Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Kritik Sosial: Perilaku Masyarakat di Sosial Media

25 Agustus 2019   16:22 Diperbarui: 25 Agustus 2019   16:31 1224 0
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang sudah lama saya diami, saya lahir di Indonesia dan selama 20 tahun saya hidup di Indonesia. Saya memang hanya anak kemarin sore, tapi saya mengikuti setiap perubahan negara ini dari masa ke masa. Bukan pemerintahnya, bukan tanah nya, bukan pula politik dan ekonomi nya. Melainkan perilaku masyarakatnya.

Terutama sejak sosial media mengambil peranan penting dalam kehidupan masyarakat kita. Di zaman ini adalah hal biasa jika kita mengupload tulisan-tulisan kita ke internet, sosial media dan sebagai nya. Namun yang jadi masalah apakah tulisan kita bersifat negatif atau positif. Disini lah peran sosial media dianggap sama dengan peranan pisau yang bermata dua.

Semua nya menjadi relatif, siapa yang memegang pisau dialah yang menentukan apakah pisau itu positif atau negatif. Dari bab ini saya coba membahas beberapa perilaku negatif di media sosial yang banyak beredar di zaman ini, zaman saya.

SOSIAL MEDIA SEBAGAI PERISAI

Dalam media sosial, ada yang disebut 'Followers' atau Pengikut. Pengikut inilah yang mengikuti setiap postingan yang di upload oleh salah satu akun yang dikelola satu atau levbih individu, dalam kasus nya akun-akun yang memiliki banyak pengikut kerap kali menyalahgunakan pengikutnya tersebut. Contoh nya ada banyak, mulai dari pembelaan diri, ujaran kebencian, doktrinisasi dll. Namun saya akan membahas satu contoh kasus. Yang paling meresahkan bagi saya.

Dalam hal ini, berhubungan dengan cadar dan hijab. Di zaman ini banyak perempuan-perempuan yang kerap menampilkan foto di media sosial dengan pakaian yang terbuka. Saya bukanlah orang yang agamis atau taat agama. Namun, saya tahu betul, jika mereka beragama islam, maka perbuatan semacam itu dilarang dalam  islam. Saya tak pernah mempermasalahkan atau melarang mereka berpakaian seperti itu. Saya open-minded dan semua itu hak mereka. Namun, beberapa mereka dengan pengikutnya yang banyak justru mencari-cari kesalahan dan menjelek-jelekkan mereka yang berhijab dan telah siap menutup aurat nya, tentu sebagai pembelaan diri. Dan hal ini yang secara langsung dilihat pengikutnya yang banyak akan menciptakan persepsi "yang berhijab belum tentu baik. "

Jika mereka belum siap memakai hijab dan menutup aurat, ada baik nya untuk tidak menyerang mereka yang berhijab. Mereka berhijab untuk diri nya sendiri akan kesadaran mereka mengenai kewajiban agama. Mereka mengenakan hijab untuk kepentingan akhirat mereka dan janganlah kita mengusik mereka selama mereka melakukan kewajiban yang sebenarnya untuk kepentingan mereka sendiri tanpa memaksakan orang lain. Sungguh saya bukan orang yang taat agama, dan saya selalu berhati-hati setiap kali berbicara soal agama, namun melihat mereka yang sama seperti saya berkoar-koar seenaknya tentang agama tanpa pengetahuan yang cukup membuat saya tak bisa menerima hal itu dan ingin rasa nya melontarkan kritik.

MEDIA SOSIAL SEBAGAI LAHAN PENGEMIS PERHATIAN

Sebenarnya dalam kasus ini saya merasa sedikit kasihan kepada mereka sebagai pelaku. Dalam kasus ini, mereka bisa disimpulkan sebagai dua golongan, golongan pertama adalah orang yang sengaja mencari perhatian, dan yang kedua yaitu orang yang kurang perhatian, dan beralih ke media sosial untuk mencari perhatian pengikutnya.
 
Mereka akan membuat sebuah postingan yang memperlihatkan diri mereka yang yang sangat memprihatinkan, dan dalam tanda kutip "ingin dikasihani". Mereka akan berakting (dalam hal ini relatif)  seolah-olah mereka lah yang paling menderita. Setiap kali mereka terkena musibah dan sedang merasa tertekan dia akan membuat satu postingan yang menggambarkan keadaan dirinya sekarang. Sungguh menggelikan, mereka mengeluh seolah-olah disana lah (media sosial) tuhan mereka berada.

Semua itu semata-mata untuk mendapatkan perhatian dari para pengikutnya yang tolol. Yang dengan mudah nya tertipu dan berkomentar "yang kuat ya." "semoga cepat selesai." "aku ada disisi mu." "ya ampun, kasihan." Sungguh semua itu membuat saya jijik bukan main.

