Padahal pelanggannya lumayan ramai. Apa boleh buat, tapi itu sepertinya tidak mengurangi penggemar nasi uduk Bu Lia. Hanya pandemi yang kemudian membuat tidak ada lagi yang mau makan di tempat, hampir semua dibawa pulang.
"Berapa sih Bu, modal bikin gerobakan begini?" Saya memancing pembicaraan di pagi yang diselingi gerimis itu. Dia tersenyum kecut.
"Ya pas pindah ke sini adalah kena lima setengahan," Katanya sambil mengacungkan kelima jarinya.
"Buset apa aja itu?" Tanya saya keheranan.
"Paling banyak beli gerobak kan. Terus alat-alat. Bahan masakan. Minta izin ini itu. Dicari-cariinlah. Daripada kehilangan mata pencarian," jelasnya.
"Kenapa ga coba minta modal dari Bank? Kan zaman pandemi gini banyak bantuan ringan dari pemerintah?" Selidik saya.
Bu Lia melanjutkan mengaduk penggorengannya, wangi tempe goreng menyambangi hidung saya. Hmmm...
"Ribet mas, syaratnya ini itu. Apalagi kalau minta bantuan untuk modal usaha, katanya mesti punya catatan keuangan dan rencana bisnis dulu. Manalah orang seperti kita ini ngerti. Yang kita tahu ya melanjutkan hidup, jual dan beli."
Saya mengangguk-angguk.
"Lah kalau pinjaman online gitu kan ada? Toh ibu punya HP, tinggal download," tanya saya lagi.
"Aduh biyung jangan, Mas. Udah banyak teman-teman saya yang kejerat. Sekali udah kena, minjam terus. Giliran bayar, bunganya gede banget. Bingung. Tapi udah kecanduan minjem online."
Saya langsung teringat kisah teman saya lainya yang karena nekat bikin pinjaman online dan terus-terusan gali lobang tutup lobang, terpaksa menjual rumahnya karena tidak tahan diteror debt collector. Nah Bu Lia saja tidak punya rumah, cuma mengontrak. Tentu resiko gagal bayar akan menghantui hidupnya.
"Pegadaian gimana? Udah Ibu coba?"
Bu Lia tertawa panjang. Tidak pernah saya lihat dia selepas itu. Mungkin pertanyaan saya begitu lucu di telinganya.
"Kok ketawa, Bu?" Tanya saya.
"Ya apa yang mau digadaikan, mas.. mas.. Barang pun saya udah ga punya. Ada juga motor butut juga buat dipake si Bapak kerja. Nyaris ga ada harganya. Berhasil digadai pun, nanti ga berhasil nebusnya, mau kerja apa lagi?" Jawabnya.
Saya jadi ikutan tertawa. Iya juga ya. Begitu konyol pertanyaan saya yang kurang sensitif melihat kondisi real Bu Lia. Seperti juga kebanyakan teman-teman saya di media sosial kalau sudah berdebat dan berdiskusi soal usaha kecil-kecilan seperti Bu Lia ini. Terlalu menggampangkan ini itu, seolah dengan satu solusi bantuan lalu mereka pasti bisa sukses dan naik kelas jadi pengusaha jempolan yang bisa menghidup banyak karyawan.
Wong menghidupi dirinya sendiri saja dengan jualan nasi uduk, Bu Lia ini sudah ngos-ngosan.
Problem pengusaha kecil-kecilan seperti Bu Lia ini kompleks. Bukan sekedar bantuan kecil dengan bunga super ringan saja. Bukan masalah akes keuangan yang dipermudah dengan teknologi saja. Tidak pula bisa diselesaikan dengan segampang menggadaikan barang. Bukan pula sekedar dikasih bimbingan supaya bisa membangun bisnis yang terstruktur dan rapi saja.
Mereka butuh semuanya. Dan kebutuhan ini berbeda-beda di antara sekian juta rakyat kecil kita yang saat ini sedang struggle di tengah himpitan pandemi.
Saya jadi teringat niat Pak Jokowi yang ingin usaha yang lebih tepat disebut ultra mikro (saking kecilnya) ini. Tiga BUMN yang sudah berpengalaman membantu mereka akan disinergikan dalam satu holding, holding Ultra Mikro. BRI misalnya bisa dengan mudah membantu mereka dengan limpahan dana pinjaman yang besar cadangannya, dan diberikan bunga super lunak. Masalah pencatatan dan pelaporan usaha, bisa ditangani Permodalan Nasional Madani, yang memang spesialisasinya mendampingi pengusaha kecil, bukan sekedar tabur duit saja.
Nah giliran usahanya mulai sukses dan berkembang, pedagang kkecil ini akan mulai menabung aset dan investasi. Pegadaian bisa berperan membuatnya liquid, bisa "disekolahkan" sewaktu-waktu mereka butuh modal untuk bisa naik kelas, atau sebaliknya saat kepepet.
"Ya udah bu, makasih ya," kata saya menutup bincang-bincang itu. "Nasi uduknya tetap enak sampai sekarang."
Senyum Bu Lia mengambang, walau saya tahu sebenarnya dia sedih dengan kondisi hidupnya. Tapi apapun itu, kita memang harus berjuang bersama-sama. Dengan tidak jalan sendiri-sendiri, kita akan lebih berdaya.