedang menerima uang dari Azirwan (Sekda Kabupaten Bintan). Dalam persidangan uang yang sudah digelontorkan Azirwan lebih dari Rp 2 milyar untuk proses alih fungsi hutan lindung di Bintan. Pertanyaannya adalah apakah hanya proses alih fungsi hutan lindung di Bintan dan Sumsel saja yang beraroma uang? Menurut berbagai sumber terpercaya, semua proses alih fungsi hutan lindung yang memerlukan perijinan di DPR seperti hutan lindung Baloi Dam di Batam penuh dengan aroma penyuapan untuk memuluskan perijinan tersebut. Konon jika tanpa ada uang, proses pembahasan perijinan di DPR berlarut-larut atau dibuat sulit. Padahal di Dephut tercatat ratusan proses perijinan alih fungsi hutan lindung. Bulyan Royan juga tertangkap basah sedang mengambil uang dari sebuah Money Changer terkait dengan pengadaan Kapal Patroli kelas III tipe FRP pada Dirjen Perhubungan Laut Dephub tahun 2007-2008. Anggoro Widjoyo juga banyak menebar uang ke anggota DPR dan pejabat Dephut dalam usahanya menggolkan pembahasan anggaran terkait pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Abdul Hadi Jamal (anggota Komisi V) juga tertangkap basah sedang bertransaksi uang milyaran rupiah di dalam mobil Darwati Dareho (pegawai Dirjen Hubla Dephub). Konon hampir semua pembahasan di DPR (baik di panggar besar maupun pembahasan satuan 3 di komisi-komisi) banyak bertebaran uang yang berasal dari pengusaha-pengusaha yang ingin menggolkan proyeknya di suatu departemen. Begitu juga dengan pembahasan alokasi anggaran, misalnya Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan dan Pendidikan, ke berbagai daerah juga penuh aroma uang suap. Tanpa itu, biasanya pengusaha tidak akan bisa memasukkan proyeknya ke suatu instansi pemerintah. Demikian juga daerah tidak akan mendapatkan alokasi anggaran yang sesuai dengan permintaannya. Pemilihan pejabat publik di DPR juga tidak lepas dari politik uang. Nyanyian Agus Tjondro (politisi PDIP) terkait pemberian travellers cheque senilai Rp 500 juta untuk setiap anggota DPR periode 2004-2009 yang mau memilih Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S. Gultom. Kasus ini menjerat banyak anggota DPR seperti Hamka Yamdhu (Golkar), Dudhie Makmun Murod (PDIP), Endin AJ Soefihara (PPP), Udju Djuhaeri (ABRI). Bagaimana dengan pemilihan pejabat publik lainnya di DPR? Sumber-sumber di DPR menyatakan bahwa hampir semua proses pemilihan pejabat publik di DPR beraroma politik uang. Bagaimana dengan isu suap pun santer terdengar terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (RUU-TPPU)? Konon, sejumlah oknum menerima aliran dana total Rp 5 miliar dari sebuah lembaga besar. Uang sebesar itu disebut-sebut hanya uang muka agar DPR tidak meloloskan kewenangan penanganan pidana pencucian uang kepada KPK. Uang sebesar itu disebut-sebut hanya uang muka agar DPR tidak meloloskan kewenangan penanganan pidana pencucian uang kepada KPK. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bertujuan menyamarkan uang hasil tindak pidana dengan cara memasukkannya ke dalam sistem keuangan sehingga tampak seolah-olah sebagai uang hasil kegiatan yang sah. Hasil kejahatan biasanya berupa uang yang dapat ditelusuri asal usul dan peruntukannya dengan mengikuti kemana arus uang hasil kejahatan tersebut (Follow The Money). Hasil tindak pidana dalam UU Pencucian Uang meliputi 25 jenis kejahatan ,mulai dari korupsi, penyuapan, narkotika, terorisme, sampai tindak pidana lainnya yang diancam pidana penjara 4 tahun atau lebih. Berdasarkan UU No. 15/2002 jo UU No. 25/2003 tentang TPPU, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membantu penegak hukum dalam mencegah dan memberantas TPPU. PPATK mendapatkan laporan dari Bank, misalnya, transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report/STR) dan transaksi keuangan lebih dari Rp 500 juta (cash transaction report/CTR). Berdasarkan STR dan STR ini, PPATK melakukan analisis dan jika dianggap terkait dengan tindak pidana korupsi, narkotika atau yang lainnya atau sekurang-kurangnya dianggap mencurigakan karena tidak sesuai dengan profil pemilik rekening/pelaku transaksi perbankan. Hasil analisis tersebut dituangkan dalam Laporan Hasil Analisis (LHA) dan diserahkan kepada aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan). Selanjutnya, berdasarkan LHA tersebut, kepolisian dan kejaksaan melakukan pemeriksaan (penyelidikan atau penyidikan) untuk membuktikan keterkaitannya dengan tindak pidana asal (predicate crime) seperti korupsi, narkotika, terorisme, dst. Menurut penelitian (ICW?), sekitar 42 persen kasus pencucian uang yang berasal dari korupsi. Contoh: heboh rekening gendut kepolisian, yaitu beberapa pejabat Polri mempunyai rekening miliaran rupiah yang tentu saja tidak sesuai dengan penghasilannya yang maksimal hanya puluhan jutaan per bulan. Hasil analisis PPATK atas rekening beberapa perwira polisi tersebut diserahkan ke aparat penegak hukum yang berwenang (Polisi dan Jaksa). Berdasarkan pemeriksaan internal Polri, rekening tersebut sebagian besar dianggap wajar dan tidak ada keterkaitan dengan tindak pidana. Publik sangat geram melihatnya sehingga muncul Petisi Rakyat di depan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Agustus 2010 yang menuntut antara lain pengusutan mafia hukum dan juga kasus rekening gendut. Hari-hari ini kita disuguhi berita tentang penolakan DPR terkait penanganan kasus pencucian uang dengan melibatkan beberapa aparat penegak hukum (multy investigators), seperti termuat dalam RUU TPPU. Bahkan Yunus Husein membuat tuduhan serius kepada DPR. “Ada anggota dari FPG, PPP, dan Hanura. Ada sebagian yang khawatir kalau KPK bisa mendapatkan hak itu, (KPK) bisa macam-macam. Jadi mereka khawatir. Bukan hanya mereka saja, tapi juga pihak lain,” kata Yunus Husein. Yunus menengarai pengamputasian RUU PPTPU merupakan agenda tersembunyi dari sejumlah anggota DPR. Banyak kalangan yang menduga kemungkinan besar anggota DPR yang dimaksud Yunus adalah Bambang Soesatyo (FPG), Ahmad Yani (PPP), dan Syarifuddin Sudding (Hanura). Karena ketiga politisi ini paling getol menolak penguatan kewenangan PPATK sejak diluncurkan ke DPR (sumber: di sini) Dalam perkembangannya, fraksi Partai Demokrat juga menentang kewenangan KPK dalam menyidik kasus pencucian uang. Fraksi Demokrat menilai penyidikan kasus dugaan pencucian uang berdasarkan laporan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) tidak perlu ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Cukup Polri dan Kejaksaan saja. "Kalau pencucian uang tidak masuk korupsi maka tidak masuk KPK. Itu definisi logik sesuai dengan perundang-undangan," kata Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah. Hal itu disampaikan Jafar Hafsah usai buka puasa bersama di Sekretariat Komite Nasional Masyarakat Indonesia, Tebet, Jakarta, Rabu 25 Agustus 2010 (sumber: di sini). Tuduhan tersebut langsung dibantah anggota DPR, Bambang Soesatyo. “Nampaknya ada pihak-pihak yang sengaja memelintir dan mendiskreditkan Tim Perumus dengan mengatakan, kami berupaya menganulir Pasal 70 Ayat (2) RUU TPPU,” kilah pria yang akrab disapa Bamsoet ini. Tim Perumus tak pernah mempersoalkan pasal tersebut. Sebaliknya, kata Bamsoet, Tim Perumus justru mendukung pasal tersebut. “Saya tidak tahu kenapa sampai muncul tudingan itu. Yang kami persoalkan hanyalah kewenangan penyeledikan yang diminta PPATK. Kami menolak PPATK memiliki hak penyelidikan agar tidak terjadi tumpang tindih dan penyalahgunaan kekuasaan,” ungkapnya. Dijelaskan Bamsoet, jika ditemukan indikasi tindak pidana money laundering , PPATK menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada penyidik asal. Artinya, baik kepolisian, kejaksaan serta KPK bisa dan harus menyidik indikasi tindak pidana tersebut (sumber: di sini). Sedangkan aktivis anti korupsi seperti ICW juga mempersoalkan “pengebirian” RUU TPPU terkait kewenangan KPK dalam menyidik TPPU. KPK hanya diberi kewenangan atas kasus korupsi yang berindikasikan adanya pencucian uang. Jadi PPATK akan memberikan LHA kepada KPK hanya atas kasus korupsi yang sedang/telah disidik KPK. Sedangkan LHA lainnya yang belum ditangani KPK, tetap akan diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan. Jadi DPR dianggap setengah hati oleh para aktivis anti korupsi. DPR diduga takut jika kewenangan menyidik TPPU juga dimiliki KPK, maka hal itu seperti mau bunuh diri. Diakui atau tidak, KPK menjadi momok bagi koruptor. Persoalannya adalah apakah DPR menjadi bagian dari koruptor itu atau DPR hanya menjadi alat bagi koruptor untuk tetap mempertahankan “comfort zone” baginya dalam menjalankan modus operandinya? Citra DPR sebagai lembaga korup masih saja belum hilang. Survei yang dilansir TII (Transparansi Internasional Indonesia) masih menempatkan anggota dewan pada posisi teratas sebagai lembaga terkorup. Celetukan di masyarakat yang kemudian ditulis media massa menyatakan bahwa 50% anggota DPR adalah koruptor. Mendengar hal ini, semua anggota Dewan marah besar dan memaki-maki redaktur dan pimpinan media massa, yang memaksa meralatan isi pemberitaan menjadi “50% anggota Dewan bukan koruptor”. Citra sebagai lembaga korup lebih diperkuat dengan berbagai kasus yang menjerat beberapa anggota DPR sebagaimana digambarkan di atas. Masyarakat juga menyoroti gaya hidup (life style) beberapa anggota DPR yang tidak sebanding dengan penghasilannya.Parade mobil mewah banyak anda temukan di gedung dewan yang terhormat. Gaya hidup keluarga anggota DPR juga terlihat berbeda. Trend gaya hidup anggota DPR dapat kita amati dalam 5 tahun periode jabatannya. Menurut beberapa anggota DPR yang pernah berdiskusi dengan penulis (lebih dari 5 orang), pada tahun-tahun pertama, banyak anggota DPR yang masih idealis memperjuangkan kepentingan konstituennya. Bahkan banyak yang secara tegas menolak uang-uang syubhat (meragukan) yang diberikan kepadanya. Pada tahun kedua, biasanya cenderung pasif. Dalam arti tidak terlalu mempermasalahkan uang-uang syubhat yang mereka terima. Nah mulai tahun ketiga katanya, kondisi mulai berubah secara signifikan. Jika sebelumnya mereka pasif ketika menerima uang dari berbagai pihak, pada tahun ketiga ini, mereka mulai aktif mencari uang untuk keperluan pribadinya, bahkan terkadang dengan cara memaksa (memeras). Dalam persidangan di pengadilan tipikor terungkap bagaimana arogansi Amien Nasution ketika meminta (memeras) pejabat Dephut terkait proyek Geographical Position System (GPS) di Dephut. Ketika KPK diberi kewenangan untuk menyidik kasus pencucian uang, artinya KPK akan banyak menerima input LHA (Laporan Hasil Analisis) dari PPATK yang berisi antara lain berbagai kejanggalan rekening koran seseorang yang tidak sesuai dengan profilnya (penghasilannya). Berbagai transaksi keuangan milik anggota dewan kemungkinan besar juga akan menjadi perhatian PPATK dan kemungkinan besar akan masuk menjadi LHA yang akan diserahkan ke KPK. Ketika KPK menerima LHA seorang anggota Dewan, dengan kewenangannya yang besar, KPK bisa menyadap telpon anggota dewan, memantau pergerakan anggota dewan, dan mengumpulkan berbagai informasi lainnya yang tentu saja akan membahayakan anggota dewan yang bermasalah. Oleh karena itu, tanpa ada isu suap pun, kemungkinan besar anggota dewan akan mati-matian menolak menambah kewenangan KPK dalam menyidik perkara pencucian uang. Oleh karena itu, citra dan kredibilitas anggota dewan begitu dipertaruhkan dalam pembahasan RUU TPPU ini. Jika DPR memberi kewenangan KPK dalam menyidik kasus pencucian uang sebagaimana RUU TPPU, mari kita sama-sama apresiasi DPR. Namun jika sebaliknya, yaitu ketika akhirnya DPR mengebiri Pasal 70 Ayat (2) RUU TPPU tersebut, maka dugaan suap Rp 5 milyar dan/atau citra DPR sendiri sebagai lembaga korup dengan sendirinya akan terklarifikasi. "Kalau Bersih Kenapa Harus Risih". Mari kita cermati bersama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun