Dua hari setelah Walikota Oxford Mohammed Abbasi memotong pita tanda dibukanya Kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di pusat Kota Oxford, Benny Wenda, tokoh OPM yang mendapat suaka politik dari pemerintah Inggris, dengan bangga berbicara kepada media Inggris:
“I always say that Oxford is now my village because we have so many friends here! Andrew Smith MP and Evan Harris MP are both speaking out for West Papua in Parliament and in Oxford City Council we have strong supporters from all parties, especially Green councillor Matt Sellwood and our Lord Mayor from the Labour Party, councillor John Tanner”.
http://www.oxfordmail.co.uk/archive/2008/05/02/Letters+%28oxfordtimesletters%29/2236479.Cry_freedom/
‘Kehebatan’ Benny melibatkan para pemuka politik di kota itu guna mendukung ambisinya memisahkan Papua dari Negara Indonesia akhirnya membawa “petaka” bagi Pemerintah Inggris yang selama dua minggu belakangan ini terus menuai kritik pedas dari berbagai penjuru dunia.
Karena kehadiran Walikota Oxford Mohammed Abbasi, bersama anggota Parlemen Inggris Andrew Smith dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin dalam acara peresmian kantor perwakilan OPM di Oxford tanggal 28 April 2013 itu, dikritik oleh dunia internasional sebagai wujud nyata standar ganda Inggris terhadap prinsip KEDAULATAN sebuah negara, khususnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di satu pihak Inggris mengakui kedaulatan wilayah NKRI, namun secara terbuka pula Inggris mensuport para pelaku gerakan separatis dari Indonesia.
Inkonsistensi sikap Inggris inilah yang dikhawatrkan dunia internasional tidak hanya dikenakan bagi Indonesia, tetapi juga bisa menimpa negara-negara lain khususnya negara-negara yang masih memiliki kelompok sipil bersenjata yang memperjuangkan ideologi separatisme. Dunia sepakat, bahwa negeri Ratu Elisabeth II itu telah melukai etika hubungan diplomasi antar-negara berdaulat.
Benny Wenda boleh berbangga, tetapi Mohammed Abasi harus berduka. Walikota Oxford yang berdarah Pakistan ini mungkin akan mengikuti jejak mantan walikota Oxford Alan Armitage yang digantikannya 5 Maret lalu. Alan Armitage secara mendadak mengundurkan diri setelah dikecam publik Inggris atas komentarnya yang dinilai melecehkan seorang siswi sekolah. Sementara Mohammed Abbasi yang dalam dua pekan ke depan akan mengakhiri jabatannya (karena ia hanyalah pengganti sementara sambil menunggu hasil pemilihan walikota Oxford tanggal 20 Mei mendatang), dipastikan bakal meninggalkan catatan hitam pada jabatannya yang tergolong amat pendek itu lantaran ulah Benny Wenda dengan kantor OPM-nya.
Yang bisa dilakukan Mohammed Abbasi untuk “menebus dosa” yang dibuatnya sendiri demi Benny Wenda itu adalah dengan cara memberikan klarifikasi kepada dunia melalui media massa.Media Inggris dua hari lalu telah merilis klarifikasi Abbasi.
“I was there because it was a civic engagement, which doesn’t mean I support their cause.” (Saya berada di sana karena itu keterlibatan masyarakat, yang tidak berarti saya mendukung perjuangan mereka). http://www.oxfordtimes.co.uk/news/10413573.Mayor_ruffles_international_/
Klarifikasi Abbasi itu tentu saja belum membuat dirinya lega. Karena publik Inggris tentu masih menyimpan rapih klipping koran Inggris tanggal 29 April 2013 yang memuat isi pidato Andrew Smith (anggota Parlemen Inggris) saat peresmian kantor OPM itu. “Tuan Walikota Oxford juga memberikan dukungan dan pesan sebelum memotong pita tanda dibukanya kantor ini tadi,” ujar Andrew Smith dalam sambutannya tgl 28 April lalu yang dirilis sejumlah media Inggris.
Apa yang telah dilakukan para pemuka Kota Oxford itu tentu saja tidak mewakili sikap Pemerintah Inggris terhadap kedaulatan wilayah NKRI. Demikian pernyataan resmi Dubes Inggris Mark Canning dari Jakarta.Itu bahasa halusnya seorang diplomat.Maknanya sama dengan mengatakan : tindakan mereka bertentangan dengan keinginan pemerintah Inggris, atau mereka telah mengangkangi kebijakan politik luar negeri Inggris.
Apapun tafsirannya, yang jelas nasib Benny Wenda dan kelompoknya di Oxford saat ini tinggal menunggu ‘kebaikan hati’ Ibu Ratu. Sudah menadapat suaka, diberi tumpangan, eh...minta jantung pula. Selamat’menghitung hari’.