Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Keep on Smiling, Anna!

3 April 2011   05:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:10 199 0
Perkenalkan namaku Anna Karenina. Ayahku yang menamakannya. Entah kenapa ayahku sangat senang dengan segala sesuatu berbau Rusia. Negara Eropa timur itu seolah menjadi kiblatnya. Konon ayahku pernah dipenjara karena kecintaannya ini. Tentang partai komunis, tentang Leninisme, Karl max, atau faham-faham yang lain aku tidak tahu dan tidak mau tahu, menyebutkannya ini saja aku sering salah. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan ayahku, kenapa ayahku dipenjara, semua serba abu-abu, membuatku pusing dan aku tak mau ambil pusing.

Untuk karya sastra, ia cinta mati dengan Lev Nikolayevich Tolstoi yang terkenal dengan nama Leo Tolstoi. Anna Karenina adalah nama tokoh cerita yang juga menjadi judul novelnya. Setelah membaca novelnya, aku heran kenapa ayahku menamakan dengan Anna Karenina, bukankah ia seorang istri yang menyeleweng dan mati bunuh diri? "amit-amit!" kataku sembari jariku kugenggam dan mengetukkan ke meja tiga kali, yang kata orang, untuk menolak tulah.

Dikala senggang, dengan fasih ayahku akan bercerita tentang esai-esai Lev, "Dalam apa terkandung kepercayaan saya", "Kerajaan Tuhan ada dalam diri saya", juga cerita panjang, "Catatan pangeran Nekhlyudov", sepertinya ia begitu mendalaminya. Ia dengan panjang lebar akan mengulasnya. Diam-diam dalam hati ini ada rasa kekaguman yang besar akan ayahku.

Aku dibesarkan dengan segala kasih yang ada. Aku tinggi, langsing, cantik, pintar, hanya, tidak kaya. Dengan cap mantan napi pulau Buru siapa yang akan mempercayai ayahku, siapa yang akan memperkerjakannya? apalagi menjadi pegawai negri, menggantang asap! Untuk bekerja mandiri butuh modal, sedangkan ayahku dipenjara puluhan tahun sejak dari belia, modal dari mana? Untung saja masih ada yang mau dia peristri. Seperti cerita-cerita klasik, ibuku penjahit dan ayahku mengerjakan apa saja, tukang apa saja asalkan halal. Untungnya lagi aku anak tunggal, nafas orang tuaku tidak harus 'senin-kamis' untuk membesarkan aku.

Aku sangat menyukai masa kanak-kanakku. Semua terasa ringan. Seingatku tidak ada satu haripun terlewatkan tanpa tertawa. Atau aku yang terlalu polos untuk merasakan cibiran orangtua teman-temanku, atau mereka belum tega memisahkan anak-anak mereka dari aku yang pandai menyanyi, menggambar dan sudah lebih dulu bisa membaca buku cerita dibanding anak-anaknya.

Kuingat tiap sore ada saja temanku yang membawa buku cerita dan memintaku untuk membacakannya. Rasanya senang sekali melihat mereka terpingkal-pingkal ketika aku bercerita dengan mimik, suara dan intonasi yang aneh. Sebenarnya kalau boleh, aku ingin berhenti di masa kanak-kanakku saja, jangan sampai kulewati masa SMP apalagi masa SMA yang menyakitkan itu. Kadang aku menangis sendiri di malam hari mengingat perlakuan guru yang menganaktirikan aku. Misalnya, sudah jelas aku yang lebih unggul, kenapa runner up-ku yang diutus ke lomba untuk tingkat yang lebih tinggi hanya karena aku anak seorang narapidana? Ada beberapa teman yang bersimpati padaku, menghiburku, tetapi lebih banyak yang melihatku dengan sunggingan bibir yang miring.

