Uang elektronik pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 2000-an di Negara-negara barat. Di Indonesia sendiri, instrument tersebut baru diaplikasikan sekitar tahun 2009. Sebenarnya apa sih uang elektronik ini? Sama atau berbedakah dengan alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK)?
Jawabannya, uang elektronik adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur tertentu yaitu: (1) diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit (pada umumnya penerbit adalah bank); (2) nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; (3) digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang; dan (4) nilai uang elektronik bukan merupakan simpanan (definisi disarikan dari Peraturan Bank Indonesia mengenai uang elektronik).
Uang elektronik berbeda dengan APMK (misalnya: kartu ATM/ kartu debet atau kartu kredit), berikut perbedaannya:
 Pada uang elektronik terdapat nilai yang tercatat di dalam kartu (stored value). Dengan demikian, pada saat transaksi maka nilai yang ada pada kartu akan berkurang sesuai nilai transaksi. Dengan adanya stored value tersebut maka pemegang kartu tidak selalu memiliki rekening di bank penerbit kartu. Karena adanya stored value itu maka transaksi yang terjadi dapat bersifat off line artinya sistem pada merchant tidak harus terhubung dengan sistem pada penerbit kartu.Â
Di dalam APMK tidak terdapat nilai yang melekat pada kartu. Tidak adanya nilai pada kartu menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi akan langsung memotong rekening tabungan (misalnya kartu ATM/kartu debet) atau mengharuskan pengguna melakukan pembayaran pada waktu tertentu (misalnya kartu kredit).Â
Penggunaan uang elektronik memang belum terlalu membudaya sepertihalnya APMK. Hingga saat ini memang belum ada data akurat yang menunjukkan kuantitas penggunaan uang elektronik. Namun, dari aktivitas transaksi kita sehari-hari di berbagai penyedia barang atau jasa (merchant) sebenarnya kita sudah dapat menduga tingkat penggunaan uang elektronik yang masih rendah. Hal tersebut mungkin disebabkan banyaknya masyarakat yang belum mengetahui tersedianya produk bank tersebut. Kemungkinan yang lain, bank belum melakukan penggenjota penggunaan produk uang elektronik secara sungguh-sungguh.
Dari sisi bank, apabila kita menduga bank kurang gencar mempromosikan produk uang elektronik, perlu kita pahami terlebih dahulu tujuan mendasar dari bank dalam melahirkan suatu produk, Bank pada prinsipnya merupakan lembaga profit, meskipun masih memiliki fungsi sosial mengamankan dana masyarakat dan menghidupkan perputaran perekonomian, yang tujuannya adalah memperoleh keuntungan. Sumber keuntungan bank dapat berasal dari fee based income, modal dari pemegang saham, bunga kredit, dll. Kembali pada uang elektronik, produk tersebut memang tidak memberikan keuntungan secara langsung kepada bank. Pemegang uang elektronik tidak dikenakan biaya apapun oleh bank, dari sini saja kita sudah mengetahui tidak adanya pemasukan keuntungan dari biaya administrasi. Keuntungan yang diperoleh mungkin berasal dari penjualan kartu uang elektronik perdana untuk kategori uang elektronik card base. Harapan lainnya yaitu pengguna uang elektronik dapat membuka rekening di bank penerbit (isi ulang uang elektronik lebih mudah dilakukan apabila memiliki rekening di bank penerbit uang elektronik)Â
Dengan tidak adanya keuntungan yang signifikan ataupun berkelanjutan tersebut apakah mengakibatkan bank setengah hati dalam menjual produk uang elektronik ini? Kita harap tidak. Tetapi, tidak dapat kita pungkiri, dalam praktek transaksi uang elektronik masih ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian bank yaitu:
- Banyaknya petugas kasir yang tidak mengetahui cara penggunaan uang elektronik. Kasir tidak mengetahu proses transaksi uang elektronik menggunakan fitur dalam electronic data capture (EDC). Hal itu berdampak pada penolakan penggunakan uang elektronik oleh kasir.
- Transaksi uang elektronik lebih lama dari uang tunai. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kasir masih menjadi penentu kecepatan transaksi, apabila kasir tidak memahami penggunaan uang elektronik maka dia akan berusaha mencoba-coba menggunakan fitur EDC. Dapat diduga, upaya itu membutuhkan waktu yang lebih panjang daripada langsung menerima uang tunai.
- Kasir masih mengalami kebingungan mengenai fitur uang elektronik yang dapat digunakan untuk transaksi dengna nilai kecil (missal nilai di bawah Rp50.000,00). Akibatnya, kasir menolak penggunaan uang elektronik untuk transaksi kecil.
- Adanya kebingunan kasir dalam mengoperasikan berbagai mesin EDC yang dipasang oleh bermacam-macam bank yang menjadi mitra toko.
- Adanya oknum kasir yang lebih suka menggunakan transaksi uang tunai agar dapat memperoleh kelebihan kembalian uang receh. Praktik kasir nakal ini biasa terjadi pada toko-toko retail. Modusnya yaitu kasir menginformasikan bahwa mesin EDC rusak sehingga hanya dapat menerima uang tunai. Selanjutnya setelah menerima uang tunai kasir mengganti kembalian dengan permen atau menawarkan untuk menyumbangkan uang receh kembalian.
- Mesin EDC terkadang mengalami gangguan sinyal sehingga transaksi gagal atau berhasil tetapi membutuhkan waktu lama.
Sebagaian besar masalah tersebut memang terdapat di kasir mengingat kasir merupakan petugas akhir dari suatu transaksi. Namun demikian, bank seharusnya tidak membiarkan permasalahan tersebut berkelanjutan. Edukasi kepada kasir merupakan tindakan utama yang harus dilakukan. Edukasi dilakukan secara berkelanjutan mengingat pergantian petugas kasir yang seringkali terjadi. Di samping itu, kontrol terhadap mesin EDC juga perlu dilakukan secara teratur sehingga dapat diketahui permasalahan yang terdapat pada mesin EDC.
Pada akhirnya, meskipun masih banyak permasalahan yang menunggu penyelesaian dalam penggunaan uang elektronik ini, bank tetap harus mengupayakan agar uang elektronik ini sebagai instrumen transaksi yang membudaya di kalangan masyarakat. Kelebihan uang elektronik berupa kemudahan untuk dibawa, keaslian yang terjamin, higienis (karena tidak ada perpindahan tangan), dan kemudahan merchant yang tidak perlu menyediakan uang kembalian perlu dikedepankan oleh bank. Dukungan pemerintah, dorongan bank sentral (BI), dan kesadaran masyarakat sudah pasti merupakan komponen pelengkap keberhasilan membudayakan uang elektronik ini.