Sudah sangat sering saya melintasi wilayah perbatasan RI menuju Papua Nugini (PNG) untuk urusan pekerjaan. Dua hari lalu, saya dari Vanimo hendak menuju Bandara Sentani (Papua) untuk berlibur ke Jakarta. Pintu resminya harus melalui Skouw. Disebut pintu resmi karena memang ada banyak “jalan tikus” alias jalur tidak resmi di wilayah selatan dekat Arso dan jalur ini sering dipakai oleh para pelintas batas yang adalah warga Keerom yang masih berkebun di wilayah PNG. Sudah lama mereka repatriasi ke Indonesia (Keerom) tetapi masih tetap berkebun di wilayah PNG.
Fokus tulisan saya ini bukan pada aspek wisatanya (karena bagian ini sudah banyak diangkat di forum ini). Saya tertarik pada aspek pengelolaan wilayah perbatasan untuk menyampaikan pesan-pesan kebangsaan, dengan maksud agar siapa saja yang masuk ke wilayah NKRI pada kesempatan pertama langsung sadar atau disadarkan bahwa wilayah yang dimasukinya bukan hanya sekedar wilayah KEDAULATAN NKRI tetapi lebih dari itu, mereka bisa langsung membaca pesan-pesan nilai kebangsaan yang mesti diketahui dan dihormati.
Misalnya setelah melewati gapura, pelintas batas langsung berhadapan dengan sebuah tugu (atau lebih murah sementara menggunakan baliho) yang bertuliskan “4 Pilar Bangsa dan Negara : Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.”
Setelah itu mulai dari gapura perbatasan hingga kantor beacukai, yaitu koridor sepanjang hampir 200 meter itu di jejeri bendera Merah Putih dengan ukuran standar. Mumpung ini bulan Agustus, dimana kita akan merayakan Hari Lahir Negara Indonesia, bisa diperdengarkan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya dengan cara memasang speaker di sepanjang koridor tadi. Bisa juga dibuatkan baliho dengan gambar Presiden dan Wakil Presiden RI, serta pesan-pesan pembangunan.
Kondisi wilayah perbatasan di Skouw saat ini jelas menggambarkan betapa “keringnya” semangat nasionalisme kita. Untungnya pihak PNG juga sama “keringnya” dengan kita. Kalau saja mereka lebih dahulu menyadarinya, dan mengelola wilayah perbatasan mereka dengan dua contoh yang saya utarakan di atas, betapa malunya kita ketika ada turis asing usai berkunjung ke PNG lalu memasuki Papua dan menyaksikan kondisi kita seperti itu.
Itu baru aspek pertahanannya, mari kita lihat aspek ekonominya. Terminal dan pasar sangat kumuh. Padahal sudah ada ruko permanen yang dibangun dengan dana miliaran rupiah, dibiarkan nganggur tak terpakai. Padahal, konon pasar ini adalah pasar percontohan (ada plang besar bertuliskan marketing point). Para pedagang tampaknya lebih memilih berjualan di lapak-lapak reyot yang kalau musim hujan dipastikan becek dan berlumpur. Sangat disayangkan, lokasinya yang sangat strategis yang berpotensi meningkatkan ekspor ini belum dikelola secara profesional, padahalmayoritas pembelinya adalah penduduk Vanimo, Ibu kota Provinsi Sundaun (PNG).
Satu-satunya yang sudah baik adalah pembangunan jalan raya dari pebatasan menuju kota-kota di Papua, tampak mulus dan terawat. Sayangnya, tanah subur di sisi kiri-kanan jalan itu belum dikelola secara maksimal. Itupun lebih banyak didominasi warga tranmigrasi dari luar Papua, dengan rumah-rumah papan yang sudah mulai reyot. Sementara orang aslinya lebih banyak bertani secara berpindah-pindah. Bahkan masih banyak yang berkebun di wilayah PNG.
Mumpung masih ada waktu, mari kita terus membangun semangat nasionalisme kita. Gunakan wilayah perbatasan sebagai "space iklan" untuk mensosialisasikan semangat nasionalisme itu kepada seluruh bangsa. Karena bagaimanapun juga, Nasionalisme itu harus dijaga, dirawat dan dikembangkan. Negeri yang maju, adalah negeri yang punya semangat Nasionalisme. Ingat, kita sedang merayakan 67 tahun usia kemerdekaan negeri ini ***.