Namun, di sini harus ada pertimbangan lebih lanjut mengenai harus dihukum maksimal atau tidaknya seseorang pelanggar. Tulisan ini bukan bermaksud mencampuri proses hukum, hanya sekadar mencoba memberikan second opinion.
Setidaknya ada beberapa pertimbangan yang bisa dijadikan pedoman:
Pertama, dalam pelanggaran hukum terdapat tiga unsur: pelaku atau subjek pelanggaran, perbuatan melanggar, dan objek atau korban. Ini adalah unsur utama dalam hukum. Dalam kaidah penetapan hukum pun mengenal 3 unsur: subjek hukum, substansi hukum dan objek hukum.
Ketika salah satu dari ketiga unsur tersebut atau ketiganya berubah maka hukumnya pun akan berubah. Misal, tidak sama kadarnya antara pelanggar hukum jika seorang publik figur dengan masyarakat biasa. Ini berarti subjek berbeda maka hukumnya pun akan berbeda. Pelanggar hukum sebagai publik figur atau pejabat negara harus dijatuhi hukuman maksimal daripada pelanggaran yang sama dilakukan oleh masyarakat biasa.
Begitu pun, tidak sama hukumnya ketika seseorang mencuri air di padang pasir dengan mencuri air di daerah tropis. Mencuri air di padang pasir gersang jelas akan lebih berat hukumannya ketimbang di daerah yang banyak air. Objek hukumnya berbeda.
Kedua, pandangan di atas mengacu pada asas keadilan. Keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada porsinya, pada takaran yang selayaknya. Asas keadilan ketika dihadapkan dengan asas lain yaitu asas kepastian hukum dan asas kesamaan kedudukan di hadapan hukum maka yang harus didahulukan adalah asas keadilan.
Contoh nyatanya adalah kasus putusan MK yang mengabulkan permohonan Antasari Azhar dengan putusan dibolehkannya PK (Peninjauan Kembali) lebih dari satu kali. Awalnya, PK hanya bisa dilakukan sekali saja. Kepastian hukum lebih terjaga. Tetapi, hakim MK memutuskan hal lain. Pertimbangannya adalah asas keadilan. Padahal jika PK lebih dari satu kali maka akan melahirkan ketidakpastian hukum. Di sini jelas bahwa keadilan adalah segala-galanya.
Ketiga, dalam perspektif hukum Islam, mengutip pendapat Cak Nun bahwa di atas hukum ada moralitas dan di atas moralitas ada cinta.
Tidak jarang Nabi bahkan tidak menghukum seorang pelanggar melainkan malah membebaskannya. Karena berdasarkan prinsip tadi. Tidak selamanya seseorang itu dihukum bukan bertambah jera melainkan makin bertambah brutal. Tetapi banyak kasus ketika seseorang dimaafkan ia akan lebih mawas diri ke depannya.
Ketika Nabi melihat seseorang kencing di mesjid, para sahabat meminta izin untuk membunuhnya tetapi Nabi mengatakan "Jangan, itu karena ia tidak tahu. Biarkanlah ia selesai". Lalu Nabi menghampiri dan menasehati secara baik.
Kaitannya dengan kasus MA. Dengan menggunakan kaidah pertama, bahwa subjek hukum dapat mempengaruhi hukum. Maka, tidak layak MA dihukum penjara maksimal sesuai dengan yang tertuang pada UU ITE dan Pornografi hingga 12 tahun. Untuk masyarakat bawah, dipanggil ke kantor polisi saja sudah cukup untuk membuat jera. Apalagi track record yang bersangkutan bukan pelaku kriminal.
Jenis pelanggaran pun berpengaruh pada hukuman. Kalau ikut pada ketentuan yang berlaku, maka pencuri sandal dan pencuri ayam maka akan diperlakukan sama dengan pencuri uang di bank milyaran. Sama-sama mencuri dengan sengaja. Hukumannya pun sama. Tetapi secara akal sehat itu tidak bisa diterima. Karena substansi perbuatannya berbeda maka hukumannya pun harus berbeda.
Jenis pelanggaran yang dilajukan MA kalau kita analogikan (meskipun dalam hukum tidak mengenal analogi) adalah seperti pencuri ayam. Pengunggah foto-foto porno lain yang lebih profesional dan lebih kakap banyak. Maka, tidak adil menimpakan hukuman maksimal pada MA. Di luar sana berkeliaran banyak pengunggah foto-foto porno yang lebih dari itu.
Maka, atas nama keadilan, menempatkan segala perkara sesuai porsi dan kadarnya, lebih baik MA dibebaskan. Lakukan jalan musyawarah antara kedua belah pihak. Kedepankan cinta daripada benci. Setiap orang berhak untuk hidup bebas dan berhak untuk hidup benar. Berikan kesempatan dia untuk memperbaiki kesalahannya!**[harjasaputra]