Kini kerusuhan terjadi di Kabupaten Tolikara. Kerusuhan yang bermula pada 14 Februari itu melibatkan dua kubu pendukung calon bupati yaitu kubu John Tabo dan kubu Usman Wanimbo serta disebabkan tidak diakuinya panitia pemilihan daerah oleh kubu John Tabo. Kerusuhan tersebut mengakibatkan sejumlah kerugian materi yaitu terbakarnya 121 rumah, 1 unit mobil , dan 2 unit motor.Juga dibakarnya kantor Panitia Pemilihan Distrik, Biro Pusat Statistik, Partai Demokrat, dan Partai Golkar. Sedangkan kerugian non-materi dari kerusuan tersebut adalah 201 orang yang menjadi korban luka berat dan ringan serta tewasnya 11 orang.
Tiga kerusuhan karena pemilihan kepala daerah yang menewaskan puluhan orang dalam kurun waktu tujuh bulan bukan hal yang biasa. Banyaknya kerusuhan yang terjadi membuat kita merasa apakah sistem pemilihan kepada daerah secara langsung layak dilaksanakan di Papua. Papua memang identik dengan kerusuhan dan kekerasan, tidak hanya kerusuhan pilkada saja. Diantaranya penembakan yang menewaskan Kapolsek Mulia Kabupaten Puncak Jaya pada 24 Oktober 2011, penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya seorang anggota polisi pada 1 Desember 2011 di Kabupaten Jayapura, penembakan terhadap 2 anggota Brimob pada 2 Desember 2011 yang menewaskan keduanya di Kabupaten Puncak Jaya.
Sistem pemilihan kepala daerah dalam beberapa tahun terakhir yang notabene berada dalam era reformasi memang berbeda jauh dengan sistem kepala daerah di era orde baru. Di era orde baru kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD kota/kabupaten atau provinsi setempat yang untuk ukuran kabupaten di Papua hanya puluhan orang saja. Pelaksanaan pemilihan juga hanya dilakukan satu hari bahkan hanya hitungan jam. Partai politik yang bertarung tidak lebih dari tiga saja. Bandingkan dengan saat ini dimana pemilihnya bisa belasan ribu orang dan prosesnya berlangsung berbulan-bulan mulai dari pendataan jumlah pemilih, masa kampanye,hingga hari pemilihan, serta partai yang bertarung semakin banyak.
Banyaknya warga yang menjadi pemilih dan lamanya proses pemilihan berpeluang menyebabkan kekerasan terlebih jika kualitas SDM-nya rendah. Kekerasan identik terjadi di daerah yang tertinggal atau kualitas pendidikannya rendah. Hal ini disebabkan warganya kesulitan mendapat akses pendidikan sehingga cara berpikir mereka masih terbelakang.
Papua termasuk daerah tertinggal seperti data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal yang menyebutkan bila 27 dari 183 kabupaten tertinggal di Indonesia berada di Papua. Umumnya daerah tertinggal memiliki kualitas sumberdaya manusia yang rendah, yang diciriÂkan oleh indeks pembangunan manusia (IPM), yaitu rendahnya rata-rata lama sekolah (RLS), angka melek huruf (AMH), dan angka harapan hidup (AHH).
Kualitas pendidikan di Papua juga rendah. Faktanya ketertinggalan SD di Papua mencapai 12 tahun dibanding daerah lainnya di tanah air. Sedangkan SMP di Papua ketertinggalannya 15 tahun. Angka kemiskinan di Papua juga sangat tinggi bahkan termasuk terbesar di Indonesia. Tahun 2007 penduduk miskin Papua berjumlah lebih dari 974.000 orang. Tahun selanjutya berjumlah lebih 934.000 orang. Tahun 2009 naik hingga lebih 997.000 orang. Tahun 2010 meningkat menjadi lebih dari 1.031.000 orang dan September 2011 berjumlah lebih 917.000 orang.
Melihat fakta jumlah kekerasan dan ketertinggalan di atas, sudah selayaknya pelaksanaan pilkada untuk Papua ditinjau ulang oleh pemerintah pusat. Sistem pilkada secara langsung belum aman diterapkan di daerah yang rawan konflik. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya kerusuhan yang menyebabkan kerugian harta benda bahkan jiwa raga. Kita tidak ingin keindahan alam Papua yang terkenal hingga mancanegara dirusak oleh aksi kekerasan yang tidak berperikemanusiaan.