Apa salahku? aku bahkan belum lahir ketika ayahku dipenjara. Kadang aku menyesali langkah ibuku yang menikahi ayah. Tapi kadang aku juga kagum akan cinta ibu yang menihilkan segala kendala untuk mewujudkan impiannya berkeluarga bersama ayah. Kalau ibu tidak menikah dengan ayah, aku mungkin juga tidak setinggi ini, tidak pandai bernyanyi, tidak pandai menggambar, juga tidak senang membaca. Semua kudapat dari ayahku, dengan caranya sendiri dia menyemangati aku, mendorong aku untuk maju. Walau dia mantan narapidana, aku bangga padanya.

Pernah suatu malam aku ketahuan ayah menahan isak tangisku, tetapi ayah tidak mendekatiku, memelukku atau mendekapku, melainkan ia hanya membuka jendela yang persis  ada disampingku, ia buka lebar-lebar dan mulai menyanyikan lagu gubahan Charlie Chaplin, Smile ...

"Smile, though your heart is aching
Smile, even though it's breaking
When there are clouds in the sky
you'll get by
If you smile through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll see the sun come shining through
for you


Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile what's the use of crying
You'll find that life is still worthwhile
If you'll just
Smile ..."


Setelah selesai, ia menutup jendela lagi, tanpa memandangku, dia menepuk bahuku seraya berkata "tegar ya nak..." kemudian dia berlalu dan menghilang di balik gordyn kamarnya.

Itu kejadian 10 tahun yang lalu, mulai saat itu aku memang benar-benar tegar, bahkan aku tersenyum dan mengucapkan selamat jalan untuk ibuku yang meninggal karena kanker payudara. Aku tetap tabah walau untuk membiayai rumah sakit ibuku, harus kehilangan rumah mungil kami dan meskipun dengan penjualan rumah itu tidak bisa memanjangkan usia ibuku.

Setahun yang lalu aku juga tersenyum mengantar kepergian ayahku yang memang sudah sepuh, walau aku kehilangan satu-satunya guru yang benar- benar mendidik dan membimbing dengan kasih. Aku mengikhlaskannya, apalagi waktu itu aku sudah berkeluarga dan dikaruniai seorang anak yang dapat mengurangi kepedihanku.

Aku sekarang akan bercerita tentang kehidupan cintaku. Seperti yang sudah aku ceritakan, hanya sedikit yang mau menjadi temanku, salah satunya Erni. Kami sangat akrab, semua yang kualami dan kurasakan kuceritakan kepadanya, begitu juga dengan dia. Suatu hari, ia memperkenalkan seorang lelaki bernama Johan, diakuinya sebagai pacarnya. "I'm happy for you" kataku dengan tulus. Sementara dalam hati yang teramat dalam ada tanya, "kok bukan milikku ? aku juga ingin punya pacar..". Tapi hanya sebatas itu, keinginanku untuk punya pacar ku-kubur dalam- dalam. Bukan aku tidak percaya diri tetapi aku tahu diri siapa aku, dan memaklumi jika tidak ada yang berani serius denganku melihat aku anak siapa. Setelah lulus SMA, aku tak tahu lagi kabar  mereka. Beberapa tahun kemudian, aku bertemu Johan kembali. Katanya dia married dengan Erni tetapi kandas setahun kemudian. Setelah pertemuan itu, dia intens mendekatiku. Dari tanpa ada rasa apa-apa, melihat keseriusannya dan ketidakpeduliannya akan statusku, akhirnya gayung bersambut. Saat itu aku sudah mandiri, kumanfaatkan kepandaianku menggambar dengan bisnis kaos online. Aku juga sudah mempunyai rumah karenanya. Sedangkan Johan berbisnis beli tanah dan membangunnya menjadi rumah tipe kecil kemudian menjualnya. Karena merasa cukup modal untuk membangun rumah tangga, dan mengingat usiaku sudah tidak muda lagi, kami putuskan untuk menikah. Aku sangat terharu di hari perkawinanku karena ayah terlihat sangat bahagia melihat aku bersanding dengan Johan. Air matanya menetes, mungkin ia teringat almarhumah ibuku. "Ah seandainya...", tapi pasti ibuku di surga juga bahagia melihatku.

Setelah menikah aku dan Johan tinggal di rumahku karena aku tidak tega meninggalkan ayah sendirian. Lagipula rumah Johan adalah rumah dagangan, aku tidak mau berpindah rumah setiap saat rumahnya laku. Suatu saat, Johan meminjam sertifikat rumahku untuk diagunkan ke bank sebagai tambahan modal usahanya, akupun mengiyakan  mengingat selama ini ketika rumah belum laku, pemasukan dari Johan tidak ada, hanya mengambil dari tabungannya yang tidak banyak. Apalagi kami baru saja dikaruniai seorang putra yang tentunya butuh biaya tambahan yang tidak sedikit.

Beberapa bulan yang lalu suamiku pulang dari proyek agak pagi. Belum sempat menutup pintu dia sudah berteriak memanggilku. Dengan suara terbata-bata dan mata berkaca-kaca ia bercerita kalau tanah yang ia bangun sekarang adalah tanah sengketa. ia dibohongi rekan bisnisnya yang sekarang kabur. Aku syok! pikirku langsung ke rumahku yang kubeli dari masih lajang... uangnya kukumpulkan  dari sen demi sen terancam hilang. Aku langsung tidak bisa berkata apa-apa, otakku beku, tidak bisa bertanya kenapa bisa ditipu dan sebagainya, aku hanya bisa menangis. Kami membisu beberapa saat. Masih segar dalam ingatanku suamiku juga menangis, tapi kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ma, ini waktunya Ardian pulang sekolah,  mama istirahat dulu biar papa yang jemput" katanya halus sambil mengusap rambutku. Aku sampai terlupa kalau sudah waktunya harus menjemput anakku di Taman Bermain. Aku mengiyakan dan ia meminta Susi pembantuku membuatkan aku teh hangat agar agak bisa lebih tenang.

Sampai sore aku menunggu suami dan anakku belum juga datang. Mungkin jalanan macet, hiburku. Ah, kenapa tidak kutelepon saja? pikirku kemudian ... "kalau pikiran baru kalut memang hal yang mudah kadang tak terpikirkan", batinku. Aku telepon HP suamiku, nada tulalit, mungkin baru menyetir dan HP dimatikan. Kemudian kutelepon Hp guru yang mengajar Ardian, katanya sudah dijemput tepat jam 12.15, jam pulang sekolah. Kutelepon lagi suamiku, kembali nada tulalit yang kudengar...semakin kucecar tombol teleponku, semakin was-was hatiku.. .kenapa dan kenapa berkecamuk dalam pikiranku. Tiba-tiba seperti ada bisikan dalam hati kecilku, "sabar....sabar.... positive thinking, mungkin mobil mogok dan baterai hp suamimu habis atau coba saja telepon rumah sakit yang ada di rute  sekolah ke rumah, siapa tau ada kecelakaan kecil yang mengharuskan dia ke sana atau telepon polisi di wilayah itu... pikiran suamimu kan juga tidak fokus, siapa tahu kemudian melanggar aturan lalu lintas". Aku kemudian mengikuti bisikan itu, tetapi hasilnya nihil. Aku kemudian menghubungi nomor telepon teman-temannya yang kutahu, mereka mengaku tidak tahu dimana suami dan anakku berada.

Hari semakin malam. Aku mondar mandir  tidak karuan. Orang tua tak punya, saudara tak punya, mertua juga tak punya, kepada siapa lagi aku mengadu? Hanya suami dan anak yang aku punya dan sekarang tak tentu rimbanya. Sampai tengah malam aku tidak bisa tidur. Aku kemudian keluar kamar dan duduk di teras. Aku tak peduli lagi akan maling atau rampok yang akan menyatroniku. Kembali aku berusaha menghubungi suamiku dan hasilnya tetap sia-sia. Bagaimana dengan Ardian? sehatkah ia ... sudah makankah ia, aku mulai melamun. Kemudian aku dikagetkan dengan Susi pembantuku yang entah sejak kapan sudah bersimpuh di dekat kakiku. Aku heran. Seperti jaman feodal, aku tidak mengajarinya untuk duduk seperti itu denganku,  maka aku menyuruhnya duduk disampingku. Bukannya menuruti permintaanku, dia malah menangis memeluk lututku.

"bu, maafkan saya..."

"Apa sih ini Sus?" tanyaku heran bersemu risih

"Saya berdosa sama ibu.."

"jangan mambahi pikiran ibu dong, udah tahu baru 'bunek' gini"

"Ya karena itu bu saya mohon maaf...saya khilaf.."

"maksudnya?" aku mulai gusar karena tidak tahu arah pembicaraannya.

"Saya sebenarnya sudah tahu dalam minggu ini bapak akan pergi dengan mas Ardi dan tak akan kembali lagi" jawabnya lirih.

"Ngomong yang jelas Sus, maksudmu apa?" pintaku mulai tak sabar.

"Sejak ayahnya ibu masuk rumah sakit, ibu sering ke rumah sakit dan sering menginap disana. Ketika ibu pergi, bapak mengajak seorang ibu ke rumah ini. Mas Ardian memanggil dengan tante Erni."

"Erni siapa?" potongku tak sabar, tapi mengira-ira apakah Erni temanku yang  mantan istrinya?

"Tidak tahu bu, Kelihatannya dia sudah akrab dengan bapak dan mas Ardian. Dia yang mengasuh mas Ardian, mulai dari menyuapi sampai mengajaknya bermain, mas Ardian tidak boleh cerita ke ibu, kata bapak ke mas Ardi, katanya kasihan ibu capek mengurus kakeknya Ardi. Kalau berhasil tidak memberitahu ibu, mas Ardian akan dibelikan apa saja yang dia mau"

"Ayah meninggal sudah setahun yang lalu, apa setahun ini yang namanya Erni itu masih suka ke sini?" potongku menyelidik.

"Kadang-kadang sih bu tapi kalau pas ibu tidak ada, pas belanja kaos dagangan atau ke tempat sablon" jawab Susi takut-takut.

"Kenapa kamu tidak lapor ibu, apa kamu juga dijanjikan diberikan apa saja seperti Ardian?"

"Enggaklah bu...", katanya mengelak.

"Jujur! kamu diberi apa sama bapak? nggak mungkin kamu enggak diberi apa-apa... apa kamu diancam?" sergahku tanpa basa-basi karena sudah mulai tidak bisa menahan emosi.

Susi diam sejenak, kemudian dengan menangis sesunggukan dia berujar, "gaji saya dilipat duakan, bu...", setelah itu dia menubruk lutut saya kembali dan menangis keras. Gara-gara uang dia bisa mengkhianatiku, orang yang percaya kepadanya, yang ia ikuti bertahun-tahun sejak aku belum menikah, aku sangat kecewa, aku akan marah besar, tetapi aku ingat pesan ayah dalam lagunya, hadapi dengan senyum, sabar.

Lalu kupegang pundak Susi dengan pelan, kupegang dagunya dan kutengadahkan. Tapi tiba-tiba wajah Susi berubah menjadi wajah suamiku yang menyeringai dan tertawa mengejekku. Secara reflek kuayunkan lututku ke depan mengenai mukanya, kemudian menendangnya. Belum puas, aku mengambil bangku jati tebal disampingku. Entah kekuatan apa yang merasukiku, tetapi aku kuat mengangkatnya dan melemparkan kearahnya. Sosok di depanku berteriak-teriak histeris, tetangga datang berhamburan.

Tetapi anehnya aku tidak lagi melihat mereka, yang terbayang hanya wajah ayahku yang teduh dan menyanyi untukku "... smile...", akupun tersenyum dan tanpa terasa bersenandung meneruskan lagunya ... tak kuhiraukan lagi suara wanita didepanku ..., "Dok, pasien mulai bernyanyi lagi, sebentar lagi pasti mengamuk ..."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun