“ Betapa nikmatnya dan “peacefulnya,” jika kota yang kita diami, semua orang naik sepeda yang melambat. Kota menjadi sepi dari klakson. Tak ada lagi hidup yang tergesa-gesa, diburu-buru waktu dan dikejar-kejar harapan sendiri. Sepeda, alunan otot kaki musik alami, tanpa bising, tanpa motor. Tak ada yang dikejar dan mengejar.Karena hidup tak memiliki apa-apa, tak memegang apa-apa, lalu apa yang dikhawatirkan lagi? Tak ada. Hidup manusia menjadi lebih tenang, tak ada musuh, tak ada persaingan, jauh dari angka-angka. Anak ke sekolah, tak mengejar nilai. Papa mama ke kantor, tak menumpuk harta. Semua sama, ingin menikmati hidup berdampingan tanpa perebutan dan perselisihan. Gowes-gowes lalu tak lama menuju pinggiran pantai, seperti di Kuta dan Jogya. Maksimum, orang hanya naik becak dan jika terpaksa mengeluarkan sepeda motornya dari garasi. Orang tak lagi membeli mobil dan rumah mewah. Tak harus hidup di tengah sawah atau di hutan atau di mobil caravan. Tetaplah disitu.Yang ada hanya gazebo dari bambu, tempatnya jiwa yang lelah duduk-duduk di sore hari, sambil menanti maghrib. Kopi dan teh hangat disajikan dengan ubi rebus, paling banter pisang goreng, bukan black-forest atau chicken-nugget atau KFC. Dunia semakin tidak mahal. Walikota dan gubernur tak pusing membangun jalan tol, fly-over dan monorail. Anggaran kota menjadi murah. Tak ada pajak STNK mobil yang membuat kening berkerut.Uang yang ada dipindahkan ke rumah-rumah sehat di pinggiran kota. Pejabat tak perlu korupsi, karena semua orang bersepeda. Nilai-nilai tradisional hidup kembali. Warga saling menolong dan bergotong-royong. Membangun negeri tanpa menyakiti. Life is so simple.”