Berhari-hari Mey tak nafsu makan. Bahkan untuk sekadar memejamkan mata pun, ia tak mampu. Bayinya hilang, begitu kata suaminya. Mey sudah melapor ke polisi atas kehilangan bayinya. Namun, masih saja tak ada petunjuk.
Mey mulai putus asa. Tubuhnya mulai menyusut, sedang rambutnya acak-acakkan. Mohan merasa iba, sebuah perasaan yang tak pernah ia rasakan selama menikah dengan Mey. Selama ini Mohan acap kali abai dengan segala kerepotan istrinya, pun dengan tega laki-laki itu membiarkan istrinya menangis saat hamil karena ulahnya. Sungguh, Mohan takut mengaku.
Sementara itu kehilangan telah memupus kesadaran Mey. Kadang-kadang ia meracau, berteriak-teriak, dan memukul-mukul Mohan.
"Kembalikan, anakku! Kamu bajingan!" teriak Mey, sementara Mohan menahan diri agar tak membalas pukulan Mey. Mey betul-betul sudah hilang akal. Ya, memang belum sepenuhnya, hanya separuh.
Mey menangis histeris. Bayangan masa lalu saat diculik kembali menghantuinya. Mey menggelengkan kepalanya, berharap bayangan itu segera lenyap dalam pikirannya.
 Tiba-tiba dari kejauhan Mey melihat bayinya tengah berbaring di atas ranjang, lalu merangkak hendak turun. Ketika mengetahui bayinya akan jatuh, Mey segera berlari dan hendak melompat menyelamatkan bayinya. Tatkala ia melompat, bayi itu telah hilang dalam pandangannya. Mey terduduk lemas. Ia memeluk lututnya.
"Molly, kamu di mana, Nak? Maafin mama, harusnya mama tak pernah meninggalkanmu." Perempuan muda itu meratap penuh duka. Tak lama kemudian sorot matanya berubah tajam, terlihat amat mengerikan. Bagai hantu perempuan, dengan mata semerah darah. Mata itu menatap nyalang pada laki-laki yang berdiri di depan pintu.
"Aku akan membunuhmu. Tunggu dan lihat saja!" ancam Mey yang sekarang telah berdiri sembari menunjuk-nunjuk dengan menampakkan wajah murkanya. Seketika Mohan bergidik ngeri. Laki-laki berbadan tegap itu pun langsung teringat dosa-dosanya. Hatinya ingin berkata sejujurnya, akan tetapi pikirannya melarang.
"Mey akan meninggalkanmu ... dan kau akan membusuk di penjara!" Mohan pun urung berkata jujur, lalu lebih memilih menjauhi Mey.
***
Sudah beberapa hari ini Nyonya Raya bolak-balik ke kantor polisi. Ia ingin para polisi bergegas mencari cucunya, dan kalau perlu menyiapkan tim khusus.
Belajar dari kasus penculikan yang menimpa putrinya dahulu, Nyonya Raya memutuskan tidak hanya mengandalkan polisi saja. Ia akan menyewa semacam detektif dan menyuruh orang untuk menyelidiki Mohan dan keluarganya.
Nyonya Raya cukup tertekan dengan adanya kasus kehilangan cucunya. Ditambah pula dengan keadaan putrinya yang hampir separuh gila, sama seperti dirinya dahulu.
"Khasian, kamu, Nak! Maafin ibu, dulu selalu memarahimu dan bahkan tanpa sadar menyumpahimu. Sungguh, ibu tak pernah sengaja, Nak!" Nyonya Raya menangis tersedu-sedu. Namun, tak lama. Otaknya segera bekerja keras.
"Kasus cucuku kurang ditanggapi polisi. Apa mungkin karena tidak viral?" gumam wanita tua yang masih memperlihatkan raut cantiknya itu. Otaknya kembali bekerja keras, kali ini lebih keras lagi.
"Lihat saja, akan aku viralkan! Bisa apa kalian dengan kekuatan netizen?" cemoohnya.
 Nyonya Raya mengambil ponselnya, lalu menelpon seseorang.
"Syad, saya punya informasi yang cukup penting." Nyonya Raya segera mematikan ponselnya, lalu tersenyum sinis, "Habislah, kalian!"
***
Malam yang teramat dingin bagi Mohan. Padahal suhu ruangan masih sama hangatnya seperti malam-malam sebelumnya. Ya, tubuh lelaki anak konglomerat itu mendadak sedingin es batu setelah membaca artikel di layar ponselnya.
"SEORANG BAYI HILANG BERHARI-HARI, DICULIK ATAUKAH ...?"
Rupanya artikel itu tak hanya satu, ada pula artikel lainnya yang hampir serupa. Namun, dikemas dengan lebih baik, "POLISI TAK CEPAT TANGGAP, SEORANG IBU PERTANYAKAN NASIB BAYINYA"
Seketika dua artikel tersebut mendapatkan ribuan tanggapan dan komentar dari para netizen. Beramai-ramai mereka membuat tagar #SaveMolly, #MollyDimana, #MamaKangenMolly, Â #CariMolly, dan #JusticeForMolly.
Mohan lemas bukan main. Meski namanya tak disebutkan, akan tetapi hati kecilnya berontak. Bagaimana mungkin seorang ayah tega mencelakai anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri? Maka saat itu juga, Mohan segera menghampiri Mey yang tengah tertidur sembari memeluk baju bayinya. Mey tak berniat tidur, akan tetapi kelelahan telah membuatnya terlelap tanpa permisi.
Hati-hati sekali Mohan menyentuh pucuk kepala Mey. Lalu menciumnya pelan. Tanpa diduga air mata tumpah jua dari pelupuk matanya.
"Mey ...," bisiknya pelan. Mey menggeliat. Wanita beranak satu itu mengucek matanya, tak percaya dengan penglihatannya; suaminya berkata lembut dan membelai rambutnya.
"Mey ... sayang," desah Mohan, Mey semakin heran. Mohan mengambil tangan istrinya, lalu menyelipkan jemarinya di sana.
"Mey, tolong dengarkan aku sebentar saja. Tolong pahami posisiku ...." Mey menyimak dengan raut keheranan.
"Aku tahu ini berat ...." Mohan menggantungkan kalimatnya untuk mengambil napas lebih banyak agar membuatnya tenang.
"Molly, tidak hilang," ujar Mohan. Raut kebingungan terukir jelas di wajah Mey. Perempuan berhidung mancung itu menatap lekat-lekat ke sepasang mata suaminya, menuntut penjelasan.
"Waktu itu aku asyik maen game. Molly menangis kencang ... tapi tak aku hiraukan. Kemudian entah berapa lama, aku masuk ke kamar ... dan ...." Lagi-lagi Mohan menggantungkan kalimatnya. Kali ini untuk memantau ekspresi istrinya; ada sebingkai kemarahan di sana. Mohan bergidik. Bersiap dimarahi ataupun dipukul.
"Molly sudah tergeletak di lantai. Tak bergerak sedikitpun. Saat itu aku panik ... lalu menelpon ibu ... setelah ibu datang, ibu segera membawa Molly ke rumah sakit ...." Mohan menjabarkan kronologi kala itu. Sementara Mey mendengarkan tanpa ekspresi apapun.
"Ibu bilang Molly dalam keadaan kritis. Ia koma sekarang," sesalnya. Mohan menatap wajah istrinya. Namun, tak ada ekspresi di sana. Sepertinya Mey mulai kehilangan kesadarannya. Kali ini tak lagi separuh, melainkan sudah sepenuhnya gila.
Mohan merengkuh tubuh Mey. Namun, Mey tak membalas. Pandangan wanita itu tampak kosong.
"Mey, maafkan aku!" bisik lelaki berhidung pesek itu, air mata mulai membanjiri pipinya.
"Mey, kita temui putri kita, ya?" ajaknya. Namun, Mey bergeming. Lagi-lagi tanpa ekspresi.
Mohan mencium kening istrinya, lalu membimbingnya ke luar rumah. Belum sampai ke pintu ke luar, rupanya Nyonya Raya telah datang dengan dua orang polisi.
"Itu dia, Pak, orang yang sudah mencelakai cucuku!" teriak Nyonya Raya sembari jarinya menunjuk kepada Mohan. Mohan tergagap, hampir saja Mey terlepas. Namun, dengan cekatan ia meraih kembali tubuh istrinya.
Nyonya Raya mendekat dan kembali mengacungkan jarinya, " Bapak macam apa kau yang tega menyakiti anaknya sendiri?" tudingnya dengan mata melotot. Sementara Mohan hanya menunduk. Menyadari semua kesalahannya; yang telah teledor dan tak jujur.
Demi menebus dosa-dosanya, dengan sukarela lelaki berparas tampan itu menyerahkan diri kepada polisi yang telah berdiri di depannya.
Sementara Mey masih hilang kesadarannya, lalu Nyonya Raya membimbing putrinya itu menuju ke dalam mobil.
"Kita akan menemui Molly, Nak!" desisnya seraya menggenggam tangan putri kesayangannya.
Tamat