Sudah banyak cara dilakukan Pemerintah untuk merdedam aksi-aksi penembakan dan teror kelompok sipil bersenjata di Papua. Mulai dari pendekatan keamanan, pemberdayaan ekonomi, sosial-budaya, dan seterusnya. Tetapi tetap saja seruan untuk memisahkan Papua dari NKRI tidak pernah surut, disertai aksi-aksi terror dan penembakan kepada anggota TNI-Polri, aparat pemerintah, karyawan swasta dan warga sipil lainnya.
Kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) itu selalu saja punya banyak trik untuk menjaga agar gerakan Papua merdeka tetap eksis.
Menangani mereka perlu inovasi. Tokoh agama yang sekaligus Pimpinan Gereja Katolik di Papua, Uskup Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM coba menawarkan inovasi itu. Yaitu melalui perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Papua Nugini (PNG). Hal itu diutarakan Mgr.Leo dalam acara tatap muka bersama Wakapolda Papua Brigjen Pol Drs Paulus Waterpauw di Aula Gereja Katedral, Jayapura awal pekan ini. http://www.bintangpapua.com/headline/25768-perlu-ada-perundingan-ri-png
Tawaran Uskup Leo lahir dari keprihatinannya terhadap kondisi psikolis umat Katolik di wilayah Keerom yang selama ini dinilainya tak berdaya dan traumatis akibat ulah TPN-OPM.
Setiap kali usai melakukan aksinya, jelas Uskup Leo, para aktivis TPN-OPM melarikan diri ke wilayah PNG. Mereka memiliki markas di Camp Victory (di hutan belantara di Bawen atau Selatan Perbatasan Wutung yang merupakan wilayah PNG). Di tempat itu mereka mempersiapkan amunisi baru untuk melakukan serangan berikutnya. Lamber Pekikir (tokoh TPN-OPM) dan para pengikutnya, diketahui bermarkas di situ.
Uskup Leo sudah membaca modus mereka sejak aksi penembakanKepala Kampung Sawiyatami Yohanes Yanupron di Sawiyatami, Distrik Wembi, Kabupaten Keerom pada saat HUT TPN/OPM 1 Juli 2012 silam.
Menurut Uskup Leo, sebelum peringatan HUT TPN/OPM 1 Juli 2012 itu, kelompok Lambert Pekikir masuk keluar Kampung di wilayah Distrik Keerom dan membagi-bagikan bendera Bintang Kejora, simbol perlawanan bangsa Papua Barat untuk memisahkan diri dari pemerintah RI. Tak hanya itu, Kelompok Lambert Pekikir juga memaksa masyarakat setempat mengibarkan Bintang Kejora selama tiga hari berturut turut.
Perlunya Perundingan dengan PNG
Menyimak kondisi yang digambarkan di atas, keinginan Uskup Leo agar Pemerintah segara berunding dengan pihak PNG, dinilai mendesak. Memang sudah sewajarnya, dua Negara yang bertetangga -apalagi berada dalam satu daratan- seyogyanya memiliki MoU yang specific mengatur tentang upaya-upaya pencegahan gangguan keamanan di wilayah perbatasan kedua Negara. Apalagi gangguan keamanan itu terkait upaya memisahkan Papua dari NKRI (separatisme).
Saya yakin Pemerintah Indonesiapun akan menyambut positif permintaan kerjasama dari Pemerintah PNG manakala ada indikasi warga Negara Indonesia melakukan gangguan keamanan di wilayah kedaulatan PNG. Yang saya khawatirkan, Pemerintah PNG sengaja menutup mata, atau membiarkan wilayahnya dijadikan basis penyusunan kekuatan bagi kelompok TPN-OPM. Mudah-mudahan kekhawatiran saya salah.