Saya berandai-andai apabila suatu saat postingan akun-akun "Manusia paling menderita" itu tidak mendapat komentar seperti ini, dalam kata lain "sepi komentar" apa yang mereka lakukan? Mereka akan membuat postingan baru yang lebih dan tidak kalah menjijikan nya dari postingan pertama. Yang kemudian di beri komentar menjijikan pula dari para pengikutnya yang tolol, "yang kuat ya" astaga!

Kemudian yang tak kalah menjijikannya adalah mereka yang secara spesifik menjelaskan keadaan nya sekarang. Yang paling parah adalah mereka yang memposting bahwa dirinya sedang galau karena pertikaian orang tua, orang tua bercerai, broken home dll. Ini salah satu yang juga menjijikan. Satu pertanyaan muncul dibenak saya saat postingan ini lewat di beranda saya. Bukannya semua itu aib ya? Kenapa mereka dengan mudah nya menyebarluaskan kejelekan keluarga nya sendiri? Tidakkah mereka berfikir demikian?

Masih banyak lagi hal hal menjijikan yang saya temui dalam topik ini. Sungguh individu dengan pengikut banyak telah membutakan sebagian dari mereka, haus akan perhatian telah membutakan kita. Semua kita umbar dan sebarluaskan demi kepuasan akan perhatian. Solusi nya, jika kita tidak memiliki perhatian yang cukup dari orang sekitar. Janganlah menjadikan sosial media sebagai pelampiasan. Kalaupun harus, carilah satu orang saja yang kita percaya untuk tempat kita bercerita tentang masalah yang membebani kita. Cukup satu orang yang kita percaya, orang lain tak perlu tahu, semua pengkiut mu tak perlu tahu, karena dengan begitu kita hanya menyebarluaskan kelemahan kita. Berikanlah pengikut kita postingan yang bermanfaat, dan dengan begitu saya tak perlu lagi merasa jijik saat melihat media sosial.

MEDIA SOSIAL SEBAGAI UJARAN KEBENCIAN

Saat tulisan ini dibuat, negara ini baru saja melewati tahap dimana ujaran kebencian, berita palsu dan lainnya beredar bebas di media sosial dan banyak orang yang termakan isu tersebut. Sampai sampai pemerintah kita membatasi akses media sosila untuk beberapa hari ke depan. Ya, itu benar jika kau pembaca yang berada di zaman yang jauh setelah tulisan ini dibuat, kau tidak salah baca bahwa di masa tulisan ini dibuat, media sosial sempat di suspend pemerintah.

Semua itu karena marak nya oknum-oknum yang membuat berita palsu dan ujaran kebencian antar pihak. Seperti saat di masa lampau saat propaganda memainkan perannya antara kubu blok timur dan blok barat saat berlangsungnya perang dingin. Sekarang pun terjadi hal semacam itu dan dengan mudah nya dilakukan dengan media sosial. Dalam skala individu sampai skala nasional. Betapa mengerikannya media sosial jika disalahgunakan. Tapi mari kita ambil contoh yang sederhana yaitu skala individu.

Satu individu akan membuat berita palsu atau dilebih-lebihkan untuk menyerang individu lain yang menjadi "lawan nya". Ya, itulah yang terjadi. Lagi-lagi peran pengikut atau follower akan penting disini. Mereka juga akan mengikuti langkah individu tersebut di akun pribadi mereka sehingga pertikaian meluas menjadi antar pengikut.

Dalam hal ini, pengikut adalah satu-satu nya senjata mereka para pengecut. Mereka mencari dukungan dan pembelaan, karena hal ini, jalan tengah hampir tidak ada. Saya pernah mengusulkan satu solusi untuk ini. Yaitu dengan mengajak mereka berdialektika melalui pesan pribadi, berhasilkah? Tidak. Mereka adalah pengecut, mereka selalu memakai dukungan pengikutnya untuk menjatuhkan suatu individu. Jika kita memakai solusi pesan pribadi. Maka mereka akan mengambil screenshot  dan menyebarluaskannya di media sosial untuk dibaca oleh para pengikut nya sehingga munculah drama baru.

Satu-satu nya solusi untuk ini hanyalah memblokir akun mereka. Dengan begitu selesai. Jalan itulah yang harus ditempuh.

Seperti yang saya jelaskan di pendahuluan, media sosial adalah pisau bermata dua. Negatif atau positif nya relatif, tergantung si pengguna semua yang saya jelaskan diatas meruapak penyakit yang kini beredar di media sosial kita. Pembatasan akses media sosial yang dilakukan pemerintah kita saat itu adalah langkah yang benar.

Pemerintah memang harus tegas dalam mengambil sikap mengenai media sosial, jika perlu para pengguna media sosial harus di beri peraturan dan ketentuan yang ketat untuk mengatur harmonisasi. Bukan untuk mengambil hak mereka, namun untuk membenahi masalah yang ada. Karena terkadang apa yang manusia nsebut hak, seringkali mereka salahgunakan.

Harry Wijaya
2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun