Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Syahadat: Revolusi Kesadaran

12 Maret 2013   14:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:55 133 0
Asyhadu an-laa ilaaha illallaah

Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah

Akhir - akhir ini telintas dipikiran (berusia 27 tahun, dan baru - baru ini terlintas? sebelumnya ngapain saja?) tentang dua kalimat Syahadat yang merupakan Rukun Pertama dari Lima Rukun Islam. Bahwa dua kalimat syahadat di atas dapat diartikan sebagai evolusi kesadaran manusia dari Kekosongan menuju Kepenuhan. sebuah siklis sempurna, namun biner makna.

Siklus evolusi tersebut, dapat diuraikan dalam tiga fase:

- Laa Ilaa

- ha Illallah

- Muhammadan rasulullah

Fase Laa Illaa

Fase pertama dalam rangkaian evolusi kesadaran. Ini adalah fase terbawah sekaligus gerbang menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Laa Illaa dapat diartikan tiada tuhan. Kosong. Sebuah kesadaran akan kekosongan, ketidak-eksis-an tuhan dalam wujud apapun. Evolusi kesadaran pada tingkat ini, orang pintar menyebutnya atheis (a= tidak, theis= tuhan). kesadaran yang athiestik. Orang athies menyadari bahwa tuhan hanyalah simbol yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Istilahnya, manusia menuhankan sesuatu, sehingga sesuatu itu dianggap sebagai tuhan. bahasa kerennya: berhala. Baik berhala dalam wujud yang paling sederhana sampai berhala yang paling canggih yang semua itu adalah cipta rasa dan karsa manusia yang kemudian dituhankan, contoh: idola, karya seni, uang, jabatan, sains, sistem filsafat, ideologi, dst. Disini, Kesadaran atheis menempatkan diri.

Dari fase pertama, seseorang dapat lulus, dapat pula tidak. yang tidak kunjung lulus, berarti masih berkesadaran atheis. yang berbahaya adalah ketika kesadaran itu terfiksasi (berhenti berkembang pada fase atheis saja) dan tidak memuai ke kesadaran berikutnya: ha Illallah (Selain Allah).

Fase ha Illallah

Fase kesadaran ini berdiri diatas konstruksi kesadaran sebelumnya, sehingga penjelasan kesadaran ini harus digabungkan dengan kesadaran Laa Illa. Jika fase ini digabungkan dengan fase sebelumnya, maka bacaannya menjadi Laa ilaaha illallaa. Tiada tuhan selain Allah.

Individu dengan kesadaran ini telah sampai pada suatu pemahaman akan eksistensi Tuhan (dengan "T" besar) yang melampaui tuhan - tuhan ( dengan "t" kecil, untuk tidak menyebut sebagai tuhan berhala) yang telah disangkalnya dalam kesadaran atheistik.

Penulis percaya, bahwa Allah senantiasa memanggil-manggil manusia untuk selalu menuju kembali padaNya. Sebagaimana manusia yang sejatinya mempunyai kemampuan untuk menerima dan menyadari panggilan tersebut melalui hati kecil mereka. Hanya saja, apakah setiap manusia mempunyai kesiapan untuk menerima isyarat dari Allah? Manusia yang baru sampai tingkat kesadaran Laa Illa belum mampu menerima isyarat ini (atau telah mampu menerima isyarat, tetapi salah dalam memaknai isyarat tersebut), tetapi pada manusia yang telah memuai melampai kesadaran tersebut, mereka mampu menangkap isyarat yang dikirimkan Allah melalui hati kecil, dan memaknainya dengan benar. Sehingga dapat dikatakan kesadaran pada level ke-dua manusia mampu melampaui, mengkritisi, mengevaluasi tuhan – tuhan berhala, dan menangkap sinyal – sinyal tentang adanya Yang Wujud, Yang Maha melampaui tuhan - tuhan kecil. Pada kesadaran ini pula, dalam sejarah umat manusia, dapat kita pahami bagaimana agama – agama dan berbagai aliran kepercayaan lahir: Kesemuanya mengkonfirmasi akan kehadiran Tuhan, walaupun dalam istilah dan artikuasinya berbeda - beda.

Tetapi kesadaran akan Tuhan bukanlah akhir karena hal tersebut masih menyiratkan dikotomi manusia-Tuhan. Kesadaran tersebut belum sampai pada level transenden dimana manusia telah selesai dengan dirinya sendiri dan kembali menyatu dalam kehendakNya.



Fase Muhammadan rasulullah

Individu yang telah selesai dengan fase ke-dua dan tidak didera fiksasi, kesadarannya memuai sampai pada kesadaran ke-tiga: Muhammadan rasulullah. Fase inilah yang menegaskan Teologi Islam dan membedakannya dengan Agama lain. Fase ini ditandai dengan pengakuan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah.

Untuk memahami fase ini, penulis menjelaskan melalui dua sub-fase yaitu: (1) Muhammad dan (2) Muhammadan Rasulullah. Sub-fase pertama menguraikan Muhammad sebagai personal dan imanen, sedangkan sub-fase kedua Muhammadan Rasulullah yaitu Muhammad sebagai transpersonal dan transenden.

Sub-fase pertama menyiratkan bahwa Muhammad juga manusia biasa yang terikat oleh hukum-hukum fisiolois, biologis, dst, sama seperti manusia lainnya. Tetapi dalam imanensinya tersebut, Muhammad menunjukkan diri sebagai personality yang kuat melawan dorongan – dorongan wadag. Pribadi yang berintegritas. Intinya, Muhammad mampu menguasai dirinya –Selesai dengan dirinya. Pada titik ini, Muhammad merealisasikan dirinya menjadi Rasulullah. Transformasi dari yang personal menjadi transpersonal, dari yang imanen menjadi transenden.

Pada titik ini, kepentingan transpersonal mengambil alih kepentingan – kepentingan personal Muhammad. Kepentingan – kepentingan yang tidak berorientasi pada diri personal, tetapi pada kepentingan seluruh makhluk, ini berarti ibadah horizontal. Pada titk ini pula, Muhammad memuai melampaui dikotomi manusia-Tuhan dengan mentransendensikan diri, meleburkan diri dalam KehendakNya ini juga berarti ibadah vertikal.

Bertolak dari penjelasan dua sub-fase tersebut, kesadaran fase ketiga berdiri diatas dimensi personal dan imanen yang masih eksis dalam kesadaran fase ke-dua. Kesadaran tingkat ke-tiga baru dapat dialami jika individu telah selesai dengan probem diri personal dan imanensinya sebagaimana Muhammad. Sedangkan kesadaran tertinggi, adalah kesadaran yang melampaui imanensi dan personalisasi untuk “menyatu” dengan kehendakNya yang telah dibisikkan ketika didalam kandungan.

Fase ketiga juga menyiratkan bahwa untuk menuju padaNya, jalan terbaik adalah Melalui teladan Muhammad sang kekasih Allah. Kisah Muhammad baik Muhammad sebagai pribadi maupun sebagai Rasulullah, adalah petunjuk kunci menuju kesadaran tertinggi (The highest consciousness).

--

Dengan Menyadari adanya evolusi kesadaran itulah, sehingga terdapat kalimat “aku bersaksi” dalam dua kalimat Syahadat. Hal menarik yang patut kita renungkan pula, diksi yang dipilih dari kalimat Syahadat bukanlah “kesadaran” namun “kesaksian”. Adakah perbedaan substansial dari keduanya?

Terakhir, yang terkait dengan dua Kalimat Syahadat, adalah mereka yang sejak lahir Muslim, dan mereka yang Mualaf. Apakah yang sejak lahir muslim memahami evolusi kesadaran (atau kesaksian?) lebih baik daripada yang mualaf? Atau sebaliknya?

Wallahu a'lam

written by _haris

* terinspirasi oleh Muhammad Ainun Nadjib

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun