TAWURAN terus terjadi di Jakarta. Boleh dikatakan tiap bulan ada satu pelajar tewas dalam tawuran tersebut. Alawi bukan satu-satunya korban tawuran. Sebelumnya, jika dikronologikan, korban tawuran antar pelajar berawal dari bulan Agustus, yakni Jeremy Hasibuan (SMA Kartika), kemudian September ada Jasuli (SMPN 6 Jakarta), Dedi Triyuda (SMK Baskara), Ahmad Yani (SMK 39 Cempaka Putih), Alawi Yustianto Putra (SMUN 6 Jakarta). Kalau kita runut ke belakang di masa lampau, tentu jumlah korban tewas secara akumulatif lebih banyak lagi. Padahal, sudah banyak usaha yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya tawuran. Namun, semuanya tidak efektif. tawuran tetap berlanjut. Kenapa?
A.Beberapa gagasan yang keliru untuk mencegah dan mengatasi tawuran
a.Membuat program-program persahabatan antarsekolah, terutama sekolah-sekolah yang berdekatan
Logika awalnya, dengan adanya proses saling kenal, maka diharapkan tidak akan terjadi tawuran sebab tawuran dilakukan oleh mereka yang tidak saling mengenal. Hal ini sudah dilakukan beberapa sekolah, namun tawuran tetap saja terjadi. Kenapa? Sebab, konflik pribadi bisa saja terjadi dua pihak yang saling mengenal. jangankan sesama pelajar, konflik sesama saudarapun bisa terjadi. Hal tersebut terjadi karena ada masalah.
b.Membangun pos pemantauan dan penjagaan atau pos terpadu di antara sekolah-sekolah yang berdekatan. Logika awalnya, dengan adanya pos terpadu, maka tawuran akan segera terdeteksi dan pihak petugas pos terpadu akan segera memanggil bala bantuan untuk mencgah terjadinya tawuran. Itu kalau tawuran terjadi di dekat pos terpadu. Kalau terjadi agak jauh atau jauh dari pos terpadu, apalagi tidak terpantau, tentu tawuran tetap bisa terjadi di tempat lain. Bisa jadi, pihak penyerang sudah menunggu di tempat tertentu.
c.Penanaman moral religi melalui ceramah-ceramah agama yang diadakan di sekolah
Logika awalnya, agama efektif untuk mencegah moral buruk. Diberi contoh, tidak pernah terjadi tawuran antar pondok pesantren. Namun logika inipun keliru, karena ada juga lulusan pondok pesantren yang justru jadi teroris. Agama adalah pedoman perilaku, bukan penentu perilaku. Artinya, yang menentukan perilaku tawuran adalah pelajar sendiri, bukan agama. Itulah sebabnya, walaupun mata pelajaran agama ditambah, tawuran tetap terjadi.
d.Memberikan pengertian tentang hukum dan sanksi hukum akibat tawuran
Logika awalnya, dengan mengetahui adanya sanksi-sanksi hukum yang berat, maka diharapkan pelajar akan takut tawuran karena sanksi hukumnya sangat berat, apalagi kalau sampai menganiaya atau membunuh. Namun harus dipahami, semua pencerahan hukum sifatnya terbatas pada teori saja. Yang bisa jadi mudah dilupakan pelajar. Manakala mereka tawuran, mereka lupa terhadap semua pencerahan hukum.
e.Memberikan pengertian kepada para orang tua pelajar agar memberikan pendidikan yang efektif di rumah. Logika awalnya, dengan adanya pendidikan yang dilakukan orang tua, maka diharapkan para pelajar bisa memiliki moral yang baik. masalahnya adalah, di luar rumah, kedua orang tua tidak akan mampu memantau perilaku anaknya. Dengan demikian, pelajar tersebut masih bisa terpengaruh oleh ajakan-ajakan untuk tawuran.
f.Mengadakan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat
Logika awalnya, dengan adanya kegiatan tersebut, maka diharapkan para pelajar tak sempat lagi memikirkan tawuran. Namun harus dipahami bahwa kegiatan tersebut sifatnya hanya sementara saja. Selesai melakukan kegiatan ekstrakurikuler, maka konsep perilaku tawuran tetap dimiliki para pelajar.
g.Memberikan tugas-tugas untuk dikerjakan di rumah agar para pelajar lebih disibukkan pada soal pelajaran. Logika awalnya, dengan diberikan tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan rumah, maka para pelajar diharapkan rajin belajar di rumah atau belajar kelompok agar mempunyai kesibukan yang positif. Tetapi, tugas demikian bisa jadi justru menjadi beban psikologis yang berat, sehingga untuk pelampiasannya bisa saja salah satunya yaitu ikut tawuran.
2.Beberapa gagasan yang keliru untuk mengatasi tawuran yang telah terjadi
a.Menjatuhkan skorsing bagi para pelaku tawuran. Logika awalnya, dengan adanya skorsing beberapa hari , diharapkan pelajar menjadijera dan tidak ikut lagi tawuran. Namun, yang dilupakan dalam logika ini yaitu, pelajar yang terkena skorsing, boleh jadi bukannya jera, namun justru menaruh rasa dendam yang suatu saat akan meledak dalam bentuk tawuran.
b.Mengeluarkan pelajar yang terlibat tawuran dan tindak pidana
Logika awalnya, dengan dihukum secara pidana dan dimasukkan ke LP (Lembaga Pemasyaraatan) maka diharapkan akan membuat jera si pelaku ataupun teman-temannya. Namun, bisa jadi, justru mereka yang di-LP-kan, sesudah keluar dari LP, justru akan menjadi "monster" yang lebih mengerikan. Bahkan bisa menghasut adik-adik pelajar di sekolahnya.
c.Memindahkan sekolah ke tempat lain
Logika awalnya, kalau lokasi sekolah dipindah, maka diharapkan tidak terjadi gesekan-gesekan sosial dengan pelajar lain, sebab lokasi sekolahnya berjauhan. Betul, lokasi sekolahnya berjauhan. Tetapi ketika pulang sekolah, mereka bisa saja dicegat para pelajar lain sebagai pihak penantang atau penyerang.
d.Memutasikan atau memecat kepala sekolahnya
Logika awalnya, dengan cara memutasikan atau memecat kepala sekolah, maka diharapkan kepala sekolah yang baru akan lebih bersikap berhati-hati dan akan mendidik para pelajarnya sebaik mungkin. Teorinya begitu. namun, hal demikian tidak efektif karena kemampuan kepala sekola terbatas. Tidak mungkin bisa mengawasi semua para pelajarnya, apalagi di luar sekolah.
e.Menyerahkan pelaku tawuran dan tindak pidana ke kepolisian
Logika awalnya, sama dengan uraian sebelumnya, yaitu diharapkan para pelajar akan jera akibat hukuman tersebut. Tentu tidak efektif karena justru bisa merusak cara berpikir mereka yang ditahan.
f.Menurunkan status/akreditasi sekolah yang terlibat tawuran
Logika awalnya, dengan diturunkan status/akreditasi sekolah, maka pihak sekolah terutama pihak kepala sekolah merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi dan kondisi sistem pendidikan di sekolahnya. Namun, lagi-lagi cara ini tidak efektif, karena tidak ada pengaruhnya terhadap perilaku para pelajar.
g.Kerjasama antara sekolah, orang tua pelajar, pemerintah, polri dan masyarakat.
Logika awalnya, dengan adanya kerjasama sekolah, orang tua pelajar, pemerintah, polri dan masyarakat, maka ttawuran bisa diatasi. Antara lain pihak polri dengan cepat bisa menangkap para pelaku tawuran, terutama yang membawa senjata, terutama senjata tajam atau bahkan mungkin senjata api. Logika ini terbatas pada cara menanggulangi tawuran, bukan pada logika pencegahan terjadinya tawuran.
C.Pendekatan dan pencerahan psikologis untuk mencegah terjadinya tawuran Harus dipahami bahwa tawuran merupakan perilaku tawuran. Perilaku tawuran erat hubungannya dengan emosionalitas dan rasionalitas para pelajar, di mana saat tawuran, emosionalitas lebih berkuasa daripada rasionalitas.
Oleh karena itu, solusi terbaik yaitu solusi yang berhubungan dengan substansi daripada emosionalitas-rasionalitas para pelajar. Artinya, perlu adanya pendekatan psikologis selama mereka berada di sekolah. Mereka harus mendapatkan pencerahan-pencerahan psikologis dari pihak yang kompeten dan mempunyai keahlian atau kompetensi di bidang itu.
Menanamkan kesadaran bahwa tawuran itu tidak ada segi positifnya. Menanamkan cara berpikir positif tentang bagaimana cara menyeleesaikan masalah secara baik-baik. Mengajari bagaimana caranya menghindarkan diri dari terjadinya tawuran. Memberitahu bagaimana caranya menyelamatkan diri dari bentrokan antarpelajar. Membeitahu tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah secara baik-baik.Menanamkan faham bahwa mengalah bukanlah kalah. Mengajarkan bagaimana usaha untuk mengendalikan emosi-negatif menjadi emosi-positif.
Mengubah mindset para pelajar
Singkatnya, solusi terbaik yaitu adanya program mengubah mindset para pelajar dari perilaku pro-tawuran menjadi perilaku anti-tawuran. Perlu, program latihan pengendalian emosi dan semacamnya.Untuk itu, dibutuhkan pencerahan-pencerahan psikologis yang langsung menyentuh kejiwaan para pelajar. Tentu, harus dilakukan oleh pihak yang mempunyai keahlian untuk itu.
Hariyanto Imadha
Pengamat Perilaku
Sejak 1973