Momentum 1 Mei di Indonesia setidaknya mengandung tiga makna. Pertama, bagi kaum buruh, 1 Mei adalah Hari Buruh Sedunia. Banyak pabrik tutup sementara, karena ditinggalkan para pekerjanya yang tidak mau melewati momentum 1 Mei untuk berdemonstrasi ke pusat kota menuntut kenaikan upah dan peningkatan kesejahteraan. Pemerintah menjadi sasaran tuntutan, karena banyak kebijakan Pemerintah dinilai belum pro-buruh.
Kedua, bagi masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat, 1 Mei adalah Hari Integrasi untuk merayakan bergabung kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi yang ditandai dengan berkibarnya bendera Merah Putih berdampingan dengan bendera UNTEA (badan PBB yang mengurusi peralihan wilayah) pada 1 Mei 1963. Bagi mereka, merayakan 1 Mei memiliki makna mensyukuri sebuah pilihan politik yang tepat di masa lalu, karena terbukti selama 3,5 abad di bawah kekuasaan penjajah Belanda, Papua tetap miskin, terbelakang, dan tertinggal, namun setelah berintegrasi dengan NKRI, banyak kemajuan yang telah mereka nikmati bahkan dalam beberapa aspek, Papua telah menggungguli provinsi-provinsi lainnya.
Hari yang sama, beberapa kelompok aktivis Papua merdeka merayakannya sebagai 'Hari Aneksasi' karena menurut versi mereka bukannya Papua yang berintegrasi tetapi Indonesialah yang menganeksasi wilayah Papua yang telah dimerdekakan oleh penjajah Belanda pada 1 Desember 1962. Bagi sebagian kalangan, aspirasi para aktivis itu adalah bentuk lain dari tuntutan untuk mensejahterakan warga Papua. Lagi-lagi, Pemerintah menjadi sasaran tuntutan.
Ketiga makna itu memiliki benang merah. Yakni, bahwa kendati kita menyandang predikat sebagai 'Negara Kesatuan' namun sebetulnya 'persatuan' kita sebagai sebuah bangsa masih jauh dari ideal. Kalau mau jujur, dibandingkan dengan China dan Jepang, Nasionalisme kita boleh dibilang masih gamang lantaran bangsa ini masih terpilah-pilah dalam berbagai kepentingan politik etnis, politik agama, politik ekonomi dan politik-politik lainnya.