Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung Pilihan

Malapetaka 2176 || Cerbung Dian Chandra

21 September 2023   19:04 Diperbarui: 25 September 2023   00:45 212 5
Bab 1

Ini 2176, saat-saat bumi mulai menunjukkan kuasanya dan manusia hanyalah remah-remahnya. Kekeringan di mana-mana, bahkan es di kedua kutub sudah lama mencair dan hilang tak berjejak. Tapi, manusia ialah manusia, ia tak pernah kehilangan akal. Benar, sebagian besar dari mereka telah kenyang akan penderitaan. Namun, sebagian kecil manusia lainnya, si pemilik piramida teratas memiliki banyak hal untuk mempertahankan hidup, kuasanya, dan juga keturunannya.

....

Perjalananku kali ini cukup panjang. Dengan menumpang kereta express- FGZ, perjalanan tiga belas hari hanya tersisa tiga jam saja. Sangat-sangat cepat. Bahkan kereta ini hampir-hampir tak menyentuh tanah, lantai, maupun bumi. Kereta ini menggantung begitu saja di langit-langit sesuai jalurnya.

Tujuanku jelas, aku hendak mengunjungi MTsN 2 Situbondo. Sebuah sekolah yang kini menjadi kiblat segala kekinian ini. Oh, tentu saja tujuanku bukan untuk tercengang-cengang menatap gedung-gedung megah dengan konsep go green di sekolah tersebut. Tujuanku lain. Ahh, nanti juga kau akan tahu.

Sembari menunggu, aku mengingat-ingat kembali perkataan Kolonel Rei, "Segera lah menuju MTsN 2 Situbondo dan selamatkan yang tersisa!"

Ahh, lelaki paruh baya itu membuatku cemas saja. Aku tahu bumi memang sedang jumawa, ia mulai pilih kasih. Tapi ... apakah memang sudah sedarurat itu?

Huh! Aku menarik napas cepat-cepat. Di depanku duduk-duduk sepasang manusia renta, yang entah bagaimana bisa menaiki kereta elit ini.

Fyuh, apa kau tahu di masa ini orang-orang kaya terlihat dari kulitnya yang tak pernah kerontang. Sebab, mereka memiliki air bumi yang cukup untuk mandi berkali-kali. Pun dengan stock klorofil pada tiap-tiap ruangan di rumah mereka yang akan menyemprot otomatis tiap-tiap dua puluh menit. Klorofil itu lah yang mengekalkan umur mereka dan mengukuhkan keturunan mereka.

Kuakui, aku bukan salah satu dari orang-orang kaya tersebut. Tapi entah bagaimana, bumi memilihku untuk menjadi salah satu serdadunya. Maka, kekal lah aku dengan kulit selembut pohon pisang, kekuatan sekukuh pohon durian, dan kebermanfaatan serupa pohon kelapa.

"Akan kuselesaikan misi ini," bisikku  sembari mengacak-acak rambut. Tak lama kemudian mataku menatap jauh ke bawah jendela kereta. Tampaklah kaum mayoritas dengan segala kebusukan kulitnya. Bukankah itu telah menjadi hal biasa? Lalu apa bedanya?

Kuperhatikan betul-betul dengan kemampuan pohonku, kota di bawah ini telah benar-benar babak belur. Hei, tapi-tapi mengapa beberapa di antara mereka malah berdiri dengan tangan membentuk huruf X.

Apakah ... apakah? Oh, tidak! Aku harus segera menelpon Kolonel Rei. Namun, belum sempat aku memencet anting-anting di telingaku yang menjadi alat komunikasi di jaman ini, mendadak dua manusia renta berkulit keriput itu memukul-mukul kaca jendela dengan sebilah besi khusus.

Uh, menyusahkan saja. Secepat daun-daun yang gugur, kusingkirkan besi terkutuk itu, hingga terlempar jauh entah ke mana. Sedang, si pemiliknya menatapku penuh amarah.

"Kau Serdadu Bumi, bajingan! Tak berhati, matilah kau di rahim bumi!" Sumpah serapah bergema, penumpang kereta yang hanya berjumlah 13 orang ini mulai menatapku dengan bermacam ekspresi wajah. Bagaimana pun, kecuali aku dan dua pasangan renta, penumpang lainnya adalah berasal dari kalangan elit --mitra bumi.

Benar saja, orang-orang kaya itu membelaku. Terbukti dengan kehadiran tim pengaman yang dalam sekejap meringkus dua pengacau. Uh!

"Kau akan menyesal, Nona! Sebentar lagi bumi akan hancur. Orang-orang Tak Mandi akan menang. Hahaha ...."

Huh, mana kutakut dengan segala omong kosong dari mulut lelaki renta itu. Bumi telah memilihku, ia pasti akan menjagaku baik-baik.

Aku mengatur napasku. Orang-orang kaya itu masih menatapku dengan berganti-ganti ekspresi. Pelan, keraguan mulai terbit di pikiranku. Hingga kemudian, kereta telah tiba di Stasiun MTsN 2 Situbondo, tujuanku.

Seperti perkataan Kolonel Rei, sekolah ini begitu menjulang tinggi, dililiti akar-akar pohon dan tanaman merambat lainnya. Bak berada di dalam istana rimba.

Kedatanganku langsung disambut oleh seorang guru laki-laki. Ia memperkenalkan namanya sebagai Pak Heri, guru kimia. Aku yang memang sejak semula tak membawa apa-apa, dengan ringan menuju ke dalam sekolah. Kulalui barisan murid-murid yang menatapku dengan penuh harap. Entah, harapan apa itu. Entahlah.

Aku terus saja berjalan di dampingi oleh Pak Heri.

"Sekolah ini telah berdiri selama ratusan tahun. Dan selama itu kami terus berinovasi dengan menciptakan murid-murid berprestasi yang mampu mengungguli kemampuan orang-orang kaya. Hingga kini, sekolah kami menjadi pusat kekinian ... yang paling terkini dalam berinovasi mencegah kepunahan umat manusia dan memperpanjang usia bumi ...."

Aku manggut-manggut mendengarkan lelaki paruh baya itu. Namun, sesekali pandanganku tertuju pada beberapa pria dan wanita paruh baya yang duduk-duduk merapat kepada pohon-pohon. Beberapa di antaranya menatapku lekat-lekat.

Aku kembali teringat, bahwa aku semestinya melaporkan hal-hal yang kualami sepanjang perjalanan kepada Kolonel Rei. Aku pun melambatkan langkahku. Namun, lagi-lagi belum sempat aku menekan anting-antingku, mendadak terdengar teriakan dari stasiun.

Sungguh, hingar bingar di sana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun