Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku Taruh Rinduku di dalam Do'a

6 November 2013   20:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:30 150 0

Teruntuk Papaku,

Pa, kenapa kau tak menjawab teleponku? Aku bukan mau minta uang. Aku bukan merengek minta agar papa belikan gadget baru. Aku cuma ingin bertanya, papa di sana sedang apa? Apa kabar papa hari ini baik? Aku berharap papa bertanya balik padaku. Tanyakan juga aku sedang apa dan bagaimana hariku.

Pa, kemana kebahagiaan kita dulu? Kemana kita yang selalu kemana-mana bersama, berlima? Papa, mama, aku, kakak dan adik. Kemana kita yang saat tidak punya beras berkumpul di ruang makan dan berdoa bersama. Berdoa pada Yang Mahakuasa agar besok cilok dagangan papa habis. Berdoa agar besok, paling tidak mendapatkan sedikit kelebihan rezeki agar aku dan adik bisa diberi jajan untuk sekolah. Lalu setelah berdoa kita semua tertidur di kamar masing-masing. Meski perut lapar, tapi kita masih bahagia karena kita bersama. Papa yang didampingi mama dengan setia, dan aku yang dengan bangga bilang, “Aku masih punya orangtua.”

Pa, aku juara lomba puisi. Juara pertama. Kata Ibu guru bahasa Indonesiaku, aku bisa menjadi pembaca puisi berbakat. Papa tahu, aku senang ketika ada orang yang melihat penampilanku dan bertepuk tangan untukku. Tapi papa tidak datang saat itu. Papa tidak melihat betapa wajahku dihiasi kebahagiaan yang seolah sempurna. Papa tidak melihatnya, karena papa tak ada.

Pa, berapa banyak waktu yang kita habiskan bersama? Untuk hidup bersama? Untuk saling menguatkan dan menjaga. Berapa banyak pertanyaan yang pernah papa tanyakan padaku? Berapa banyak hal yang pernah papa ceritakan mengenai hobi menulis papa sewaktu masih sekolah dulu? Berapa sering papa datang ke kamarku, untuk mengoleskan obat nyamuk lotion dan mengangkat bantal yang menutupi kepalaku? Berapa banyak teman-temanku yang pernah papa ajak bicara dan bercanda mengenai keanehanku?

Pa, 2.920 hari papa sudah meninggalkan aku, kakak, adik dan mama. Aku tak pernah bertanya mengapa, kan? Karena ada seseorang yang pernah mengatakannya padaku, jika aku jangan berusaha mencari jawabannya. Ada dua kesimpulan. Takut aku tak puas dengan jawaban yang ku dapat, dan takut aku kembali menyalahkan Tuhan.

Pa, aku lelah harus menangis karena alasan yang sama. Aku capek harus membahas masalah yang itu-itu saja. Aku sudah bosan harus mencari dan menanti. Tidakkah papa berpikir aku masih terlalu muda untuk semua ini?

Pa, pacarku kembali meninggalkanku. Entah sudah ke berapa kali. Aku malas menghitungnya. Alasannya sama. Aku membosankan untuk mereka. Aku tak mau diraba-raba. Aku tidak mau diajak tidur bersama. Aku tidak mau membuka kancing bajuku di depannya.

Pa, kehilanganku atas kehadiranmu membuatku bertahan dengan keadaan yang ada. Meski pun kau tak pernah sekali pun bertanya lebih dulu padaku atau meneleponku saat hari-hari penting, tapi aku tahu kau mencintaiku. Kau sangat sayang padaku. Kau sangat mengkhawatirkan aku ketika aku kecopetan. Kau sangat marah ketika ada orang yang akan berlaku kurang ajar. Kau sangat kecewa padaku saat aku mengatakan betapa bencinya aku padamu dan tak ingin melihatmu hidup. Aku tahu, pa. Semuanya tanpa perlu kau mengatakan itu. Tapi apa hanya sekadar tahu? Tidak inginkah kau membaginya padaku? Menceritakannya langsung, mengatakannya sendiri? Pa, hatiku sakit sekali sekarang.

Pa, aku kangen padamu. Kangen pada wajahmu yang kini mulai keriput dan berkerut. Kangen pada suara menyebalkanmu ketika menggoda aku, kakak atau adik. Kangen pada marahmu ketika kami melakukan hal-hal ceroboh.

Pa, aku sebetulnya ingin mengatakannya padamu. Tapi tidak bisa. Karena kau tak mau menjawab teleponku. Pa, tengoklah kakak. Dia sedang membutuhkan papa saat ini. Dia sedang ingin bercerita panjang lebar pada papa sekarang. Kami tidak minta uang, pa. Tapi minta dukungan. Kami bukan minta dikasihani, tapi disayangi. Fisik papa yang datang, bukan hanya ucapannya.

Pa, aku sudahi saja ya pesanku ini. Papa selalu bilang tulisanku tidak sebagus tulisan kakak. Tapi papa pernah bilang bangga karena kini aku sudah menjalani mimpiku sebagai penulis. Aku sangat rindu suaramu yang menguatkan kami itu.

Pa, tetap sehat dan baik-baik saja. Jadilah waliku saat aku menikah nanti. Jadilah saksi ketika aku melahirkan nanti. Jadilah Opa yang mau menuntut cucunya bermain. Seperti yang papa lakukan dulu ketika aku masih kecil.

Pa, sudah, ya. Aku harus membasuh wajahku dulu dengan air. Soalnya sudah sejak sore tadi aku membasahinya dengan air mata.

Regards

HL

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun